Share

2. Hardy

Hardy duduk dengan santai di sofa tamu ruang Bimbingan dan Konsultasi. Ruang itu hampir seperti rumah kedua baginya. Tiada hari tanpa mampir ke ruang BK. Hari itu saja, dia sudah hadir dua kali di ruang keramat itu. 

Hardy sampai hafal apa saja yang ada di sana, tiga buah meja guru, satu lemari kayu, satu dispenser dengan galon air mineral yang terjungkir balik, serta satu set sofa lengkap dengan meja kopi panjang. Sofa itu cukup empuk, kadang Hardy tertidur di sana saat menunggu kedatangan guru yang akan menanganinya.

Sejak naik kelas tiga, guru yang menanganinya berganti dari laki-laki menjadi perempuan, Bu Sonia namanya. Meski dipanggil Bu, tetapi Hardy tahu, usianya masih muda. Mungkin menjadi guru di Kusuma Bangsa adalah pekerjaan pertamanya. 

SMA Kusuma Bangsa memang sekolah baru, baru tiga tahun, tepatnya. Wajar jika guru-guru yang mengajar pun masih sangat muda. Hanya kepala sekolahnya yang lumayan berumur. Dia berhasil dibujuk dengan iming-iming jaminan hidup di hari tua dan asuransi kesehatan untuk seluruh keluarga. Hardy tersenyum sinis tiap kali mengingat itu semua. Jaminan hidup, seolah-olah manusia bisa menjamin hidup manusia lainnya.

Tiga orang anak yang tadi mengolok-olok Milka akhirnya datang juga. Wajah mereka sudah lebih bersih daripada ketika merapikan lantai dari makanan yang berserakan. Hardy mengenal tiga anak itu, malah, bisa dibilang, dia adalah pemimpin mereka.

“Enak?” tanyanya pada ketiga anak itu.

Sorry, Bang. Kita ngga tahu, dia cewek Abang,” salah satunya, yang berambut keriting menjawab.

“B*****t, lu! Untung gua ngga gegar otak,” yang tadi dipaksa berlutut di depan Milka menyambar.

“Gua udah bilang, lu terserah mau ngapain, gua ngga peduli. Tapi kalo lu ngelecehin cewek, lu berhadapan ama gua.”

“Iya, Bang,” dua anak menunduk dan menjawab bersamaan. Satu anak yang mendapat memar paling parah mendecak kesal.

Bu Sonia masuk, mengucapkan salam lalu duduk tepat di hadapan mereka. “Hardy, Leo, Edi, Ari, kalian lagi,” katanya agak kesal.

Edi, si rambut keriting menjawab, “Maaf, Bu.”

Bu Sonia menghela napas berat. “Sampai kapan kalian akan datang ke sini karena pelanggaran? Apa ngga bisa kalian datang ke sini karena berprestasi?”

Hardy menyeringai. “Berprestasi butuh waktu lama, Bu. Kita terlalu kangen sama Bu Sonia,” jawabnya, membuat Edi dan Ari susah payah menahan tawa. Hanya Leo yang melirik Hardy sinis.

Bu Sonia memutar bola matanya malas. “Ibu juga kangen, mau ketemu sama orang tua kalian.”

Edi dan Ari membelalak kaget. “Jangan, Bu. Plis,” Edi memohon dengan muka yang dibuat sememelas mungkin.

Bu Sonia mengabaikan permohonan itu. “Hardy, ini yang kedua kali dalam sehari ….”

“Bagus, keluarkan saya,” potongnya cepat.

Bu Sonia kembali menghela napas. “Mengeluarkan kalian itu soal mudah, tapi apa itu menyelesaikan masalah?”

“Saya baru sekali hari ini, Bu. Bahkan bulan ini, apa mau dikeluarin juga?” Edi memohon dengan muka memelas.

Bu Sonia menggeleng, menatap Edi penuh simpati. “Orangtua kalian susah payah nyekolahin kalian di sini. Tau sendiri, kan, di sini bayarannya mahal.”

Edi mengangguk-angguk, matanya berkaca-kaca. Ari hanya menunduk sementara Leo tak berkata apa-apa. 

Hardy bersandar di sofa, menopang kepalanya dengan kepalan tangan. Dia tak peduli soal sekolah, atau masa depan sekali pun. Memangnya ada yang disebut sebagai masa depan? Kalaupun ada, itu tak akan jadi miliknya.

“Leo?” Tatapan Bu Sonia fokus pada Leo.

Leo, yang mukanya mengandung memar paling banyak menghela napas. “Ya, Bu. Paham.”

