Share

Despicable Boy
Despicable Boy
Penulis: Nesri Baidani

1. Preman Sekolah

Milka mempercepat laju larinya. Dia sudah terlambat, jelas-jelas terlambat. Itu adalah hari pertamanya bersekolah di SMA Kusuma Bangsa dan namanya akan langsung tercatat di daftar murid terlambat. Milka hanya bisa pasrah.

Di gerbang sekolah, seorang satpam menghentikan langkahnya. “Telat lima menit,” katanya dengan seringai yang menampakkan barisan gigi kekuningan.

Sambil mengatur napas, Milka mengangguk-angguk. Satpam itu kemudian mengambil buku kecil dari dalam sakunya, lalu bertanya, “Nama?”

“Milka.”

“Nama lengkap?”

Milka menggeleng. “Milka aja.”

Satpam itu mengangkat alis sedikit, kemudian menulis di buku kecilnya, dan merobek kertas paling atas. “Kasihin ke guru yang itu,” katanya menunjuk seorang lelaki berseragam olahraga yang sedang memukul-mukulkan penggaris panjang pada pundak seorang anak lelaki botak.

Milka mereguk ludah. Tenggorokannya benar-benar terasa kering. Baru hari pertama, tetapi dia sudah melanggar peraturan. Dia hanya bisa berharap, rekam jejak seperti itu tidak akan mempengaruhi beasiswanya.

Dilihatnya kertas yang baru saja diterimanya dari satpam. 

Nama : Milka Aja

Terlambat : 5 Menit

Milka hanya bisa geleng-geleng. Tidak ada yang percaya bahwa namanya hanya terdiri dari satu kata. Sepertinya ayahnya terlalu malas berpikir hingga hanya sanggup memberikan satu kata untuknya.

Setelah sampai di depan guru berseragam olahraga itu, Milka menyerahkan kertas yang dipegangnya. “Permisi, Pak. Maaf, saya terlambat.”

Guru itu melihatnya dari ubun-ubun sampai kaki. “Anak baru, ya?”

“Iya, Pak.”

“Alasan terlambat?”

Milka menarik napas singkat. “Tadi, di jalan, saya ketemu kucing pincang yang berdarah-darah, jadi saya bawa ke klinik hewan dulu biar diobati. Lokasi kliniknya berlawanan dengan arah sekolah, jadi saya terlambat. Maaf, Pak.”

Mata Pak Guru menyipit, seperti sedang memeras kejujuran dari kepala Milka. “Kamu pengarang, ya?”

Milka buru-buru menggeleng. “Bukan, Pak. Nilai Bahasa Indonesia saya malah jelek banget.”

“Emang berapa nilai Bahasa Indonesia-mu?”

“Delapan, Pak.”

Pak Guru spontan terbatuk-batuk. “Kalo segitu jelek, yang bagus berapa?”

“Sepuluh, Pak.”

Pak Guru melongo. “Itu nilai rapor?”

Milka mengangguk.

Pak Guru bergerak mendekat. “Kamu anak baru yang dapat beasiswa olimpiade?”

“Iya, Pak?”

Wajah Pak Guru terlihat melunak. “Baik. Sebenarnya, saya tidak tega menghukum kamu, tapi di sini tidak ada pengecualian. Siapa yang melanggar peraturan, pasti akan mendapat hukuman.”

Milka manggut-manggut,  sadar telah melakukan kesalahan yang memalukan, terlambat di hari pertama sekolah.

“Contohnya dia.” Guru itu menunjuk anak lelaki botak yang bertelanjang dada juga telanjang kaki. “Kamu tahu siapa dia?”

Buk! 

Satu tinjuan bersarang tepat di hidung Pak Guru. Milka spontan berteriak melihat guru itu terhuyung lalu jatuh tak jauh dari kakinya. Mata Milka membelalak, menatap bingung kepada anak lelaki botak itu.

Segera ia membantu Pak Guru berdiri. “Bapak ngga apa-apa?” tanyanya, “ya, ampun, hidung Bapak berdarah.” Cepat-cepat ia mengeluarkan saputangan dari tas dan melakukan penekanan pada area hidung untuk menghentikan pendarahan. Anak lelaki botak itu dengan tenang meraih kemeja dan sepatunya yang tergeletak di aspal, lalu melenggang masuk ke dalam gedung sekolah.  

