Johan tersenyum setelah menyambut Jaxx, “Aku tidak menyangka Mr. Scott akan tertarik dengan galeri seni. Selama ini Max Konstruksi hanya mengembangkan kompleks perumahan dan sektor publik, kan?”
Jaxx terkekeh, mengisyaratkan Bill agar masuk, dan membiarkan tas diletakkan di meja dengan resleting terbuka, “Karena itulah aku ke sini. Setelah pertemuan kita, kuharap Anda menyerahkan pembangunan galeri hanya ke Max Konstruksi saja, terlebih dengan uang itu, Anda bisa membangun lapangan golf sendiri dan bermain setiap saat. Bukankah itu menyenangkan?”
Johan melirik isi tas dan tertawa, “Aku tidak menyangka kalau Mr. Jaxx sangat mengerti dengan apa yang menjadi kesenanganku.”
“Aku pun juga senang kalau Anda suka dengan hadiah dari kami. Kalau begitu kami permisi. Aku akan menunggu undangan pertemuan selanjutnya dan mempersiapkan tanda tangan kontrak kita.” Jaxx berdiri dan mengajak anak buahnya pulang. Baru saja keluar ruangan, Jaxx menyulut rokoknya lagi karena yang tadi sudah dibuang sebelum masuk ruangan Johan.
Abi yang membantu menyalakan korek untuk Jaxx, memberanikan diri bertanya, “Mr. Jaxx, Anda terlihat kusut, padahal pertemuan dengan Johan berjalan lancar, apakah ada yang mengganjal di hati Anda?”
Jaxx menggeleng. Mengembus asap perlahan dan menghisap lagi. Tidurnya tidak nyenyak semalam, bayangan Erica terus mengganggu, karena itu dia ingin melakukan hal yang lebih seru dengan Erica. Terlebih nama itu, seolah pernah dia dengar, tetapi di mana? “Akh!” Jaxx meringis karena kepalanya tiba-tiba pening.
“Mr. Jaxx, Anda tidak apa-apa?” tanya Bill yang menahan tubuh Jaxx agar tak limbung.
“Sepertinya aku butuh kopi.” Jaxx yang merasakan denyutan di kepalanya sudah pergi, berjalan lagi, bahkan lebih cepat, dan bersiap masuk mobil.
“Saya akan mencarikan kopi terenak di sekitar sini.” ucap Bill.
“Tidak. Aku mau kopi yang kemarin saja.” Jaxx masuk mobil lebih dulu.
Bill menoleh ke Abi, memainkan alis karena tahu apa yang terjadi kemarin setelah Jaxx minum kopi Erica.
Abi malah menaikkan dua bahunya bersamaan karena tak mengerti harus menjawab apa.
Jaxx yang merasa Abi dan Bill terlalu lama, mendongak ke luar, “Apa aku harus menyopir mobil ini sendiri?”
“Tidak, Mr. Jaxx!” Abi berlari masuk dengan diikuti oleh Bill juga.
‘Ting! Ting!’ Lonceng tanda pembeli masuk berbunyi dan Erica lebih terkejut melihat siapa yang datang ke kedai kopi sore ini.
Jaxx mendekati Erica yang berdiri di balik meja, “Kopi Latte satu.” Menoleh ke Abi dan Bill, “Kalian apa?”
Bill yang tidak yakin dengan rasa kopi di kedai ini, terkekeh sambil menggeleng, “Tidak usah, Mr. Jaxx. Saya sedang tidak ingin minum kopi.”
Abi juga menggeleng mengikuti Bill.
“Lalu kalian akan berdiam diri seperti berandalan?” Jaxx menatap Abi dan Bill bergantian.
Abi mendekati meja lebih dulu, “Aku mau Mocha.”
Bill menyusul juga, “Aku Cappuccino.”
Itu terlihat lucu di mata Jessie hingga membuatnya terkekeh. Saat pria yang memesan pertama kali menoleh, Jessie mempersilakan, “Mari. Bukankah Anda yang datang kemarin?”
Jaxx tersenyum dan mengangguk, “Ya, kopi kemarin rasanya sangat luar biasa dan karena itu aku kembali. Sepertinya aku juga akan sering ke sini setelah ini.”
