Seminggu masa ujian berlalu dengan sangat lambat. Liburan sekolah dimulai, tapi bagi Adhira, hari yang berat juga akan dimulai. Keberangkatannya menuju kota di timur sana akan ditempuh dalam beberapa jam lagi. Bahkan hingga saat ini Adhira tidak tahu apakah Ervan juga akan ikut atau tidak.
“Kak Adhi!” Kiara memanggilnya dari lubang jendela gudang.
Pagi itu Kiara membawakan satu tas penuh berisi makanan dan cemilan. Wajahnya berseri-seri.
“Kak, ini ada makanan dari Mama. Katanya buat di perjalanan,” ucap Kiara.
Biasanya Adhira tidak akan langsung percaya dengan kebaikan seperti itu. Itu hanya cara agar Adhira beranggapan baik tentang Tante Durga. Namun, beberapa bulan belakangan, Durga agak lebih kalem. Dia mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya sendiri tanpa meminta bantuan Adhira. Dia bahkan sudah mempekerjakan pelayan rumah tangga untuk membersihkan rumah—yang biasanya dilakukan Adhira.
Ketika pesanan kue berdatangan
Ketegangan menyeruak mengisi Ruang Gaharu yang berkonsep modern minimalis itu. Deretan kursi secara berkeliling memadati sisi belakang aula megah tersebut. Sekitar dua puluh sekolah dari seluruh Indonesia akan bertanding dalam Turnamen MIPA kali ini.Adhira sempat melihat ke rombongan dari SMA Frans Xaver yang merupakan sekolah swasta di ibu kota. Sejak awal tahap penyisihan, regu dari SMA itu cukup tangguh. Adhira kembali bertemu dengan seorang siswa SMA kelas sebelas yang pernah bertarung dengannya sebulan yang lalu.Siswa bertubuh mungil dan berkacamata itu sempat menoleh pada Adhira. Pergulatan pandang sempat tercipta di antara mereka. Adhira ingat akan kemahiran anak ini mengerjakan soal matematika bahkan hingga tingkat perguruan tinggi. Dia terlalu jenius, dan mengalahkannya di sesi final kali ini mungkin bukan perkara mudah.Bersama rombongan dari SMA Equator, Adhira memasuki ruang perlombaan.“Aku tidak bisa tidur semalam,” keluh Lodra
“Maaf, interupsi, Majelis Juri.”Seisi ruangan terpelongok. Bukan karena kesangsian pembimbing dari SMA FX itu akan soal yang ditanyakan, melainkan, kalaupun mereka menggugurkan jawaban Ervan tadi, murid mereka tetap tertinggal jauh. Selain ini adalah caranya untuk menunda kekalahan, pasti ada dendam tersendiri dari bapak pembimbing dari sekolah seberang pulau itu.“Soal yang diajukan sudah melalui seleksi dari para juri. Terkait ini materi yang bisa dipakai atau tidak, saya rasa selama para murid bisa menjawabnya, tentu kami beri nilai sesuai pencapaian mereka.”Pria berkacamata tadi masih enggan mengaku kalah. Dia kembali naik banding, “Saya rasa permasalahan kromosom seks yang dibahas juga masih menjadi topik kontroversial. Dengan berat saya memohon untuk tidak menjadikan pertanyaan ini sebagai bagian dari penilaian.”“Atas dasar apa Bapak mengatakan soal tadi bukan soal yang tepat untuk ditanyakan?”
Keraguan meliputi raut wajahnya. Dengan mengumpulkan sisa keberaniannya, anak itu pun menjawab, “Lima.”“Sepuluh bintang untuk SMA FX.”Sorak sorai penonton dari pihak lawan mengisi kegetiran ruangan berkubah kerucut itu. Erdos menjelit penuh tanya. Adhira tetap tersenyum padanya. Membuat anak itu tak habis pikir apa yang baru saja merasuki jiwa orang di sebelahnya hingga bisa membuat kesalahan sefatal ini.“Satu pertanyaan akan diajukan karena skor yang didapat berimbang,” ujar ibu panitia di samping para juri.Adhira menunggu hingga soal keluar. Dengan intensitas kesukaran yang sama, materi trigonometri yang umum dikerjakan murid dengan nilai standar di bangku kelas sepuluh itu disodorkan sebagai soal matematika tahap penentuan ini.“Setengah cos alfa plus satu,” jawaban Ali muncul dari permukaan. Keberaniannya sedikit tersulut setelah tadi berhasil mengalungi sepuluh bintang di pe