***

Saat istirahat pertama, Milka dipanggil ke ruang BK untuk mendapatkan pengarahan. Anak lelaki botak itu juga ada di sana, sedang melepas kemeja juga sepatunya. “Ibu harap, besok kamu bisa mengenakan seragam sekolah dengan rapi sesuai aturan. Ujung kemeja dimasukkan ke dalam celana. Sepatu yang dipakai adalah sepatu warna hitam, bukan putih. Paham?” Bu Guru memberi arahan yang sangat tegas sekaligus lembut.

Anak lelaki botak itu malah menyengir. “Yakin, Ibu ngga mau liat perut kotak-kotak saya besok?”

Milka yang duduk di sampingnya hampir saja tersedak mendengar jawaban anak itu. Diliriknya perut anak botak itu yang, meski kotak-kotaknya tidak begitu jelas, tetapi memang bisa dibilang rata hingga pusarnya terlihat seperti kawah kecil yang menggemaskan. Milka sedikit menggelengkan kepala, mengusir pikiran nyeleneh yang tiba-tiba mampir di otaknya. 

Mata Bu Guru melotot, mendengar ucapan anak botak itu. Namun, dengan cepat, beliau dapat menguasai diri.  “Saya lebih senang melihat namamu ada di deretan top ten murid Kusuma Bangsa,” balas Bu Guru tenang.

Anak botak itu menyeringai. “Dream on,” jawabnya santai.

Bu Guru menghela napas lalu beralih kepada Milka. “Kamu juga terlambat?” katanya yang dibalas Milka dengan anggukan. “Kalau gitu, hukuman kalian berdua sama. Pulang sekolah nanti, kalian harus membersihkan kolam renang.”

Anak botak itu hanya mengangguk lalu pergi, meninggalkan kemeja dan sepatunya yang disita. 

***

Istirahat kedua adalah waktu untuk makan siang. SMA Kusuma Bangsa menyediakan makan siang untuk semua siswa di kantin. Menunya diawasi oleh seorang dokter gizi dan disesuaikan dengan kebutuhan energi remaja belasan tahun. Meski begitu, tidak semua mengambil sesuai porsi yang disediakan. Siswi-siswi yang memutuskan untuk berdiet memilih menu vegetarian dengan jus buah sebagai pengganti susu UHT. Sedangkan siswa-siswa yang tidak menyukai sayur, meminta lauk daging tambahan untuk mengisi piring mereka.

Milka memilih mengambil semua menu. Mumpung gratis, mumpung bisa makan sepuasnya. Nanti malam, mungkin dia harus berhemat karena jatah yang ia siapkan untuk hari itu sudah dihabiskan untuk membayar biaya pengobatan kucing yang ia temukan dalam perjalanan menuju sekolah. 

Siang itu, menunya adalah capcay dan fillet ikan goreng tepung. Bagi Milka itu lebih dari cukup. Ia memutuskan untuk menyimpan susu kotak dan buah apel fuji untuk makan malam nanti.

Milka duduk di salah satu meja di pojok kantin. Teman-teman sekelasnya tidak terlihat begitu ramah. Mereka sepertinya sudah membuat kelompok-kelompok sendiri dan tidak ingin siapa pun masuk ke kelompok mereka. Bagi Milka, itu tidak masalah.

Dia datang ke sekolah ini untuk bersekolah, bukan bersosialisasi. Sebelumnya, dia bersekolah di salah satu SMA negeri favorit di Jakarta. Sekolah di sana memang gratis, tetapi tidak ada yang menjamin biaya hidupnya.

Semenjak neneknya meninggal, Milka hanya tinggal bersama ayahnya yang pemabuk. Setiap hari selalu saja menyumpah dan mengatai-ngatai Milka sebagai anak sial. Neneknya mengatakan, bahwa orang yang sedang mabuk tidak sadar akan perkataan dan perbuatannya. Karenanya Milka tidak boleh mengambil hati semua perkataan ayahnya saat mabuk. “Ayahmu sebenarnya sayang sama kamu, tapi dia mengungkapkannya dengan cara yang buruk. Percayalah, ayahmu itu sayang banget sama kamu. Buktinya, dia memilihkan nama yang cantik untukmu,” begitu selalu neneknya mengingatkan.

Setelah Nenek meninggal, perlakuan Ayah terhadapnya makin buruk. Bukan hanya kata-kata, saat mabuk, Ayah pun mulai memukul dan menendang hingga meninggalkan memar di sekujur tubuh Milka.

Dia tidak bisa menghentikan kebiasaan mabuk Ayah, tetapi dia bisa pergi menyelamatkan diri. Itulah yang kemudian dilakukannya. 

