Masuk“Teh ini dari daun perkebunanku sendiri, nikmat kan rasanya?”Binar hanya mengangguk, tidak begitu mendengarkan penjelasan Tristan.Mereka duduk di salah satu gazebo yang menghadap ke kebun teh dengan segelas teh hangat di tangan mereka.Berulang kali Tristan menengok ke arah Binar, tapi wanita itu hanya diam dan menikmati teh sambil menatap lurus ke depan.Tristan menggigit bibirnya gemas, tak tahan karena harus terus menerus diam. Dia menghembuskan napas keras.“Hujan sudah berhenti. Dan dari pada aku melihat kau yang seperti patung, lebih baik kuajak kau berkeliling, aku akan jelaskan sistem kerjamu, sekalian kau bisa berkenalan dengan yang lain dulu.” Binar mengangguk lagi. “Baiklah, ayo.” Tristan tampaknya sedikit heran dengan sifat penurut Binar yang kelihatannya berlebihan. Wanita itu tidak pernah berpendapat apapun, tapi selalu menuruti perintah.Binar mengikuti langkah Tristan memasuki kebun teh yang kini mulai dipenuhi oleh para pekerja yang baru saja datang. Mereka mengha
[Maaf mengganggu, Binar. Tapi aku rasa kamu berhak tahu. Bhaga ada di sini, bersamaku. Dia butuh seseorang malam ini, dan tampaknya... bukan kamu.] Pesan itu masuk ke ponsel Binar dengan sebuah foto, diambil dari sudut yang jelas menunjukkan Selene dan Bhaga berbaring di atas bantal yang sama, tanpa busana. Dengan sedikit gemetar, Binar menekan tombol telepon dan benar, suara Selene yang menjawab. “Kau mencari Bhaga?” Detik berikutnya, Selene mengalihkan panggilan suara itu menjadi panggilan video dan mengarahkan kameranya ke wajah Bhaga. “Dia sudah tertidur lelap karena kelelahan.” Hati Binar terasa hancur. Tapi ada hal lain yang lebih memberatkan hatinya. Kesadaran bahwa mungkin Binar bukan siapa-siapa selain simpanan Bhaga.Binar sudah cukup muak dengan semuanya. Jadi malam itu, dia mengambil tas travel dan mengisinya dengan sejumlah pakaian.Menaiki transportasi umum, Binar sengaja pergi ke pinggiran kota. Dia memilih sebuah penginapan kecil di desa, berharap Bhaga tidak a
Kelopak mata Bhaga bergerak pelan. Kepalanya berdenyut hebat, mulutnya terasa kering dan pahit. Dia bergerak perlahan, berusaha meregangkan tubuhnya.Dia melenguh dan berdeham kecil sambil memijit pelipisnya pelan.Saat dia membuka mata, pandangan yang masih buram mulai fokus pada rambut hitam yang tergeletak di bantal di sebelahnya. Bhaga tersenyum kecil karena mengira itu adalah Binar.Namun, saat pandangannya mulai fokus, matanya langsung terbelalak saat melihat wajah itu. “Selene?!”Seketika itu juga, seluruh rasa kantuk dan mabuknya lenyap, digantikan oleh kepanikan. Dengan cepat Bhaga duduk di tepi tempat tidur, membuat kepalanya semakin pusing, tapi dia tak peduli. Selimut yang menutupi tubuhnya melorot, dan dia menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan apa pun. Kepalanya gegas melihat sekeliling dengan liar. Kemejanya tergeletak di lantai, begitu pula gaun berwarna peach milik Selene. Jantungnya berdegup kencang. Tidak. Tidak mungkin.Dengan gemetar, dia meraih kemejanya da
Mobil Bhaga melaju kencang menerobos malam, membawa Bhaga dan Binar pergi dari kediaman Bhaga.Mereka kembali ke rumah mereka, yang Bhaga belikan untuk Binar.Bhaga tahu, terlalu sulit bagi Binar untuk menetap di rumah saat Nurma seenaknya berbuat. Dia harus membawa Binar ke tempat yang aman baginya.Begitu pagar dibukakan oleh penjaga rumah, cahaya lampu dari jendelanya terlihat samar-samar. Begitu kembali ke kamar mereka, Binar langsung menyusup ke kasur. Bhaga mengikuti dari belakang, menarik Binar ke dalam pelukannya.“Aku minta maaf.” Bhaga berbisik pelan. “Kata-kata mami tadi, itu tidak benar. Kau bukan simpanan.” Tapi Binar tidak merespons pelukan itu. Tubuhnya kaku. Perlahan dengan tenaga yang sepertinya menyedot seluruh sisa kekuatannya, dia mendorong Bhaga, melepaskan diri. “Aku paham,” jawab Binar lirih dengan senyum kecil, lalu kembali memunggungi Bhaga lagi.Bhaga terdiam. Binar jarang mendorongnya seperti itu. Ekspresi Binar tidak marah, tidak sedih, tapi kosong. Dia
Rumah keluarga Djati beraroma harum masakan mewah dan bunga segar. Nurma telah mengerahkan segala upaya.“Maryam, vas bunganya taruh di sini,” perintah Nurma, dituruti Maryam yang segera menaruh sebuah vas bunga mungil di tengah meja yang tertata rapi.“Bagus, bagus,” komentar Nurma. “Ayamnya sudah siap? Supnya? Sup harus dihidangkan lebih dulu, ya, ingat. Selain itu …”Maryam dan para pelayan lainnya mengangguk patuh, mendengarkan perkataannya. Setelah itu, Nurma melihat sekeliling dengan puas.Ruang makan dipoles berkilau, peralatan perak terhampar sempurna, dan dekorasi elegan dari buket bunga. Harapannya ini bukan sekadar makan malam biasa. Bhaga baru saja membuka pintu depan, kemejanya sedikit kusut dan tas kerja yang masih ada di genggaman. Wajah kelelahan itu langsung berubah menjadi keheranan saat dia mencium aroma harum dan melihat keramaian. Selene beserta kedua orang tuanya sedang duduk di sofa ruang tamu sambil mengobrol. Perhatian mereka teralihkan oleh Bhaga yang baru
Cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan Bhaga seolah sedang menyorot ketegangan di dalamnya. Bhaga menyandarkan pinggulnya pada meja kerjanya sambil memperhatikan beberapa bukti foto yang baru saja dikirimkan Rudi.Bhaga menghela napas, lalu menyimpan foto itu kembali ke dalam berkas.Pintu ruangannya diketuk, lalu Selene melongokkan kepalanya masuk dengan aura cerahnya yang biasa.“Bhaga, Tante Nurma manggil, ayo makan siang.”"Sel, duduk dulu," ujar Bhaga, menunjuk kursi di seberang mejanya. Suaranya datar. Selene terdiam, lalu masuk dan duduk perlahan, ekspresi riangnya berubah menjadi perhatian yang serius. "Ada apa? Masalah dengan investor lagi?" "Bukan," jawab Bhaga, menghela napas. "Aku dapat dari asistenku yang sudah menginvestigasi skandal itu." Senyum Selene hampir menghilang, tapi dia berusaha tetap tenang, penuh perhatian."Oh? Ada perkembangan?" "Rudi melacak fotografernya. Dan juga sudah melacak media yang pertama menyebarkan." Selene mengerutkan kening, seola







