"Kami habis dari jalan-jalan, Ma. Mas Bima tadi ngajakin aku belanja terus kita ke tempat treatment bentar, dan ...." Intan melapor pada ibu mertuanya ke mana saja mereka pergi bak anak kecil yang melapor pada orang tuanya. Sebenarnya apa yang Bima dan Intan lakukan itu adalah hal yang sangat wajar jika bagi pasangan lain. Namun, bagi mereka tidak. Karena Mira tidak mengizinkan Intan bersenang-senang seperti belanja dan jalan-jalan. Dia tidak mengizinkan menantunya itu bahagia, walaupun hanya sesaat. Sudah lama memang Bima tidak melakukan hal itu karena takut dengan ibunya. Namun, malam ini Bima melanggar semuanya.Wajah Intan masih terlihat tegang setelah selesai bicara dengan Mira. Dia siap untuk hadapi kemarahan sang ibu mertua untuk yang kesekian kalinya.Namun, Mira malah tersenyum. "Iya, nggak pa-pa, kok. Mama cuman khawatir aja tadi kalian nggak ngasih kabar, sih, kirain kalian ada masalah atau dalam bahaya, kan? Mama tuh jadi khawatir."Melihat gelagat Mira yang jauh dari bia
Mobil yang dikendarai Bima memasuki gerbang rumah mewah mereka ketika malam sudah larut. Ketika mobil mereka berhenti di halaman, mereka tak langsung turun, Bima menoleh pada Intan dan tersenyum. Dia menghela napas. Suasana mobil yang hening, menyisakan suara deru AC dan helaan napas mereka. Bima tersenyum senang menatap lekat-lekat wajah istrinya yang kini terlihat memesona. "Kamu cantik," pujinya melihat istrinya yang baru selesai treatment. "Berarti nanti kalau aku nggak perawatan lagi, nggak cantik lagi." Intan bicara bernada ngambek. "Ya, enggak, dong. Istri aku akan selalu cantik, kapan pun itu. Apalagi hatinya." Intan tersenyum. "Makasih, ya, untuk hari ini." Bima lagi-lagi tersenyum. "Aku pengen deh kita bisa selalu kayak gini." Sebenarnya menghabiskan waktu bersama sebagai pasangan yang sudah menikah itu adalah hal yang wajar bagi pasangan lain. Namun, bagi Bima itu adalah hal yang langka dan agak sulit untuk dia lakuk
Tiba di depan lampu merah, mobil Bima berhenti di tengah persimpangan itu. Kendaraan dari arah jalan sana terlihat ramai menyebrang. Mereka terkena macet. Intan melempar pandang ke luar kaca jendela, banyak pemandangan anak-anak jalanan di antara kendaraan itu. Macam-macam yang mereka kerjakan, mulai dari boneka badut, pengamen, penjual gelembung sabun sampai penjual minuman. Mereka semua bekerja demi mencari uang. Intan selalu merasa tidak tega tiap kali melihat anak-anak jalanan itu. Seorang anak perempuan tiba-tiba mengetuk kaca jendela mobilnya yang seketika membuyarkan lamunan Intan. Intan pun menoleh dan membuka kacanya tanpa berpikir dua kali. "Beli gelembung sabunnya, Tante?" Anak perempuan itu mengulurkan sebotol sabun berwarna hijau ke arahnya. Intan tak langsung merespons, dia memperhatikan wajah anak perempuan itu. Rambutnya panjangnya yang diikat tampak mengkilap karena terpapar matahari, dahinya yang legam juga mengkilap karena ker
"Silakan masuk, Tuan Putri." Bima membukakan istrinya pintu mobil.Wanita cantik yang sedang mengenakan gaun lengan panjang selutut dengan rambut dicepol satu itu tersenyum simpul. "Lebay deh kamu, Mas. Aku kan bisa buka pintunya sendiri.""Nggak apa-apa. Aku kan mau nostalgia waktu kita masih pacaran dulu," jawab Bima yang melihat istrinya kemudian masuk ke dalam mobil.Intan masih tersenyum saat dia sudah duduk di dalam mobil. Tak lama kemudian suaminya masuk dari pintu sebelah dan duduk di sampingnya.Intan masih tersenyum saat menoleh menatap suaminya. Intan cukup merasa bahagia pagi ini. Karena dia bisa memastikan ibu mertuanya tidak melarang mereka jalan berdua di hari libur seperti kekhawatirannya. Selain itu Intan juga senang karena dia sudah melihat sendiri bagaimana kemarin malam Bima minta maaf pada Mama Mira, dan hubungan ibu dan anak itu sekarang sudah membaik. Apalagi mengingat bagaimana harunya momen saat itu. Namun, Intan tidak tahu apakah ibu mertuanya itu benar-ben
"Jadi tadi Mischa udah cerita tentang masalahnya sama aku." Bima mulai bercerita pada istrinya. Mereka duduk berhadap-hadapan di pinggir kasur. "Dia bilang semua masalahnya udah selesai, cuman dia masih bermasalah sama temannya dan dia nggak mau aku bantu." Intan mengernyit. "Masalah sama temannya? Masalah apa?" "Temannya yang udah jebak dia itu. Sampai sekarang dia masih berurusan dengan temannya itu. Dan dia mau menyelesaikan masalahnya sendiri, katanya begitu." Intan mengangguk-angguk. "Ya udah kalau memang maunya begitu. Mungkin dia memang bisa selesaikan sendiri." "Iya, tapi mengenai profesinya ... ada kemungkinan dia nggak bisa sepopuler dulu. Karena namanya udah telanjur tercoreng. Dia juga udah buat video klarifikasi, tapi hasilnya nggak memuaskan. Dan dia cuman minta bantuan aku untuk menjaga rahasia ini dari Mama. Jangan sampai Mama curiga." Kali ini Intan terdiam. Dia ingat dulu Mischa pernah memfitnahnya di depan mamanya, mengatakan kalau Intan melakukan tindakan yang
"Iya, kan? Kamu lagi sembunyikan sesuatu dari aku? Apa?" tanya Bima lagi. Intan merasa kali ini sulit rasanya dia berbohong lagi. Semakin dia mencari alasan lain semakin suaminya akan curiga dan tidak percaya. Alasan apa lagi yang bisa dia beritahu selain itu untuk pipinya yang memar seperti bekas tamparan ini? Alih-alih menjawab, Intan malah menangis. Bima bisa melihat mata istrinya berkaca-kaca. Bima pun menghela napas. "Aku minta kamu jujur sama aku. Aku nggak marah, tapi kamu harus jujur sama aku." Intan tak menjawab dan hanya menangis. Melihat gerak-gerik istrinya yang demikian, Bima bisa menebak kira-kira apa yang terjadi. "Mama tampar kamu, ya?" terkanya benar, tentu saja. Intan menggeleng. "Kamu jangan bohong, kamu pasti habis berantem kan tadi sama Mama sampai Mama tampar kamu? Iya kan?" Intan malah menangis saja. "Kamu jujur sama aku, Sayang. Kamu nggak perlu takut karena ada aku yang siap belain kamu kapan pun itu. Kamu percaya itu, kan? Kamu tahu kan selama in