Share

Bab 2

"Ridho hentikan! Kamu mau kemana?"

Ibu merebut baju di tanganku dan melemparkannya ke tembok.

"Ridho mau pergi dari sini, lebih baik Ridho tinggal di kontrakan daripada tinggal rumah ini tapi gak ada satupun yang mau menghargai Ranti sebagai istri Ridho," tegasku.

Mulut ibu menganga, mungkin beliau sedang syok karena anak lelaki yang biasanya selalu kalem dan nurut apa saja kata beliau kini berubah jadi macan liar.

"Ridho! Apa-apaan ini? Tinggal di kontrakan katamu?!" sengit Ibu.

Dan sebelum aku menjawabnya ibu sudah bicara lagi.

"Heh kamu gadis kampung." Ibu melotot ke arah Ranti seraya menoyor dadanya sebelah.

"Lihat anakku! Sejak dia menikah denganmu entah kenapa anakku jadi anak durhaka seperti ini, dia jadi berani membantah dan membentakku begini," imbuh beliau berteriak kencang.

Tubuh Ranti bergetar ketakutan.

"Tapi Ranti gak ada niat buat-"

"Diam kamu!" potong Ibu. Beliau bertelunjuk jari, sejurus kemudian tangan beliau melayang dengan gagahnya, untunglah aku segera menangkis tangan itu agar tak sampai mendarat di pipi Ranti.

"Jangan sakiti istri Ridho, Bu," ucapku menatap beliau tajam.

Wajah ibu memerah, tampak kemarahan yang sangat besar berkobar di sana.

"Lepaskan! Biar Ibu tunjukan siapa dia dan apa tempat yang pantas buat wanita ini!" sengit Ibu.

Kulepaskan tangan ibu pelan-pelan, kutatap matanya tajam.

"Kalau Ibu gak bisa nerima Ranti sebagai istri Ridho, jangan salahkan Ridho kalau Ridho akan benar-benar melupakan rumah ini," ancamku.

Mulut ibu lagi-lagi menganga. Setelah itu beliau tampak berusaha menetralkan diri semampunya.

Ibu membuang napasnya perlahan-lahan setelah itu beliau kembali bicara dengan suara yang sudah normal.

"Ridho ... udahlah, gak perlu besar-besarkan masalah begini, kamu anak Ibu kan? Selama ini kamu tinggal bersama Ibu, sekarang gak mungkin kamu bisa tinggal jauh dari Ibu, apalagi di rumah kontrakan, ayo taruh lagi bajunya, kita kembali sarapan ya."

Alisku menaut, kenapa ibu jadi seperti ini? Tadi beliau sedang amat murka, tapi sekarang apa? Apa ibu sedang berusaha meyakinkanku agar aku mengurungkan niatku pergi dari rumah ini?

Ya benar. Mungkin saja.

Aku tahu, ketakutan ibu memang begitu, beliau sangat takut melepaskan kedua anak lelakinya tinggal terpisah, itulah kenapa mas Haris juga masih tinggal bersama kami walau ia sudah menikah 5 tahun yang lalu.

Entahlah apa alasannya aku pun tak tahu.

Sebetulnya aku tak keberatan kalau harus terus tinggal bersama ibu dan sodara-sodaraku, hanya saja, yang membuatku akhirnya geram adalah--mereka selalu menganggap istriku itu pembantu dan lebih-lebih hari ini ibu mengungkit masalah kami yang masih menumpang di rumah beliau.

Padahal tinggal di sini juga bukanlah kemauan kami, ibu sendiri yang memintanya bahkan sampai memohon-mohon dulu.

Aku membuang muka.

"Maaf Bu, tapi keputusan Ridho udah bulat, tinggal terpisah bukan berarti Ridho akan melupakan Ibu kan?" ucapku seraya menurunkan koper itu dari atas kasur.

"Ridho!!" Ibu kembali menyentak hingga membuat Ranti terperanjat di tempatnya.

Sifat aslinya seperti kembali lagi setelah tadi beliau gagal merayuku.

