Share

*Diam-Diam Mengamati*

Hari-hari di kantor berjalan seperti biasa bagi Laras, tetapi sejak pertemuan dengan Alden, ia merasa ada mata yang selalu mengawasinya. Setiap kali ia menengok ke arah kantor Alden, tirainya selalu tertutup rapat, tetapi rasa itu tak pernah hilang.

Suatu hari, setelah rapat panjang dengan klien, Laras mengambil beberapa dokumen dan menuju ruangannya. Dia melintasi lorong panjang dan tiba-tiba, ia merasa seseorang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat siluet Alden berdiri di balik pintu kacanya yang setengah terbuka. Dia hanya bisa melihat setengah wajah Alden, mata yang fokus mengamati setiap gerak-geriknya.

Laras menelan ludah, mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan bermunculan. *Apakah Alden memang sedang mengawasinya? Atau mungkin ini hanya perasaannya saja?*

Hari itu, saat jam makan siang, Laras memilih untuk makan di kantin kantor. Ia duduk di meja pojok, memandang ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, Alden masuk ke kantin, memesan makanan, dan tanpa alasan yang jelas, memilih duduk di meja seberang Laras.

"Makan siang yang enak," komentar Alden, mencoba memecah kebekuan.

Laras tersenyum tipis. "Ya, menu hari ini memang favorit saya."

Ada jeda sejenak sebelum Alden berbicara lagi, "Saya perhatikan Anda bekerja keras, Laras. Anda selalu memberikan yang terbaik dalam setiap proyek."

Laras menatap Alden, mencoba membaca apa yang ada di balik kata-katanya. "Terima kasih, Tuan Alden. Saya hanya berusaha memenuhi ekspektasi perusahaan."

Alden tersenyum, "Bukan hanya ekspektasi perusahaan, tapi juga ekspektasi saya. Anda tahu, bukan sering saya mengamati pekerja secara langsung. Tapi Anda... Anda berbeda."

Laras merasa sedikit tidak nyaman dengan pengakuan Alden, tetapi juga penasaran. "Maksud Anda?"

Alden menghela napas, "Saya terpesona dengan cara Anda bekerja. Dedikasi Anda, ketekunan Anda... dan tentu saja, kecantikan Anda." Dia menggigit bibir bawahnya, seolah menyadari bahwa ia mungkin telah mengungkapkan terlalu banyak.

Laras menaikkan alisnya, terkejut dengan kejujuran Alden. "Saya... saya tidak tahu harus berkata apa."

Alden menatap Laras, matanya penuh dengan emosi yang sulit didefinisikan. "Maafkan saya, mungkin saya terlalu jujur. Tapi saya merasa ada koneksi antara kita, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan atasan dan bawahan."

Laras memainkan garpu di tangannya, berusaha mengumpulkan pikirannya. "Saya menghargai kejujuran Anda, Tuan Alden. Tapi mungkin kita harus mempertimbangkan batasan-batasan profesional kita."

Alden mengangguk, "Anda benar. Maafkan saya."

Mereka kembali makan dalam keheningan, tetapi ada ketegangan di udara. Keduanya tahu bahwa sesuatu telah berubah antara mereka, sebuah pemahaman diam bahwa ada ketertarikan yang mendalam, tetapi juga rasa takut akan konsekuensi yang mungkin timbul.

Saat makan siang berakhir, Alden berdiri dan mengangkat topi imaginer ke Laras. "Sampai jumpa, Nyonya Laras."

Laras tersenyum, "Sampai jumpa, Tuan Alden."

- -

Setelah makan siang tersebut, Laras merasa ada beban di dadanya. Dia mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang kepada pertemuan singkat tadi. Suasana hening dan tatapan mata Alden yang dalam, semuanya membuatnya resah.

Saat hari hampir berakhir, Laras mendapatkan pesan singkat di ponselnya. Dari Alden. "Maafkan saya atas kelakuan saya tadi. Saya harap kita bisa bicara lebih lanjut nanti malam. Minum kopi bersama?"

Laras memandangi pesan tersebut, bingung. Sebagian dirinya ingin menolak, tetapi sebagian lainnya ingin tahu lebih dalam tentang Alden. Setelah berpikir sejenak, ia membalas, "Baik, jam 7 di kafe dekat kantor?"

Alden membalas dengan cepat, "Tentu. Sampai jumpa nanti."

Laras menghela napas panjang. Malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang, dan dia tidak tahu apa yang diharapkannya. Tetapi satu hal yang pasti, ada banyak hal yang perlu dibicarakan antara mereka.

Dengan perasaan campur aduk, Laras menyiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Dia memilih pakaian yang sederhana namun elegan, berusaha menenangkan diri dengan beberapa latihan pernapasan. Pikirannya penuh dengan pertanyaan: Mengapa Alden begitu tertarik padanya? Apa yang ingin dia bicarakan? Dan yang paling penting, apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap Alden? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benaknya, membuat jantungnya berdebar lebih cepat saat dia melangkah menuju kafe.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status