Jessie tersenyum lebar, “Wahhh ... aku sangat tersanjung. Baru kali ini ada orang yang begitu suka dengan kopi racikanku. Itu adalah resep turun temurun dari nenek dan kakekku. Aku sendiri bahkan menyukai semua kopi-kopi di sini.”
Jaxx melirik ke Erica, “Ya, ditambah dengan tangan terampil barista ... rasanya menjadi tak terlupakan.” Setelah Abi dan Bill duduk di kursi yang dipersilakan, Jaxx mendekati Erica, “Latte ini juga terlihat indah.”
Erica yang mengantar kopi Jaxx, meletakkannya di meja untuk menemani Jaxx yang duduk di sana lebih dulu, menyendiri dari dua orang yang bersamanya, “Kenapa kamu ke sini, Jaxx?”
Jaxx tersenyum. Kemarin Erica tampak biasa, meski tak bisa dipungkiri kecantikan itu, nyatanya hari ini Erica tampak lebih cantik lagi. Jaxx berpikir, apa tidak masalah langsung mengajak Erica ke hotel? Kemarin dia mengganggu Erica di kamar mandi galeri, bagaimana jika sekarang di kamar mandi kedai saja? Lebih cepat dan tidak memakan banyak waktu. Jaxx terkekeh untuk mengusir pikiran kotornya sendiri. “Aku hanya ingat kalau ada yang ingin bertemu denganku lagi kemarin. Mungkin orang itu sudah lupa, atau bahkan tidak membutuhkanku, atau bisa juga aku sudah tak menarik lagi.”
Erica langsung menyambar tangan Jaxx dan meremasnya, “Bahkan aku ingin bertemu denganmu lebih dulu, aku ingin mencarimu, mendatangimu, tetapi aku tidak tahu harus mencarimu ke mana. Aku ... aku butuh bantuanmu, Jaxx.”
Jaxx tersenyum lebar. Sepertinya dia tak perlu berpikir keras untuk beralasan agar bisa bermain lagi dengan Erica, “Bantuan apa memangnya?”
“Jadilah modelku, Jaxx. Kumohon.”
“Model?”
Erica mengangguk, “Aku perlu karya yang indah untuk tugas akhirku dan kamu adalah model yang sempurna.”
“Apa karena itu kau tertarik padaku? Kau melihatku seperti maha karya indah sampai mengejarku kemarin?” Melihat Erica mengangguk, Jaxx malah sulit mempercayainya, konyol, kan?
“Kumohon, Jaxx.” Erica memperlihatkan binar matanya untuk merayu belas kasih Jaxx.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Jaxx mengambil cangkir dan menikmati Latte miliknya. Kali ini rasanya lebih nikmat dari pada Americano kemarin. Sepertinya bukan Erica atau kedai kopi ini yang salah, tetapi selera Bill yang tidak cocok dengannya, padahal dia sudah membuang kopi itu langsung di depan Erica kemarin dan Erica tetap menggilainya seperti ini? Gagasan Jaxx membuat Jaxx tersenyum kembali.
“Aku akan membayarmu. Berapa pun, katakan saja, Jaxx. Aku akan mengumpulkan uang, semua gaji, tabunganku, aku akan membayarmu dengan pantas.” Erica rela demi tugas akhir ini.
Jaxx terkekeh, “Lihat! Apa wajahku terlihat seperti orang kekurangan uang? Apa aku membutuhkan uangmu? Dari menjadi model untukmu? Seberapa banyak pun kamu membayarnya, aku tetap akan menolak, uangku sudah lebih dari cukup, Erica.” Jaxx menyesap Lattenya lagi. Sungguh, dia menyukai kalimatnya sendiri, sepertinya dia berbakat menjadi pengacara, terlebih saat berdebat dengan Erica begini. Sedikit umpan akan membuatnya mendapat tangkapan besar.
“Kalau memang begitu, katakan saja apa yang kamu butuhkan, apa yang kamu mau, aku akan memberikannya padamu. Apa pun yang kamu minta, aku akan memberikannya, Jaxx. Sungguh.” Erica tak akan menyerah demi tugas akhirnya.
