Share

Bab 3

Aku pun benar-benar pergi tanpa membawa apapun dari rumah itu. Malas juga, takutnya mereka ngajak debat lagi gimana?

Bismillah aja, walau pergi tanpa apapun, bahkan mobilku pun aku tinggal, tapi aku yakin kalau niat membahagiakan istri pasti akan selalu diberikan jalan yang mudah.

Saat kami berjalan di bahu jalan perumahan mewah ibu, Ranti mengentikan langkah sambil menarik tanganku sedikit.

"Kita mau pergi kemana, Bang?"

"Entahlah."

Ranti menarik napas berat.

"Ranti kan sudah bilang, apa-apa teh coba atuh dipikirkan dulu, pikirkan masak-masaknya."

"Abang kesal Ran, kamu selalu aja disuruh-suruh begitu, dua bulan Abang sabar, hari ini mungkin bom waktu nya."

Ranti menggelengkan kepala.

"Kita bahkan gak pamitan ke Bapak loh, kasihan nanti kalau beliau nyariin, gimana?" ucapnya lagi dengan wajah cemas.

Aku menghela napas dalam, baru kuuingat soal bapak.

Sudah 5 bulan ini Bapak sakit, beliau hanya bisa terbaring di kamar dengan selang infus dan oksigen.

Itulah kenapa ibuku tak memperkerjakan ART, karena sejak Bapak sakit kami jadi butuh biaya pengobatan yang lumayan, belum lagi keuangan kami juga merosot perlahan-lahan.

Toko kelontong yang sekarang dikelola ibu pendapatannya makin sedikit dan bahkan sulit ditebak setiap harinya.

Untunglah masih ada gajiku, mas Haris dan si Suci, walau gaji bekerja sebagai karyawan biasa tak begitu besar, tapi cukuplah untuk kami makan dan biaya pengobatan Bapak.

Setiap bulannya kami akan dimintai setengah dari uang gaji kami dengan alasan untuk biaya hidup dan pengobatan Bapak, ya mungkin dari sana juga sebabnya kenapa ibu gak mengizinkan anak laki-lakinya pisah rumah.

Tapi entahlah aku juga tak begitu paham apa maksud dan keinginan ibu itu.

"Soal Bapak, nanti kan kita akan rutin ke sana nengokin beliau Ran, gak usah khawatir ya, yang penting sekarang kamu aman dulu, kamu istri Abang, tanggung jawab Abang, kamu juga berhak bahagia." Aku meyakinkannya.

Ranti yang berpembawaan tenang itu tak bicara lagi, kami lalu meneruskan langkah mencari sebuah kontrakan.

"Abang teh yakin bisa tinggal di sini?" tanya Ranti dengan khas logat Sunda nya, saat kami berada di depan sebuah kontrakan.

Ranti adalah wanita berdarah Sunda, kedua orang tua nya masih lengkap, ia juga punya sodara bernama Hasjun, mereka semua tinggal di kampung.

Memang kehidupan mereka amat sederhana, karena itulah aku bertekat untuk terus membahagiakannya semampu yang kubisa.

"Yakin dong kenapa enggak?" senyumku padanya.

Ranti lalu membuka kontrakan itu.

Sebelum kami masuk seseorang sudah datang menyapa kami.

"Eh Mbak Ranti, sudah di sini aja," katanya.

Seketika keningku mengerut. Siapa dia? Kok kenal Ranti?

"Iya ini Bu, mau tinggal di sini."

"Oh semoga betah ya Mbak Ranti," katanya lagi sambil berlalu dari hadapan kami.

Aku yang masih terheran-heran cepat bertanya.

"Siapa dia Ran? Kok dia kayak kenal sama Ranti?"

"Ah biasalah emak-emak," jawabnya ringan sambil mengajakku masuk.

Kulupakan soal orang tadi lalu menyeret koperku ke dalam.

Sekarang aku akan memulai hidup baru di kontrakan ini. Kupandangi tiap sudut kontrakan yang hanya terdapat 3 petak itu.

"Di sini belum ada AC Bang, panas," kata Ranti.

"Gak apa-apa Abang akan berusaha adaptasi."

Hari berlalu, seminggu sejak kami mengontrak rumah.

Perlahan-lahan, meski sejujurnya aku sedikit kesulitan tinggal di kontrakan aku berusaha untuk terus bersabar dan kuat menjalaninya agar aku terbiasa.

Aku gak boleh sampai balik lagi ke rumah ibu, kasihan Ranti, lebih baik aku yang tersiksa sedikit di sini daripada aku hidup mewah tapi istriku sudah layaknya babu di sana.

Aku juga akan tunjukan sama ibuku, kalau aku bisa dan mampu hidup mandiri, meski di kontrakan yang amat sederhana.

"Gajian masih seminggu lagi, apa uang belanjanya masih ada?" tanyaku pagi ini sambil memakai kaos kaki di bibir pintu.

"Ada atuh Abang," jawabnya.

Entah kenapa setiap kutanya istriku soal uang belanja ia selalu jawab masih ada, padahal seminggu lalu saat kami pindah ke kontrakan aku hanya memberinya uang 900 ribu karena saat itu hanya tersisa segitu di dalam dompet.

Aku hampir setiap hari bertanya apakah uangnya masih ada? Karena aku tahu dari tetangga kontrakan katanya biaya sewa kontrakan di sini sebesar 800 ribu perbulannya, jadi mungkin uang yang kuberikan seminggu lalu itu sisanya hanya 100 ribu yang bisa dikelola istriku sehari-hari.

Tapi ajaib bukan main, uang 100 ribu itu masih saja ada katanya, padahal aku tahu harga cabe dan bawang lagi meroket.

"Kalau uangnya habis bilang aja Ran, nanti Abang usahakan pinjam ke teman atau ke bos," ujarku lagi meyakinkannya.

Ranti menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Gak usah atuh, orang uangnya juga masih cukup," jawabnya lagi.

Baiklah, aku tak memaksa. Hari itu akupun pergi bekerja seperti biasa.

***

Seminggu kemudian.

"Hallo Ridho, transferin setengah gajimu buat biaya pengobatan Bapak," kata Ibu di dalam sambungan telepon.

Aku yang baru saja pulang kerja menggeleng kepala.

Baru saja sampai aku sudah ditodong, gak pake basa-basi pula. Hadeh ibu ... ibu.

Walau beliau lagi marah pada kami, tapi kalau soal duit sepertinya ibuku itu tak ingin melewatkannya.

"Iya nanti Ridho transfer."

Tut tut tut. Telepon dimatikan sepihak.

"Hadeh."

Tak lama Ranti datang dari luar. Setelah menaruh barang bawaannya ke atas karpet ia bertanya.

"Ada apa, Bang?"

"Ibu, udah nodong uang," jawabku sambil menggeleng kepala.

"Berikan saja, buat berobat Bapak, kan?"

"Iya, tapi masalahnya Ibu masih aja minta setengah gaji Abang, bukannya gak mau kasih, tapi kan sekarang kita harus bayar kontrakan juga Ran," ujarku sambil memijit kening yang tiba-tiba terasa nyut-nyutan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
dewi ambarwati
ceritanya asyik
goodnovel comment avatar
carsun18106
ranti, hasjun, ini mereka anak2ny asmi hasan????
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status