Share

Dia dan Pembalasan Dendamku
Dia dan Pembalasan Dendamku
ผู้แต่ง: AK-17

Penghianat harus mati

Suara gesekan besi dan dinding tembok beradu menjadi perpaduan suara yang menyenangkan. Warna merah darah yang mengalir di ujungnya yang lancip memiliki sebuah story yang menarik untuk didengar. Bau darah yang tidak pernah asing dan aura yang sama benar-benar kental. 

 Lihatlah, dua tubuh yang terkapar di lantai bersimbah darah. Mereka mulanya adalah sepasang suami istri yang harmonis dan menyenangkan. Aku sudah baik sekali mengakhiri mereka secara bersamaan agar yang lain tidak kesepian.

Mereka cukup baik padaku, tetapi itu hanya sesaat, sebelum aku mengetahui topeng asli mereka dan wajah manis itu langsung tampak ketakutan. Jadi, tanpa berbasa-basi aku menyelesaikan tugasku, tugas awal yang diberikan oleh Ibu saat pertama kali menemui keluarga ini.

 Aku beralih menatap seorang gadis yang meringkuk di ujung ruangan, memeluk tubuhnya ketakutan. Namanya Alea, anak tunggal suami istri itu. Wajahnya tampak pucat dan sama sekali tidak mau menatapku. Gadis yang sempat melemahkan langkahku saat pertama kali masuk ke dalam keluarganya. Gadis yang manis, cantik, dan polos. 

Bagaimana ini? Apa aku harus membunuhnya juga?

Tidak! Mana mungkin aku tega. Dia adalah gadis yang polos dan tidak tahu apa-apa tentang ke dua orang tanya yang licik. Ia hanya korban dari keangkuhan dua makhluk menyedihkan itu, sehingga musuh keluarganya ingin menghabisi mereka semua. Tapi Ibu pasti akan marah jika aku meninggalkan saksi. Dan lagi, entah kenapa, sejak awal, aku tidak pernah berniat melukainya, tidak sama sekali terlintas di kepalaku. Karena aku ... ah, entahlah, mungkin karena semakin bosan dengan pekerjaan ini.

"A-aku m-mohon." Ia terisak, seolah tahu apa yang baru saja terlintas di pikiranku.

Aku menatapnya datar. Ekspresi ketakutan yang sudah sangat sering kulihat, tetapi kali ini sukses merobek sesuatu di dalam sini. Rasa sakit yang asing saat melihat tubuhnya gemetar ketika aku baru saja menyeret satu langkah mendekat.

 Padahal beberapa hari yang lalu, ia selalu semangat menyambutku dan ayahnya saat kami pulang bekerja. Beberapa hari yang lalu, ia bilang selalu merindukan aroma maskulinku jika tidak kembali selama satu jam saja. Aku ingat sekali bagaimana ia selalu tersenyum dan mengomel saat tahu aku belum makan. Manis, bukan?

"B-biarkan aku pergi." Suaranya patah-patah, kentara antara takut dan putus asa dan itu membuatku merasa seperti monster yang benar-benar mengerikan. Lalu secara refleks lengkungan bibir membentuk smirk yang menyeramkan, menyadari bahwa memang sejak awal aku adalah monster, tidak perlu merasa bersalah. Anehnya, aku malah merasa bersalah. Cih!

Aku membersihkan darah yang mengalir di ujung pisau dengan tangan kosong. Merasakan cairan merah itu menempel dan mengeluarkan bau amis yang mulai mengganggu.

“Lea ...,” kataku lirih. Lalu berbalik menghadap pintu, membelakangi, berpura-pura seolah tidak melihatnya.

“Pergilah sejauh mungkin dan jangan pernah kembali ke negara ini.” Jeda. Atmosfer di dalam ruangan ini terasa panas dan pengap. Setiap rangkaian kata kukelola hati-hati, setidaknya agar ia mendengarkanku untuk terakhir kalinya.

“Aku akan menghitung sampai sepuluh, lalu setelah itu aku akan mengejarmu. Jika kamu tertangkap olehku, kamu akan mati. Jika kamu tertangkap oleh teman-temanku, kamu juga akan mati. Jadi, larilah dan jangan pernah berhenti.” Jeda lagi. Atmosfernya terasa sunyi dengan suara isaknya yang tertahan.

“Jangan pernah percaya pada siapa pun di dunia ini, selain dirimu sendiri.”  Menarik napas dalam. Merasakan tenggorokan sedikit serak dan embusan napas yang keluar masuk terasa berat.

“Satu ....” Aku mulai menghitung.

Gadis itu masih membeku. Bodoh! Apa orang tua itu tidak mengajarimu untuk jangan pernah menyia-nyiakan waktu barang sedetik?

“Dua ....” Terus menghitung lambat, memberinya waktu untuk lari. Larilah, atau aku benar-benar akan membunuhmu. Aku serius.

“Tiga ...”

Terdengar suara pecahan jendela dari belakang, disusul oleh suara isak tangis dan langkah kaki yang perlahan menjauh, meninggalkan sesuatu yang asing, sesuatu yang tidak kumengerti. Tapi ...

“Empat ....” Aku masih terus menghitung saat tubuhnya mungkin sudah melesat jauh di belakang sana. 

Mengelus benda tajam dengan ukuran yang sempurna untuk membedah perut di tanganku. Mengukur seberapa dalam harus kutusukkan agar tidak langsung mati.

“Lima ....” Aku berbalik dan mendapati bahwa ia sepertinya lari ke arah hutan gelap di belakang. Bagus, tidak ada siapa-siapa di sana dan ia akan aman. 

“Enam ....” Masih terus menghitung, sambil membawa langkah kaki mendekat ke arah jendela. Memastikan bahwa ia sudah benar-benar jauh. 

Aku paham betul apa konsekuensi dari melepaskannya. Dan ini sudah dipertimbangkan sejak awal. Bagaimana ke depannya adalah urusan nanti. 

Well, ada sekitar lima mesin pembunuh sepertiku yang berjaga di luar sana hanya untuk mengawasi bahwa aku melakukan pekerjaan yang benar.

Lalu dengan sengaja aku menusukkan pisau itu ke dada sedikit bergeser, agar tidak benar-benar merobek jantung, menciptakan skenario yang menarik untuk diceritakan pada Ibu agar wanita itu tidak membunuhku saat tahu bahwa anaknya melepaskan saksi atau lebih tepatnya target mereka.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, sepertinya mereka mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Lalu saat lima orang itu sampai, aku berpura-pura mengerang sambil mencabut pisau yang kutusukkan sendiri di dada, sehingga mengeluarkan darah segar yang lumayan banyak. Sial! Rasa sakitnya tak seberapa, tapi jika terlalu banyak darah yang keluar, maka ini akan menjadi kematian yang konyol.

“Dia kabur!” Sambil menunjuk arah jendela yang pecah. Tiga orang itu segera melesat, sementara dua orang lagi membantuku berdiri.

Awalnya kupikir skenario ini akan berhasil, ternyata aku benar-benar bodoh saat berpikir untuk menipu si profesor tua.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status