“Apa pun katamu? Kau akan memberikan apa pun yang kuminta?” ulang Jaxx memastikan.
Erica mengangguk mantap, “Ya, apa pun. Aku akan memberikan apa pun yang kamu mau. Berjanjilah untuk menjadi modelku, Jaxx. Kumohon.”
Jaxx tersenyum, “Ya, kalau kamu memaksa.”
Erica ikut tersenyum juga, “Terima kasih, Jaxx. Aku tahu kamu memang orang baik.”
“Ya.” Jaxx bersorak dalam hati. Sepertinya Erica sangat menyenangkan dengan semua kepolosan itu. “Sekarang, apa yang harus kulakukan untuk menjadi modelmu?”
“Aku tidak mengajakmu, ini perintah, dan aku tidak suka penolakan.”Itu adalah kalimat terindah yang pernah Lexi dengar dan karenanyalah dia di bandara Australia sekarang.“Ada apa dengan wajahmu?” Felix yang berjalan dengan menggandeng Lexi, jadi heran saat wanita itu lebih banyak diam, dunia seolah sedang salah.“Aku gugup, Felix. Kau bilang di sini tinggal dengan mamamu, kan? Apa kau akan menyewakan apartemen untukku?”Felix terkekeh, “Untuk apa? Kau bisa tinggal dengan kami. Lagi pula kalian pernah bertemu, kan? Di supermarket saat aku belanja dengan mama, untuk apa gugup, mamaku tetap sebaik dulu.”Lexi memukul lengan Felix, “Bukankah situasinya berbeda? Kau akan mengenalkanku dengan sebutan apa? Rasanya aku ingin pulang saja dan merawat adik-adikku.”“Jangan kawatir. Ada aku.” Felix bersyukur karena sopir tidak terlambat menjemputnya, melihat mobil mamanya di garasi, dia tahu kalau papa tirinya juga di rumah, dan sengaja merangkul Lexi saat mendekat, “Hai, Ma, Pa.” Memeluk maman
Tiga hari berlalu. Lexi yang tak melihat Felix selama itu, jadi kawatir, dia pun pergi ke apartemen Felix, tetapi di jalan, tak sengaja melihat ada kecelakaan dan membuat kemacetan panjang. “Aku turun sini saja, Pak. Nanti kalau aku pulang, aku akan meneleponmu.” Tersenyum ke sopir dan ke luar mobil, tak jauh lagi sampai, Lexi berpikir jalan kaki akan lebih cepat dari pada penunggu kemacetan terurai.Terkekeh, “Aku tidak menyangka akan bertemu dengan jalang sialan di sini.”Lexi langsung menoleh, “Johan, aku juga tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Apa kamu sedang mengantar kekasihmu berjualan? Kesibukanmu masih sama?”Johan terkekeh lagi, “Jangan merasa bangga setelah lepas dariku, Lexi. Bagiku, kau hanya sampah yang pernah kupakai sampai aku puas, kau hanya beruntung karena Felix tertarik padamu. Pria yang bisa membelikanmu pakaian bagus itu, akan membuangmu juga setelah bosan denganmu, dia kaya dan dia akan memilih wanita yang lebih baik dan lebih bertalenta dari pada ka
David menarik rem tangan setelah sampai di rumah Mahira, “Apa aku ...?” Bingung mau bertanya apa ke Mahira.Tersenyum, “Tidak perlu, David. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Aku tahu bagaimana cara menghadapi Felix, aku tidak mau kamu terlalu ikut campur dan menanggung konsekuensinya. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa.”David malah terkekeh, “Kalau kamu butuh bantuan, apa pun itu, telepon saja aku, nomorku ada di jajaran staf kantor.”Mahira mengangguk sambi tersenyum.“Aku ... pulang dulu.” Memencet klakson sekali dan pergi.Baru saja mobil David melewati gerbang, mobil lain sudah masuk, dan Mahira tersenyum manis mengetahui Maya yang turun dari mobil itu, “Tunggu!”Sopir itu mengangguk dan diam menunggu Mahira akan mengatakan apa.“Masuk dulu, ya, Sayang? Kakak mau bicara sebentar.” Mencium Maya dan kembali menghadap sopir setelah Maya pergi, “Di mana kalian menyekap Maya?”“Maaf, Nona Mahira. Itu bukan wewenang saya untuk menjawab.”“Apa Felix membayarmu mahal? Aku juga put