Ervan merasakan tubuhnya didesak oleh ribuan jarum. Walau kemampuan renangnya sangat baik, dia sulit mengendalikan arus air yang bergerak acak ini. Setiap gelombang yang memecah karang mengantarnya pada rasa pedih yang tak tertahankan. Berkali-kali batu karang itu menggores permukaan kulitnya. Dia tak memedulikan hal tadi sebab dari setiap mata yang terbelalak itu, Ervan hanya berharap bisa menemukan bagian tubuh Adhira.Adhira baru muncul dari permukaan beberapa detik setelah Ervan mengitari dasar tebing. Dia menyibak air asin di sampingnya dengan sekuat tenaga. Terus mencoba membuat dirinya tak terperosok masuk ke dalam air. Ervan berenang sekuat tenaga mendekatinya. Dia berhasil mencengkeram lengan Adhira, yang langsung mendapat hantaman keras dari Adhira.“Hira….” Suara Ervan tercekat oleh gelombang ombak yang menerpa wajahnya.Adhira kembali terlepas. Hingga ketika napasnya benar-benar sudah di ujung tanduk, Adhira menyerah. Dia tak lagi
Pagi datang saat air laut justru semakin dalam menembus rekahan batu. Adhira terbangun dan mendapati tubuhnya sudah dipindahkan ke bagian yang lebih kering. Ervan tengah sibuk menyingkirkan tanah dan batu dari dinding terowongan, berharap menemukan jalan keluar dari arah dalam. Sinar cahaya dari luar cukup untuk membuat Adhira sadar bahwa sebagian punggung dan kaki Ervan bersimbah darah. “Daffin… kamu terluka?” tanya Adhira. “Kenapa tidak kasih tahu?” Adhira yang panik langsung memeriksa tubuh Ervan. Dia melirik dengan saksama dan mendapati bercak kemerahan itu masih mengucur dari tumit kaki Ervan. Adhira merogoh apa pun yang ada di dalam kantong bajunya, tapi tak bisa menemukan apa-apa. Tas ranselnya ditinggal saat Lodra mendorongnya ke bibir tebing. Adhira terpaksa mengoyak lengan pakaiannya untuk membebat luka di kaki tersebut. Ervan sontak mundur saat Adhira hendak menyentuh tubuhnya. “Hei, kamu bisa kehabisan darah kalau begini terus.” Ad
Malam itu doa mereka tidak terkabul. Rintik hasil kondensasi embun dan uap menyatu berjatuhan membasahi seluruh permukaan bukit. Alhasil, pakaian yang baru saja kering harus kembali terbasuh oleh hujan.“Daffin… mengapa kita begitu sial hari ini?” gumam Adhira. Dia mendekat ke tempat Ervan untuk mencari perlindungan. Meski Ervan sendiri tak memiliki apa-apa untuk berteduh.“Lebih tepatnya kita sudah sial sejak kemarin,” timpal Ervan datar.“Kamu kok bisa setenang ini sih?” Adhira memayungi kepala mereka dengan kedua tangan. Dia melirik pada Ervan yang sudah basah kuyub tetap berada dalam posisi bersila.Adhira menghela napas. Petir menyambar dan badai menggempur perbukitan di sekeliling mereka. Adhira memperhatikan pepohonan sekitar dalam gelap, tak ada tanaman yang berdaun lebar. Api unggun yang dibuat Ervan dari sisa korek peninggalan para pendaki pun sudah tak lagi menyala.Adhira bangkit dari tempat du
“Bagaimana kamu bisa tahu dia akan putus sekolah?”“Saat aku ke toilet, aku melihat guru pria itu mengancamnya.” Adhira menjawab tenang.“Dan apa kamu menyesal sudah melihat kejadian itu?”Adhira terkekeh. “Aku lebih menyesal terjebak di antah berantah ini bersama manusia setengah es batu sepertimu.”Ervan menjelit ke arah Adhira yang masih bersandar di balik pohon. Seekor ular melata pelan dari balik dahan yang tengah ditiduri Adhira. Menyadari derikan halus tadi, Adhira langsung mematung. Bibirnya melengkung hingga ke dagu.“Da…ffin… selamatkan aku….” Adhira berucap tanpa bergerak.Ervan meraih sebatang ranting dari sekitar pohon. Dengan cekatan dia menepis ular yang berjarak tiga inchi dari kepala Adhira itu. Reptil berbisa itu melayang ke udara, membebaskan Adhira dari gigitan beracunnya.Adhira menghela napasnya lega. Dia sentak bangkit dari tempatny
Tahun ajaran baru dimulai. Berita tentang kematian Semias Defras perlahan-lahan surut. Tidak ada yang menyelidikinya lagi setelah pelaku pembunuhan membuat pengakuan itu. Meski terlihat kasus ini terjadi begitu gampang, polisi juga tidak bisa berbuat banyak. Setiap kejadian yang terjadi akan tenggelam setelah menemukan orang yang bisa dijadikan kambing hitam. Semua memiliki spekulasi, tapi pada akhirnya tidak berujung pada bukti yang sahih. Kematian itu terlihat sia-sia. Semias baru akan mengajukan kerja sama atas proyek senilai 300 miliar dari keluarga Refendra. Atas kejadian yang menimpanya, proyek besar tadi gagal.“Daffin,” desis Adhira yang kini duduk tepat di belakangnya, “nanti siang temani ke toko sepatu ya.”Ervan menoleh ke belakang dengan ekspresi seram. “Kenapa?”“Apa maksudnya kenapa? Ya tidak ada apa-apa,” jawab Adhira.“Kalau begitu, tidak mau.” Ervan menjawab singkat.Adhir