Bu Sonia menghela napas lagi. Berhadapan dengan anak-anak ini benar-benar menguras kesabaran. Dia yakin, mereka masih muda, masih banyak waktu untuk berubah. Kesalahan dan kenakalan pada masa ini suatu saat nanti akan jadi masa lalu yang dikenang dengan penuh tawa. Namun, agar sampai di masa itu, mereka harus berubah. Bagian berubah itu yang jadi masalah. Melihat keempat anak itu, hanya Edi dan Ari yang paling memperlihatkan perubahan pada nilai-nilai mereka, sementara Leo hampir tak ada. Apalagi Hardy, dia bahkan tak punya nilai untuk dibandingkan. 

“Hari ini, renungkan kesalahan kalian sambil membersihkan kolam renang. Ibu tidak akan menelepon orang tua kalian, kecuali Hardy,” lanjut Bu Sonia, lalu beralih pada Hardy, “Ibu perlu bicara dengan ayahmu lagi, Hardy.”

Hardy membuka telapak tangannya menghadap Bu Sonia. “Silakan,” katanya dengan senyum mengembang.

***

Pulang sekolah, Hardy menuju kolam renang, masih dengan bertelanjang kaki dan dada yang terbuka. Dia baru bisa mengambil kemeja dan sepatunya jika sudah selesai membersihkan kolam renang. Hari itu, dia bisa beristirahat, tiga orang temannya menawarkan diri untuk membersihkan kolam renang sebagai ganti telah melecehkan gadisnya.

Hardy tertawa dalam hati. Biar saja mereka salah paham, yang penting siang itu dia bisa rebahan di area penonton.

“Eh, ngga usah, Kakak.” Suara Edi terdengar menggema, membuat Hardy duduk untuk melihat apa yang terjadi. Dari kejauhan, dia melihat Edi sedang berusaha menghalangi Milka menyikat lantai tepi kolam renang. “Biar kita yang ngerjain, tadi kita udah ngomong jelek sama Kakak. Maaf, ya. Kakak duduk aja bareng Bang Hardy,” katanya, menoleh ke arah Hardy duduk.

Hardy bisa melihat Milka menatapnya dari ujung kolam renang. Dari jarak sejauh itu, dia tidak begitu jelas melihat wajahnya, hanya garis profilnya yang mengenakan jaket longgar jelas tergambar. Dengan tak acuh, Hardy kembali berbaring di bangku penonton. Ditantangnya cahaya matahari yang menyengat kulit. Ada yang mengatakan, sinar UV bisa menjadi pemicu kanker kulit. Bagus sekali, mungkin dengan begitu dia bisa kena kanker lalu mati.

“Tapi aku, kan, juga dihukum kaya kalian. Biar aku bantu, ya,” Milka membantah dan meneruskan menggosok lantai dengan sikat.

“Lu tahu artinya ngga usah?” Suara Leo terdengar menggelegar, membuat Hardy kembali bangkit dari rebahan. 

Leo merampas tangkai sikat dari tangan Milka, lalu membantingnya ke lantai. Dengan kesal dia menundukkan badan hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari muka Milka. 

Hardy berdiri, siap melompat dari tribun penonton ketika Milka mundur dan kabur dari hadapan Leo. Gadis itu berjalan cepat, menoleh sedikit ke tempat Hardy, lalu memperlambat langkahnya.

Hardy melompat dari tribun penonton, berlari tanpa alas kaki di lantai keramik yang panas terkena matahari sore. Milka berhenti berjalan di sudut kolam renang, menunggu anak lelaki botak itu sampai di tempatnya berdiri.

“Dia bilang apa?”

Milka melirik Leo yang sedang memvakum lantai kolam. Mata anak lelaki itu menatapnya tajam. Cepat-cepat Milka menggeleng dan kembali menatap Hardy. “Aku mau ngerjain hukumanku, tapi ngga boleh. Aku harus lapor ke ruang BK lagi dan bilang kalo yang ngebersihin kolam renang udah kebanyakan. Mungkin aku bisa minta ganti hukuman,” katanya lalu berjalan hendak keluar dari area kolam renang.

Hardy tercengang. Bagaimana mungkin ada orang yang malah dengan terus terang minta dihukum. Gadis itu pasti lebih gila darinya. “Hey!” serunya, menghentikan langkah gadis itu, “kamu juga mau aku dihukum?”

Milka terdiam, menatap Hardy bingung. 

“Kalo kamu minta ganti hukuman, berarti aku juga harus ganti hukuman. Kamu mau aku juga dihukum?”

Milka tampak berpikir.