Di kantor ... Felix mengerutkan kening saat sekretaris papanya masuk, “Aku sudah sering bilang padamu kalau Mahira adalah sekretarisku dan kau harusnya paham siapa yang mengantar dokumen itu ke sini.”Sekretaris papanya menghela napas, meski kesalnya bukan main, tetap tersenyum untuk menghormati pimpinannya, “Tuan Felix, nona Mahira tidak masuk hari ini.”“Bukankah nanti sore ada meeting, ke mana dia tidak masuk? Kau tidak meneleponnya? Dia tidak boleh lalai dalam pekerjaannya, kan?” Felix menarik dokumen itu kasar dan menandatanganinya dengan cepat.“Saya sudah meneleponnya beberapa kali dan hasilnya tetap nihil. Tadi tidak diangkat dan sepertinya sekarang teleponnya mati karena tidak tersambung, Tuan.”Felix membuang napas kasar. Mahira memang meninggalkan ponsel itu ke apartemennya, ternyata meski menyerahkan diri, Mahira masih begitu membenci, Felix harus memikirkan cara lain agar Mahira jinak padanya. “Batalkan saja meetingnya. Aku ada urusan, kalau dia bisa datang meeting saja d
Felix tersenyum, menarik tangan Lexi dan mengecupnya, baru kemudian diletakkan di paha, “Hanya di depanmu aku bisa menjadi diriku sendiri, Lexi. Aku memang mencintai Mahira, tetapi kita sama-sama tahu kalau dia adalah adik tiriku sekarang. Sambil menunggu apa langkah yang harus kuambil, tetap denganmu aku membagi semuanya, Lexi.”Mendengar itu, Lexi jadi gusar, “Kebaikan itu membautku takut, Felix.”“Takut?”“Aku takut kalau kebaikanmu membuatku jatuh cinta.” Membuang muka. Lexi melihat ke arah luar.Felix malah tertawa, “Kau bisa melakukan itu sesukamu, Lexi. Aku tidak akan melarangmu.” Mobil sampai di rumah Lexi, “Aku tidak bisa menjemputmu besok pagi. Sopir akan datang nanti malam. Jangan kawatir. Aku pulang dulu.” Felix langsung ke apartemennya. Baru saja masuk, siapa yang dilihatnya, membuat Felix terkejut, tetapi dia langsung tersenyum untuk menyembunyikan rasa keterkejutannya, “Kau di sini?”Mahira yang memang sudah menunggu Felix dari tadi, langsung melempar ponselnya, matanya
Mahira membuka mata perlahan, terkejut karena dia malah berbaring dengan berselimut, meski pakaiannya masih lengkap, kenangan beberapa hari lalu masih saja membuatnya takut setiap tertidur di dekat Felix. Dia memang sendiri dan dia takut tak mengingat apa pun saat ketiduran.Felix baru saja ke luar dari kamar mandi, hanya dengan menggunakan handuk, langsung mengeringkan tubuh tanpa malu, dan berganti baju, “Kau sudah bangun?”Mahira yang memilih untuk membuang muka, tetap enggan menjawab pertanyaan itu, “Apa aku tidak malu?” bentanya lebih membuatnya nyaman dari pada menjawab pertanyaan Felix.Terkekeh, “Tidak. Aku sudah pernah telanjang di depanmu meski waktu itu kau masih tidur.”“Kau yang sengaja membuatku tak sadarkan diri, Felix. Itu kriminal.”“Ya dan aku bersyukur sudah melakukan itu padamu.” Felix yang baru saja selesai ganti baju, langsung ke dapur, melihat makanan yang tadi dibungkus dari kafe, langsung dihangatkan, dia akan memakannya setelah ini.Mahira turun dari ranjang