Share

Dia Istriku Bukan Pembantu
Dia Istriku Bukan Pembantu
Author: Ricny

Bab 1

"Ran tolong dong ambilkan tisu, piringnya kayak kotor gini," kata Mas Haris saat kami hendak sarapan di meja makan.

"Masa sih, Mas? Itu sudah dilap loh sama Ranti tadi pagi."

"Bawel banget, ambilin aja napa sih," sahut Mbak Kania-istri Mas Haris.

Akhirnya Ranti yang baru saja akan duduk kembali ke belakang mengambil tisu.

Selesai mengambil tisu, Ranti duduk di sebelahku. Saat baru saja ia akan mengambilkan nasi goreng ke dalam piringku ibu sudah kembali memerintahnya.

"Kecapnya dong Ran, kurang kecap ini nasi gorengnya."

"Itu emang sengaja Bu, Bang Ridho gak terlalu suka kalau nasi gorengnya kebanyakan kecap," jawab Ranti.

"Ya udah sih ambilin aja, pake ngasih alesan segala," sahut Mbak Kania lagi.

Karena malas berdebat Ranti kembali bangkit mengambil kecap.

Aku mulai memasang wajah tak suka.

"Ibu 'kan udah bilang, bikin nasi gorengnya dipisah aja buat Ridho sama buat kita, beda selera soalnya," kata Ibu seraya mengambil botol kecap itu dari tangan Ranti.

"Maaf Bu, soalnya tadi Ranti lagi repot cuci mangkok bekas semalam pada bikin mie, gak tahu bekas siapa tapi mangkoknya lumayan banyak," jawab istriku apa adanya.

Aku menarik napas berat, kasihan Ranti, padahal sebelum dia tidur semalam dia sudah cuci semua piring supaya paginya kerjaan terasa lebih ringan, eh malah ada bekas mangkok bekas si Suci dan teman-temannya itu.

Sarapanpun berlanjut. Seperti biasa Ranti lebih dulu sibuk mengisi piring dan gelasku sebelum akhirnya ia mengambil untuk dirinya sendiri.

Baru selesai ia mengisi air minum ke dalam gelasku, mas Haris sudah kembali bicara.

"Tolong isi juga gelas Mas dong Ran, habis nih," katanya seraya menyodorkan gelas kosongnya.

"Yah tekonya habis, Mas," seru Ranti sambil menaruh teko kosong itu di tengah-tengah meja.

"Ya udah tolong ambilin ke belakang sebentar sana," titah Mas Haris.

Aku mulai geram, tak terima kenapa sejak tadi saat mereka butuh apa-apa selalu saja istriku yang disuruh oleh mereka.

"Kenapa harus Ranti sih, Mas? Mbak Kania kan ada," protesku kemudian, sambil melirik ke arah istri Mas Haris yang juga duduk di sampingnya.

"Kania belum selesai sarapan, tanggung," jawab Mas Haris dengan entengnya.

Aku menyeringai, "tapi Ranti juga belum mulai sarapan, Mas. Kasihan," ujarku lagi.

"Udah sih Rid biarin aja, Ranti juga gak keberatan ini." Ibu menyahut.

"Ya gak bisa dong Bu, kasihan Ranti, kapan sarapannya kalau daritadi disuruh-suruh terus?"

"Wajar aja istrimu disuruh-suruh Rid, kerjaannya kan emang diem di rumah, kecuali kalau istrimu itu kerja kayak si Kania, boleh lah kamu protes."

Aku menggeleng kepala, bisa-bisanya ibu bicara begitu, apa beliau gak pikirin bagaimana perasaanku dan Ranti?

Walau sehari-harinya Ranti di rumah, bukan berarti mereka bebas nyuruh-nyuruh istriku bukan?

"Ranti! Ayo ke belakang! Sekalian ambilkan cardigan yang kemarin kamu setrika mau Ibu pake sekarang," imbuh Ibu lagi pada istriku.

"Kaos kaki Suci juga dong Kak, sekalian ke belakang," sahut Suci-adik bungsuku.

"Enggak!" Refleks aku menyahut dengan suara lantang.

Kugebrak meja makan sedikit kencang sampai air dalam gelas tumpah sebagian.

"Istriku bukan pembantu! Jadi jangan pernah kalian suruh-suruh Ranti lagi, kalian paham?" lanjutku, emosiku meluap-luap bak air mendidih dalam panci.

Semua orang terperangah. Sejurus kemudian ibu melepaskan sendoknya.

"Maksud kamu apa? Gak terima kamu istrimu Ibu suruh-suruh?" tanya beliau dengan raut wajah yang sudah berubah.

Jelas saja aku tak terima, dari mulai bangun subuh sampai sekarang jam 7 pagi istriku gak ada hentinya di dapur.

