LOGIN
“Kau harus melayaniku malam ini.”
Ucapan pria itu membuat sekujur tubuh Nayara Ishvara gemetar di bawah kungkungannya. Mereka memang sudah resmi menjadi suami istri beberapa jam yang lalu. Namun, pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan karena terpaksa. Nayara berusaha memberontak, tetapi tenaganya kalah dan sang pria terus membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. “Tolong, jangan—ahh!” Nayara tersentak saat tangan kekar itu merobek gaun pengantin hingga bahu mulusnya terekspos. Devanka Aryasatya—CEO muda dengan pahatan wajah tampan alami, menyeringai puas dan mulai menurunkan ciumannya ke leher tanpa mempedulikan penolakan Nayara. Dalam sekejap, ia berhasil melucuti gaun putih panjang yang tadinya melekat di tubuh wanita itu. “Hentikan, kumohon ...,” rintih Nayara yang jelas saja tidak mendapat sahutan. Devanka masih terus melancarkan aksinya, menyentuh dan mencumbu tubuh Nayara seperti orang kelaparan. “Diamlah dan nikmati saja!” ujarnya dengan suara rendah. Nayara dapat menghirup aroma alkohol yang begitu pekat dari embusan napas hangat pria itu. Sentuhan demi sentuhan itu membuat tubuh Nayara seolah terbakar, entah karena terpantik gairah atau takut … ia tidak tahu. Air matanya luruh kala merasakan Devanka turun ke bagian inti tubuhnya, menjamah bagian paling pribadi yang selama ini ia jaga. Setelah mencapai puncak kenikmatannya, Devanka membaringkan tubuh lantas tidur begitu saja, tak peduli Nayara menangis sesenggukan di sebelahnya. Namun, penyesalan itu tidak berhenti sampai di sana. Saat pagi menjelang, Nayara begitu terkejut saat mendengar Devanka berteriak marah. “Apa-apaan ini?!” Pria itu bangun sambil memegangi kepalanya yang pening. Detik berikutnya ia membelalak saat menatap bercak merah di sprei. “Kamu … melakukannya semalam ….” “Nggak mungkin. Pasti kau yang menggodaku semalam, iya ‘kan?!” Nayara menggeleng. “Kamu mabuk, Mas. Kamu memaksaku—” “Diam!” Devanka membuang muka ke arah lain, tangannya menjambak rambut frustasi. “Aku tidak menginginkanmu. Jadi, jangan sampai kau hamil atau semuanya akan semakin kacau!” Nayara menepis air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya. Perih di pangkal pahanya tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Kalau bukan karena orang tua Devanka yang memohon-mohon, Nayara tidak akan mau menikah dengan pria arogan itu. Beberapa hari lalu, ayah Nayara meninggal karena ditabrak mobil sport yang dikemudikan oleh Devanka. Orang tua pria itu meminta maaf dan mengatakan mereka akan bertanggungjawab atas hidupnya. Namun, tanpa ia sangka tanggung jawab yang dimaksud adalah menikah dengan putra tunggal mereka, menjadikannya sebagai menantu dan bagian dari Keluarga Aryasatya. “Berapa uang yang ditawarkan orang tuaku sampai kau mau menerima pernikahan ini?!” Lamunan Nayara buyar. “Uang apa?” tanyanya bingung. “Mereka nggak menawarkan apa-apa, aku juga nggak tahu kalau maksud mereka bertanggungjawab adalah dengan menikahkan kita ....” Devanka mendengkus kasar. “Ayahmu pasti sengaja menabrakkan diri ke mobilku supaya dapat uang, kan? Apesnya ... dia malah meninggal!” Sepasang netra Nayara berkilat menahan amarah atas tuduhan tersebut. Bagaimana bisa Devanka mengatakan hal sejahat itu? Bahkan saat itu, ayahnya sedang sakit dan hendak berobat. “Kami memang miskin, tapi kami nggak serendah itu!” kata Nayara dengan