Axel dalam tubuh Hana terlihat tenang dan sama sekali tidak terkejut dengan pukulan keras ke meja itu. Matanya malah balaa menatap tajam lawan bicaranya. Hana dengan muka yang tertutup masker terlihat memberengut tak suka dengan apa yang terjadi di meja nomor tiga belas.‘Pak Axel ngomong apa sih, sampai Andra marah seperti itu? Ish Pak Axel nyebelin!’Axel tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Jadi alasan kamu maafin Hana agar dipinjamkan uang?”“Maksud kamu apa? Kamu minta maaf karena kamu yang salah, kalau pinjam uang itu masalah lain, Han! Aku kan sudah bilang akan ngembaliin sama hutangku yang kemarin-kemarin itu sekalian!”“Oh jadi ini kamu sudah sering minjem?” gumam Axel sambil menaikkan sebelah alisnya. Hal itu disalah artikan sebagai sebuah sindiran oleh Andra. Muka Andra terlihat semakin masam. “Kamu enggak ikhlas selama ini? Kukira kamu gadis baik yang tulus, Han.”Axel sebenarnya tak ingin melanjutkan percakapan ini dan hendak memberikan uang yang sudah diamanatkan
Hana melirik sosok tubuh miliknya yang berada di sebelah dirinya. ‘Wajah milik-ku tampak sangat gugup, bukankah Bos hanya mau ke rumahnya? Harusnya aku kan yang gugup, ini kenapa malah ia yang terlihat begitu?’ Hana kemudian melemparkan pandangan ke arah luar, deretan rumah mewah dan fasilitas umum mahal terlihat di sepanjang jalan. Mobil sport dengan pajak jutaan itu kemudian melewati sebuah portal yang diawasi oleh beberapa satpam. ‘Kita akan masuk hutan?’ batin Hana melihat pepohonan rimbun di balik pagar besi yang dijaga ketat. “Kita sudah sampai kediamanku,” ucap Axel singkat saat para penjaga membuka gerbang besar dengan ornamen huruf ‘H’ yang terlihat sangat mewah. “Hah?” gumam Hana terkejut. “Ini bukan hutan? cagar alam? Ini besar sekali seakan orang-orang di kampungku bisa bedol desa tinggal di sini. Tapi yang mana rumahnya, Bos?” tanya Hana bertubi-tubi, sedikit rasa khawatir terlintas di benak gadis yang berada di tubuh bosnya itu. ‘Jangan-jangan ia niat membunuhku di ten
“HAH?” mata abu cerah Hana langsung terbelalak. Ia langsung tersedak kemudian batuk hebat sambil mencoba menelan kunyahan daging sirloin yang ada di mulutnya. Axel menggeser gelas berisi air putih ke depan Hana. “Aku tidak akan menerima apapun alasan penundaan acara pernikahanmu kali ini, Axel. Keluarga Kalendra Group sudah setuju, begitu pula dengan calon istrimu yang menerima dengan senang hati. Lagipula bukankah kau dan cucu dari presdir Kalendra Group sudah lama terikat dalam hubungan pertunangan. Kau dan Salia Kalendra.” Hana melirik dengan ekor matanya ke arah Axel sebelum menjawab pertanyaan itu. Jika Hana mensyaratkan selalu berkata ‘iya’ pada Axel saat bertemu dengan Andra. Maka berkebalikan dengan saat itu, Axel meminta Hana untuk selalu mengatakan ‘tidak’ pada apa yang akan keluarganya sampaikan. ‘Wah bos bertunangan dengan Salia. Dan sekarang ia yakin mau menolak Salia Kalendra? Bukankah gadis itu artis terkenal dan sangat cantik, muda, dan bahkan punya segudang bakat? A
“Tidak percaya?” tanya Axel sambil memamerkan seringai di bibir tipis milik Hana. Susan dan Gerrard kompak memberikan pandangan aneh yang tentu saja memiliki arti mempertanyakan pernyataan gadis mungil yang sangat tidak sopan di hadapan mereka. Ditambah Hana malah menggelengkan kepalanya. “Kau jangan mengaku-aku sesuka hati ya!” bentak Susan beringas sambil menunjuk muka gadis mungil di hadapannya. Seolah hal sebelumnya masih kurang membangkitkan amarah keluarga Harrison pada sosok Hana -yang dihuni Axel-. General Manager Harrison Food itu malah menarik rahang siku-siku dan mendekatkan bibir tipis Hana kebelah merah miliknya. Sebuah kecupan panas yang membuat kedua insan itu menutup mata mereka sesaat sebelum terjadi. Tentu saja rasanya aneh sekali mencium diri sendiri. ‘Bos sudah gila,’ batin Hana. Namun, detik selanjutnya setelah bibir mereka beradu, rasanya berbeda. Tanpa sadar jiwa mereka telah kembali ke tubuh masing-masing dan ciuman panas itu masih berlangsung di hadapan k