Ketika Kusuma Bangsa membuka kesempatan beasiswa penuh yang juga meliputi biaya hidup, Milka langsung mendaftar tanpa pikir panjang. Berkat nilai-nilai sempurna yang tertera di rapornya, dia dapat dengan mudah meraih beasiswa tersebut. Syaratnya hanya satu, dia harus bisa memberikan medali emas pada Olimpiade Biologi tahun itu.

Apa pun syaratnya, Milka tak peduli, yang penting dia dapat lepas dari ayahnya untuk sementara waktu. Setidaknya, sampai dia dapat membuktikan bahwa dirinya bukan anak sial.  

“Woi! Milka!” seorang anak lelaki berteriak dari meja di seberang tempat Milka duduk, “give me your milk!” Kedua tangannya mengembang lebar tepat di depan dadanya, seolah-olah sedang menggenggam bola tak kasat mata yang menempel di sana. Anak-anak lain di sekeliling meja itu terbahak menertawainya.

Milka tertegun sesaat, berusaha mencerna apa maksud dari kalimat anak lelaki itu. Dia melirik susu kotak yang sudah dimasukkannya ke dalam tas, tetapi rasanya tak mungkin yang dimaksud adalah susu kotak jatah dari sekolah. Kemudian dia melihat dadanya sendiri yang memang membusung melebihi rata-rata anak seusianya. Dengan canggung, ia merapatkan jaket untuk menutupi lekukan dadanya.

Bukannya berhenti, sekumpulan anak lelaki itu malah makin keras tertawa. Milka makin salah tingkah. Lagi-lagi, dadanya bikin masalah. 

Ditundukkannya badan sedalam mungkin, berharap meja dapat menyembunyikan gembung di dadanya. Namun, anak-anak lelaki itu malah makin keras tertawa. Milka malu sekali. Dia berharap bumi terbelah saat itu juga agar dia dapat terjun ke dalamnya dan menghilang. 

Tiba-tiba suara tawa berganti dengan hantaman dan seruan kesakitan. Piring keramik berdentang menghujam lantai. Milka pun mengangkat kepala. Di hadapannya, si anak botak, yang mendapat hukuman lepas kemeja serta sepatu, sedang menyeret anak lelaki yang tadi meminta susunya.

Dengan keras, dibantingnya kepala anak itu ke meja hingga menimbulkan suara berdebam keras. "Minta maaf," titahnya, dingin.

Milka membelalak, bingung melihat seorang anak lelaki dengan hidung dan mulut berdarah menatap lemah. "Ma-af," katanya lirih, mengulurkan tangan yang gemetar.

Tangan Milka tak kalah gemetar saat terulur. Anak itu menyeringai licik meski darah masih mengalir dari ujung bibirnya. Belum sempat ujung jari Milka menyentuh telapak tangan anak itu, tiba-tiba si botak menjambak rambutnya. "Ngga gitu caranya minta maaf," ujarnya, dingin.

Dengan kasar, dia menarik kepala anak itu lalu menendang belakang lututnya hingga berlutut sambil mendongak menatap Milka. "Gini caranya minta maaf," katanya, mendorong kepala anak itu keras.

"Ma-af, Mil-ka," ucapnya lemah.

Milka mengangguk pelan, tidak tahu harus menjawab apa. Si botak itu kemudian menendang punggung anak itu hingga kepalanya menghantam lantai. "Beresin semua," titahnya, menunjuk lantai yang kotor karena nasi, sayur, dan lauk bertebaran. Kemudian diambilnya sekotak jus buah dari lantai, satu-satunya makanan yang masih layak makan.

Sambil membuka sedotan dan menusukkannya ke kotak, dia berjalan santai menuju meja Milka. Dengan tenang, dia duduk mengangkat kaki di kursi. Sementara di balik punggungnya, tiga orang anak lelaki yang tadi menertawai Milka sedang membersihkan lantai dengan muka memar dan merah karena darah.

Pak Guru yang tadi menghukum mereka di gerbang sekolah, tiba-tiba sudah berdiri di samping meja dengan tulang hidung diplester. Napasnya terengah dan matanya nanar. "Kalian semua," katanya menunjuk anak-anak lelaki yang baru saja terlibat perkelahian, "ikut ke BK, sekarang!"

Anak botak itu melenggang, meninggalkan meja tanpa kata-kata. Di sisi lain kantin, seorang anak perempuan menatap Milka tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status