“Ayolah.” Hardy mulai memasang tampang memelas. Seorang gadis yang rela terlambat di hari pertama sekolah demi mengobati seekor kucing liar pasti tak akan tega membiarkan orang lain menderita. “Aku udah ngga pake baju seharian. Ke mana-mana ngga pake sepatu. Kamu tahu sendiri AC di kelas dingin banget, kan?” Suara Hardy hampir-hampir terdengar seperti merengek. “Gimana kalo aku masuk angin?” Dia mengucapkan kalimat terakhir dengan nada sangat rendah hampir seperti orang yang sedang menahan tangis.

Milka menghela napas dan mengembuskannya cepat. Dilihatnya tiga anak lelaki yang dengan serius membersihkan kolam. “Tapi ….”

“Pliiis ….” Hardy menambah intensitas ekspresi memelas di wajahnya.

Milka mengembus napas lagi. “Mereka ngga mau dibantu,” katanya lemah.

“Biarin. Itu hukumannya karena udah berani ngejekin cewek.”

Mendengar argumen itu, Milka akhirnya setuju. Orang-orang seperti itu memang layak dihukum. Hardy mengajaknya duduk di tribun VIP yang teduh. Dari situ, seluruh bagian kolam renang terlihat jelas. “Kamu musti liatin mereka. Jangan sampe ada yang kelewat sesenti pun,” kata Hardy, menyandarkan punggungnya ke kursi dan memejamkan mata.

Hanya selang beberapa detik, perut Hardy tiba-tiba berbunyi keras sekali. Ditegakkannya punggung dan disilangkannya tangan di atas perut.

Milka menatapnya tanpa berkedip dengan mulut agak terbuka. Hardy berdeham, berusaha mengalihkan perhatian. “Jadi, kamu diplot buat ikut olimpiade apa?”

“Biologi,” jawab Milka sambil tersenyum dan menyodorkan sebuah apel ke hadapan Hardy.

Hardy menatap apel Fuji itu takjub. Perutnya makin keras berbunyi. 

“Kamu cuma minum jus buah aja tadi siang, kan? Makanlah, AC yang dingin banget pasti bikin kamu laper.”

Hardy mereguk ludah. Apel itu terlihat sangat lezat. Terlalu lezat untuk dilewatkkan. “Oke, kalo kamu maksa.” Diambilnya apel bergalur merah kuning itu dan langsung digigitnya besar-besar.

Milka tersenyum melihat bagaimana Hardy makan dengan rakus. “Manis?” tanyanya.

Hardy memperlambat kunyahannya. Otaknya seperti berhenti bekerja. Dia tidak yakin apa objek dari pertanyaan Milka itu. “Ya, manis,” katanya, cepat-cepat mengalihkan perhatian ke kolam, “manis banget.” Dia juga tidak yakin objek dari kalimatnya sendiri, apel atau senyuman Milka?

“Kamu suka yang manis-manis, ya?” kata Milka lagi, mengeluarkan susu kotak dari dalam tasnya, “nih, aku masih punya susu. Aku dapet yang rasa taro, pasti manis banget.” Disodorkannya susu kotak berkemasan ungu itu kepada Hardy.

Hardy menimang-nimang susu itu di tangannya lalu tersenyum geli. “Ya, aku suka yang manis-manis,” katanya, menyembunyikan tawa yang tak tertahankan ke dalam satu gigitan apel. 

***       

Setelah pembersihan kolam renang selesai, Hardy berniat segera ke ruang BK untuk mengambil kemeja dan sepatunya. “Aku naik motor,” katanya pada Milka, “mau aku anter?”

Milka tersenyum dan menggeleng. “Ngga usah, kosku deket, kok. Jalan kaki aja bisa.”

Hardy mengangguk. “Hati-hati,” katanya, melambaikan tangan dan berbelok menuju ruang BK.

Di ruang BK, Bu Sonia mengatakan bahwa ia telah menelepon ayah Hardy dan membuat janji temu untuk keesokan hari. Hardy hanya menjawab dengan oke dan berlalu pergi.

Dia tidak peduli soal sekolah bahkan tak peduli soal hidup. Memangnya buat apa hidup? Toh, nanti bakal mati juga.

Sebelum naik motor, Hardy mengecek ponselnya. Ada pesan dari Bang Tomo. “Tawuran deket Blok M, Boss. Ikut?”

Hardy mengerutkan kening. Tumben, masih hari Senin sudah tawuran. Biasanya mereka menunggu hingga Jum’at agar punya waktu cukup untuk pemulihan sebelum terpaksa sekolah lagi. Namun, hari itu, Hardy sedang tidak bergairah. Otaknya terasa penuh sekali hingga ia nyaris tak bisa berpikir. “Males,” balasnya cepat, “langsung pulang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status