“Andra? Tentu saja, Pak.” “Kau pecinta pria-pria tampan, ya? Baru beberapa menit yang lalu kau bilang mau menjadi sugar mommy ku,” rajuk Axel terlihat pura-pura. “Pak…,” jawab Hana dengan pandangan datar. ‘Asli Pak Bos menggelikan kalau merajuk begitu.’ “Kenapa kau mencintainya?” tanya Axel lagi, masih tampak penasaran. “Andra pernah menyelamatkanku. Ketika itu aku pulang telat dari kantor, dan melewati gang sepi dekat kosanku. Tiba-tiba ada segerombolan pria, tiga atau empat orang yang coba mengganggu. Mereka semua mabuk.” “Kamu lembur? Kapan?” sela Axel memotong cerita Hana. “Waktu pertama kali menggantikan tugas Mbak Sita jadi sekretaris.” “Ah…,” gumam Axel pelan. Ia merasa bersalah, saat itu ia begitu kesal karena Hana yang menggantikan tugas sekretaris lamanya bekerja sangat lambat. Axel ingat melihat sosok gadis itu yang pulang jam setengah satu malam dari balik jendela ruangannya. ‘Harusnya aku mengantarkannya malam itu,’ sesalnya dalam hati. “Salahku, harusnya aku memi
‘Tapi ada gundukan kok, bersyukur Hana setidaknya ada, enggak seperti kemarin.’ Kembali gadis itu meraba perut dan terus turun hingga di antara dua pahanya. “Huft,” gumam Hana kemudian sembari bangkit dari kasurnya. Ia melihat wajahnya dengan rambut kusut masai. “Hallo diriku,” sapa Hana sembari tersenyum pada pantulan cermin. ‘Kemarin bos ngeliat wajahku begini apa enggak mengumpat dalam hati ya?’ Segera gadis mungil itu bangkit dari kasurnya dan menyambut hari senin dengan perasaan ringan bahagia, hal ini tidak seperti biasanya bagi Hana. Senin merupakan hari yang paling ia kutuk setelah liburan menyenangkan di sabtu dan minggu. Dan, bertemu dengan bosnya merupakan hal yang paling menyebalkan dari semua itu. Namun, semenjak kejadian kemarin. Hana menanggapi hari ini cukup berbeda. Gadis dengan rambut panjang hingga sepunggung itu sekarang berjalan ringan menuju lobi kantornya. Seperti biasa Hana menyapa setiap orang di kantor dengan ramah, hingga seorang lelaki memanggil namanya
Dengan langkah panjang, Hana membawa box yang berisi berkas-berkasnya ke divisi keuangan. Ia masih kesal dengan perlakuan Axel. “Dasar orang kaya sombong! Semoga makanannya asin semua dan kejatuhan cicak,” gumam Hana seraya mengumpat. Akhirnya Hana kembali ke kubikelnya yang sudah dua bulan tak ia tempati. Rasanya sedikit aneh ketika ia mendudukan bokongnya di kursi itu, setelah terbiasa bekerja di meja sekretaris. Tepatnya di sebelah ruang kerja General Manager Harrison Food. Gadis berambut panjang hingga sepinggang itu mengembuskan napas panjang. “Kapan makan-makan? Merayakan kebebasan terlepas dari sang tiran tampan nih, Han?” tanya seorang wanita di awal umur empat puluh tahunnya. Tetangga kubikelnya, Marjeni. Seorang janda beranak tiga. Hana tak menjawab pertanyaan Marjeni. Ia hanya tertegun di tempatnya. ‘Apa ini maksud Pak Bos tentang ‘akan mengembalikan semuanya seperti semula?’” “Hana? Hana? Hana?” panggil Marjeni beberapa kali sebelum akhirnya ia meneriakan nama itu sambi
Axel memijat pelipis kepala, menahan kemarahannya yang sudah di ubun-ubun. Sudah pukul tiga sore tapi sekretaris barunya ternyata bekerja jauh lebih lambat daripada Hana. Belum lagi isi laporan yang dibuat Zidan salah semua hingga Axel harus bekerja dua kali sebelum mengirimkan berkas-berkas itu ke klien. “Apa semua anak buahku badut?” rutuk Axel sambil mengetuk-ngetuk jemari panjangnya di atas meja. Ia sudah sangat pusing dengan pekerjaan Zidan, Axel jadi sedikit menyesal membuat keputusan terburu-buru pagi ini. Yaitu mengganti Hana. “Hana,” gumam Axel sembari melihat ponselnya yang layarnya mati hidup dari tadi. Menandakan ada telepon masuk. Tidak, sambungan jarak jauh itu bukan dari Hana, melainkan dari kedua orang tua Axel yang dari semalam tak henti-hentinya menghubungi anak semata wayangnya itu, selain itu ada seseorang lagi yang terus menerus menerornya semalam. Axel menelungkupkan kepalanya di atas meja, menggunakan tangannya sebagai bantalan. Entah bagaimana ia ingin berce