suara tertahan. Sekali lagi, Devanka mendengkus. “Masih berkilah? Nyatanya, sekarang kau ada di pernikahan ini. Untuk apa kalau bukan harta, hah?” Nayara tidak tahan lagi. Ia perlahan bangkit, memegang erat selimut agar tidak terlepas dari tubuhnya. Ia menerima tawaran pernikahan ini karena mertuanya mengatakan mereka adalah sahabat mendiang ayahnya, juga pernah berencana menjodohkan anak masing-masing. Nayara pikir, menuruti permintaan mertuanya akan membuat mendiang ayahnya tenang, sama sekali tidak terbesit perihal uang seperti yang dituduhkan Devanka. Namun, sepertinya pria itu tidak akan percaya penjelasannya. Matanya sudah tertutup kebencian. “Terserah kalau kamu berpikir seperti itu—” “Oh, jadi kau mengakuinya?” sela Devanka cepat. “Pintar sekali kau memanfaatkan situasi untuk masuk ke keluargaku!” Sungguh, harga dirinya telah diinjak sedemikian kejam. Perasaannya tercabik oleh setiap kata yang keluar dari mulut Devanka. Mahkotanya telah direnggut paksa, tapi Devanka masih tega menodongnya dengan tuduhan tidak berdasar! “Jangan pikir karena sudah menyerahkan tubuhmu, aku sudi menerimamu. Lebih baik kau sadar diri!” Nayara mengepalkan tangannya dengan kuat, setengah mati menahan agar tidak menangis lagi. Ia tidak mau menangisi manusia tidak punya hati ini! Devanka lantas beranjak ke kamar mandi, diiringi dentam pintu yang dibanting keras. Sementara wanita cantik itu terduduk luruh di lantai. Kakinya seolah kehilangan tenaga. “Papa ... lebih baik aku ikut mati saja …,” gumamnya lirih. Ia mengepalkan tangan dan memukul-mukul dada yang terasa sesak. Tak lama kemudian, Devanka keluar dari kamar mandi mengenakan pakaian yang lebih rapi. “Nggak usah drama,” sindir pria itu dengan nada dingin. “Cepat ganti baju. Setelah ini kita pindah ke apartemen!” perintahnya. Belum sempat Nayara menjawab, pria itu sudah keluar dari kamar. Mau tak mau, Nayara pun segera bergegas. *** Mereka tiba di sebuah gedung pencakar langit yang berdiri di tengah hiruk pikuk kota. Apartemen mewah itu terletak di lantai paling atas, penthouse dengan panorama menakjubkan. “Letakkan barangmu di kamar sebelah. Kita pisah kamar,” ucap Devanka, menunjuk pintu di sisi kanan ruang utama. Nayara hanya menjawab dengan anggukan, ia segera meletakan tasnya yang berisi beberapa baju dan segelintir barang-barang lain. Lantas menuju dapur karena merasa perutnya lapar. Saat aroma tumisan mulai menyebar, Nayara mendengar suara bel berbunyi. Dengan ragu, ia melangkah ke pintu dan membukanya. Sosok di hadapannya membuat Nayara terpaku sejenak. Seorang wanita tinggi semampai berdiri angkuh. Kulitnya putih mulus, hidung mancung, bibir merah merona. Dress mini berwarna hitam membungkus tubuh lengkap dengan heels berkilau dan clutch mungil di tangan. “Kau siapa?” tanya perempuan itu. Ia melirik ke nomor pintu, seolah memastikan ia tidak salah alamat. “Anda … siapa?” Nayara balik bertanya. Dahi wanita itu mengerut tidak suka. “Aku kekasih Devanka. Kau? Pembantu baru?” Nayara tercekat. “Maaf, mungkin Anda salah unit,” ujarnya sopan, berusaha tetap tenang walau perasaannya mendadak tak karuan. Wanita itu menyeringai. “Nggak salah, kok. Pacarku memang tinggal di sini—” “Calysta ...?” Kedua wanita itu sama-sama menoleh. Devanka muncul dan menghampiri mereka di ambang pintu. “Sayang!” seru wanita itu sambil melangkah masuk, menyenggol bahu Nayara dan langsung