"Kenapa sih kamu jadi baperan begini? Biasanya juga si Ranti Ibu suruh-suruh kamu fine-fine aja, hal sepele begini gak usahlah kamu besar-besarin." semburnya lagi dengan wajah kembali merah padam.

Aku menggeleng tak percaya, hal sepele katanya?

Istriku disuruh kerja dari pagi sampai malam, rumah harus selalu rapi dan tak henti-hentinya ia disuruh-suruh, hal sepele katanya?

Selama ini aku sabar dan diam karena Ranti selalu menahanku saat aku mulai emosi.

Ranti bilang selama bisa sabar kenapa harus bertengkar? Apalagi sama ibu sendiri.

Tapi entah kenapa kali ini rasanya aku sudah tak tahan. 2 bulan bayangkan! Dua bulan aku harus diam dan membiarkan istriku dijadikan pembantu.

Enggak lagi, sekarang aku gak bisa menuruti ucapan Ranti lagi, kasihan dia jika Ranti terus-terus menjadi babu di rumahku sendiri.

Kupalingkan wajah kasar tanpa aku berkata lagi, rasanya aku sudah malas berdebat dengan ibu.

Segera kutarik koperku.

"Ayo Ranti! Kita pergi dari sini sekarang."

Aku menarik tangan istriku keluar kamar dan meninggalkan ibu yang masih mematung di sisi ranjang.

"Jadi kamu benar-benar akan memilih istri kamu yang gak ada apa-apa nya itu Ridho?" Teriakan Ibu membuat langkahku mati.

Aku berbalik badan menampakan wajah kecewa.

"Apa maksud Ibu? Ranti gak ada apa-apa nya gimana maksudnya?" cecarku dengan dada yang kembang kempis.

Ibu berjalan pongah dengan tangan melipat di dada.

"Iya, kamu mau kontrak rumah dan hidup miskin sama wanita ini kan? Silakan! Pergi, pergi saja kau dari rumah ini, tapi ingat! Jangan pernah kembali dengan alasan kamu menyesal," tegas Ibu bertelunjuk jari.

"Kamu pikir mudah hidup miskin," imbuhnya pelan nyaris tak terdengar.

Aku menarik napas berat. Entah apa yang ada dalam pikiran beliau. Dalam situasi seperti ini saja beliau masih menghina istriku?

Kuakui, memang saat aku menikah dengan Ranti, ibuku jelas tidak mengizinkannya dengan alasan Ranti tidak sepadan dengan keluarga kami, kelas kami berbeda.

Ranti hanya gadis dari kampung yang kutemui di warnas langganan dekat kantorku, ia bekerja di sana beberapa bulan dan aku menaruh hati begitu dalam hingga akhirnya aku betekad meresmikan dia jadi istriku.

Kupikir setelah aku menikahi dan membawa Ranti ke dalam rumahku ibu akan mulai membuka hati dan menerima kenyataan ini, tapi ternyata aku salah.

Alih-alih diterima, istriku malah sengaja dijadikan pembantu.

"Hidup bukan soal miskin atau kaya saja, Bu, tapi soal kasih sayang dan kenyamanan, dan hal itu gak bisa diatur oleh siapapun," tegasku akhirnya.

Ibu mengatupkan bibir. Dengan langkah pasti kutarik tangan Ranti keluar rumah.

"Kamu benar-benar sudah berubah Ridho!" teriak Ibu lagi di bibir pintu.

Mas Haris dan Suci pun menghampiri.

"Halah palingan cuma gertak doang. Si Ridho yang biasa hidup mewah dan ber AC di rumah ini, apa mampu dia hidup mandiri? Apalagi cuma tinggal di kontrakan," sinisnya terdengar jelas sekali ke telingaku.

"Iya udah biarin aja, Bu, nanti juga pada balik lagi," sahut Suci juga.

"Diam kalian! Kalau sodara kalian itu pergi apa kalian siap gantiin kerjaan si Ranti di rumah ini?" pekik Ibu membuat mulut mereka tertutup seketika.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rifdah Nisa
benar tu ridho lebih baik bw sja istri ny.. dripada tinggl sm ma lampir wkwkwk kok aku yg emosi ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status