Selesai sarapan bahkan dia masih harus lanjut ngerjain pekerjaan rumah, entah nyuci bajulah, cuci piring bekas sarapanlah, belanja ke pasar buat besoklah, dan masih banyak lagi tugas istriku yang tak bisa kusebutkan satu persatu.

Dan hal itu sudah berlangsung selama 2 bulan ini sejak aku menikah dengan Ranti. Di mana harusnya pengantin baru seperti kami sedang diberi waktu untuk saling mengenal dan mengisi waktu dengan menyenangkan, mereka malah sibuk jadikan istriku sebagai pembantu gratisan.

Bagaimana aku tidak marah?

"Jelas Ridho gak terima dong Bu, kasihan Ranti dari pagi kerja terus, setidaknya kalau dia sudah ada di meja makan berhentilah nyuruh Ranti, masing-masing orang udah diberi dua tangan dan kaki kan?" jawabku kecut.

"Ridho!" Ibu menyentak, tampak beliau tak suka mendengar ucapanku.

"Ya wajar aja Ibu nyuruh dia ngerjain kerjaan rumah, kerjaan rumah 'kan gak seberapa, gak terlalu capek kaya kita kerja nyari duit, lagian 'kan cuma istrimu yang diem di rumah."

"Kalau gak mau disuruh-suruh makanya kerja dong nyari duit, lihat aja! Walau Ibu udah tua, Ibu masih kuat tuh kerja ke luar, nyari duit buat makan, biar gak nyusahin orang lain terus," imbuh beliau lagi meneleng tajam ke arah istriku.

"Tahu heran banget kenapa sih Kak Ridho sensitifan begitu?" sahut Suci.

"Istri dari kampung aja kamu belain segitunya Ri ... d Ri ... d." Mbak Kania ikut menyahut sambil menggelengkan kepalanya.

Dadaku mulai riuh bergemuruh, rasanya ingin kulakban saja mulut mereka itu satu persatu andai mereka bukanlah keluargaku.

Entah kenapa tega sekali mereka bicara begitu di depan istriku.

Maksud mereka sebetulnya apa? Memang niat membuat Ranti sedih? Atau mereka sengaja supaya Ranti gak diem di rumah lagi, begitu?

"Cukup ya!" Aku yang tak tahan akhirnya bertelunjuk jari ke arah Mbak Kania.

"Udah, Bang!" bisik Ranti menyikut lengan sebelum aku melanjutkan ucapanku.

"Biarlah Abang bela kamu Ranti, sudah tak tahan rasanya kamu selalu dihina begini. Mereka anggap kamu pembantu hanya karena kamu gak kerja, padahal Abang gak merasa keberatan sama sekali, karena kalau cuma buat makan Abang sanggup berikan," ujarku lagi dengan suara yang sengaja kukeraskan.

Mereka semua mengerling dengan bibir tertarik sebelah.

Mereka memang begitu, selalu saja merendahkan istriku di mana pun Ranti berada. Dan parahnya jika aku berusaha membela istriku mereka akan tertawa seolah-olah sikapku itu berlebihan.

"Biar Ranti ambilkan, cuma air seteko 'kan? Kenapa harus ribut-ribut?" sahut Ranti seraya bangkit.

Aku kembali menarik tangannya.

"Bukan masalah air seteko nya Ran, tapi masalahnya harga dirimu akan terus-terusan diinjak-injak kalau kamu selalu menuruti perintah mereka." Tegas aku bicara sambil menatap keluargaku tajam.

Ibu mendecih pelan, "terserahlah, istri dari kampung aja kau bela mati-matian," katanya.

"Ya terus kalau bukan Ridho siapa lagi yang akan belain Ranti, Bu?" Aku menantang, rasanya kemarahanku kini sudah berada di ubun-ubun.

"Percuma ngomong sama kamu Ridho, Ibu males, kayak kamu nikah sama anak presiden aja sampe gak boleh disuruh-suruh, sadar diri aja sih, hidup aja masih numpang di sini," sinis Ibu lagi.

Aku yang sedang marah makin terluka saat ibu bilang kami masih numpang.

Akhirnya aku benar-benar bangkit, lalu kutarik tangan istriku.

"Ayo! Lebih baik kita pergi dari sini!" ucapku tegas.

Ibu terperangah, wajahnya berubah cemas saat beliau mendengar aku akan pergi membawa istriku pergi.

"Tunggu dulu Rid, Ridhooo! kamu mau kemana?"

Tak kupedulikan walau ibu berteriak. Aku terus menarik istriku ke kamar dan mulai memasukan baju-baju kami ke dalam koper.

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Aline
bagussss Ridho
goodnovel comment avatar
Yunita Anisyah
lanjoot thor.....
goodnovel comment avatar
Aini Sumbawa
cerita Asmi terulang lagi nich
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status