memeluk Devanka. “Kenapa nggak bilang mau datang?” tanya Devanka. Suaranya terdengar lembut, sangat berbeda ketika berbicara pada Nayara. “Aku kangen kamu,” kata perempuan yang dipanggil Calysta itu dengan nada manja. Nayara terpaku di tempat saat melihat Devanka tersenyum. Benarkah pria yang berada di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan yang dikenalnya? “Mau sampai kapan kau berdiri di sana?” Nayara tersentak saat suara dingin itu menusuk telinganya. “Siapkan makanan dan minuman untuk kekasihku.” “Y-ya?” sahut Nayara linglung. Kekasih … Devanka ternyata masih menjalin kasih dengan wanita lain? “Kau tuli?” sinis Devanka, membuat Nayara kembali menatapnya nanar. Jadi inilah alasan mengapa pria itu mati-matian menolak kehadirannya. “Jangan lama. Aku tidak mau Calysta menunggu.”Tiga minggu berlalu, hari-hari terasa seperti satu garis panjang tanpa tanggal bagi Devanka. Lorong rumah sakit sudah seperti bagian dari hidupnya, ia hafal bunyi pintu otomatis ICU, hafal suara monitor yang sering berubah ritme, hafal bau antiseptik yang menusuk seperti pengingat bahwa istrinya belum kembali padanya.Meski kedua bayi sudah diperbolehkan pulang seminggu lalu, Devanka tetap tinggal di rumah sakit. Dian dan Seno membawa pulang cucu-cucu mereka, merawatnya dengan perhatian penuh. Setiap hari video call masuk ke ponsel Devanka, Dian menunjukkan si kecil yang baru selesai mandi, atau Seno menimang si bayi perempuan yang suka menguap kecil. Namun, Devanka tak sanggup memberi nama pada mereka tanpa persetujuan sang istri.“Aku tunggu Nayara bangun dulu, Ma,” jawaban itu selalu keluar dengan suara seraknya, dan Dian tak pernah memaksa lagi.Pagi itu, jam tujuh lewat sedikit, Devanka masuk ke ruang ICU. Udara dinginnya membuat kulitnya merinding, tapi ia tidak pernah lupa m
Lorong rumah sakit seperti menelan suara Devanka. Kata 'koma' bergema berkali-kali dalam kepalanya, memantul di rongga dada, menghantam keras seperti batu. Ia berdiri mematung, tak tahu harus memegangi bagian mana dari dirinya yang terasa paling hancur.Tangannya gemetar, napasnya seperti tersangkut di kerongkongan.Ucapannya tercekat, pecah di sela-sela isaknya, “Nayara nggak mungkin ninggalin aku kayak gini.”Namun tubuhnya tak mampu bergerak.Dokter Melati memberi isyarat pada perawat.“Pindahkan Ibu Nayara ke ICU. Siapkan ventilator dan monitor lengkap.”Perawat langsung masuk kembali ke ruang operasi, menyiapkan brankar. Ketika pintu kembali terbuka, Nayara dibawa keluar.Bukan lagi Nayara yang tadi menggeliat kesakitan sambil memanggil nama suaminya dengan manja, kini tubuh pucat itu tak bergerak, wajahnya tertutup masker oksigen, rambutnya tergerai acak menempel pada kening berkeringat dingin. Infus menjuntai di kiri kanan, selang-selang kecil menempel di dada, dan monitor berg
Beberapa Bulan Kemudian Hujan mengetuk kaca jendela kamar seperti jarum-jarum gelisah. Malam itu dingin, padahal kalender baru menunjukkan awal bulan kesembilan kehamilan Nayara. Namun tubuhnya berbeda, makin berat, pegal, dan napasnya pendek-pendek. Di ranjang, Nayara mengerjap, memegangi perutnya. “Mas.” Suaranya lirih, pecah oleh rasa nyeri yang tiba-tiba menghantam dari dalam. “Sakit sekali.” Lampu meja menyala dalam sekejap, Devanka bangun dengan ekspresi panik. “Sakit di mana? Perutnya kenapa?” “Perutku kayak ditarik, Mas. Sakit banget.” Devanka langsung turun ranjang, menopang tubuh istrinya. “Sayang, lihat aku. Tarik napas, ya, pelan-pelan aja biar tenang.” Nayara meremas lengan suaminya. “Enggak bisa, Mas, tolong ….” Gelombang kontraksi mendadak, terasa cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipis. Nayara bahkan tidak bisa berdiri, untuk bergerak saja rasanya seluruh tenaganya lenyap. Hanya bisa menangis sambil meremas tangannya sendiri. Gelombang kont
“Ya, Pak Bimo?” Di seberang, terdengar embusan napas berat, lalu suara penyidik yang biasanya tenang kini bergetar tipis. “Pak Devanka, maaf menghubungi Bapak lagi. Ada perkembangan baru, sangat mendesak.” Devanka menegakkan bahu. “Apa lagi?” Hening sepersekian detik. Nayara menggenggam ujung dress-nya, menahan napas. “Riona ditemukan meninggal, Pak.” Devanka membeku. “A-apa?” Nayara spontan menutup mulutnya. Penyidik melanjutkan. “Riona bunuh diri di dalam sel. Petugas jaga mendapati dia sekitar lima belas menit lalu.” Devanka menatap kosong ke halaman yang barusan penuh tawa Nayara. “Bagaimana bisa?” tanyanya lirih bercampur dingin, seperti air es yang retak. “Kami sedang kumpulkan semua kronologi,” kata Pak Bimo cepat. “Tapi gambaran awal begini, Pak ... pukul 16.10, Riona masih terlihat duduk diam di sudut sel. Petugas perempuan memberinya air minum, tidak menunjukkan gejala bertindak yang membahayakan, hanya menangis sesekali. Pukul 16.28, CCTV menangkap d
Lorong kantor polisi menguarkan bau kopi dan kertas basah. Devanka berjalan dengan langkah tegap, setelan hitamnya memotong udara pagi yang lembap. Beberapa polisi yang lewat refleks merapikan topi atau berdiri lebih lurus, auranya memang begitu, memaksa orang lain bersikap rapi tanpa perlu bicara. Seorang penyidik keluar dari ruang interogasi. “Pak Devanka?” Devanka mengangguk. “Bagaimana hasilnya?” Penyidik itu menatap berkas di tangannya sebelum menjawab. “Sudah ada perkembangan. Riona mengaku semuanya karena dipaksa papanya. Paksaannya sudah dari jauh hari, tekanannya cukup berat sehingga dia nggak ada pilihan lain selain nurut.” Devanka tetap diam, wajahnya tak berubah. Penyidik melanjutkan, “Dan soal motif utama, jelas. Harlan punya dendam pribadi karena Bapak pernah menolak kerja sama bisnisnya.” Devanka hanya menarik napas tipis. “Itu aku sudah duga.” Polisi berdeham panjang, lalu menambahkan. “Ada info baru, Pak, setelah kami cocokkan data, identitas, dan rekam j
Raka menyetir lebih hati-hati dalam perjalanan pulang kali ini, trauma rem mendadak di pelataran rumah tadi masih membayangi. Begitu gerbang mansion terbuka otomatis, Raka sempat bersiul pelan. “Kalau rumah segede ini masih bisa dimasukin orang buat nyebar racun, ya, ampun ... saya resign aja kali.” Mobil Devanka berhenti. Bosnya turun tanpa banyak bicara. Aura dingin itu masih ada, tapi sudah lebih terkendali setelah Harlan dan Riona resmi diborgol. Raka buru-buru mengekor. “Pak, kalau nanti mereka bebas karena pengacaranya licik—” “Mereka tidak akan bisa bebas!” seru Devanka tegas. Raka langsung mengangkat tangan. “Baik, Pak. Saya percaya seratus persen. Tadi mereka pucet kayak kertas fax, Pak.” Devanka hanya menghela napas tipis lalu melangkah ke ruang keluarga. Tampak Seno duduk di sofa dengan sweater abu-abu. Rambutnya sedikit berantakan, menandakan beliau sudah bersiap tidur tapi menunda demi menunggu kabar. Begitu melihat Devanka datang, mata tuanya langsung menaja







