Sementara itu, Wildan masih berdiri mematung dengan berbagai pertanyaan. Untuk apa Alina menyuruh mang Asep mengantarkan koper miliknya. Apa mungkin Alina mengusir dirinya dari rumah itu, karena rumah yang mereka tinggali, atas nama Alina.
***"Maksud Alina apa, kenapa dia ... apa jangan-jangan Alina meminta cerai," gumamnya.Setelah itu, Wildan menaruh kopernya ke dalam, lalu ia bergegas keluar. Wildan berniat untuk ke rumah menemui Alina, sekaligus meminta penjelasan darinya. Karena sampai kapanpun Wildan tidak akan pernah rela berpisah dengan Alina."Alina, sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan kamu." Wildan membatin. Saat ini ia dalam perjalanan pulang.Dalam perjalanan pikiran Wildan benar-benar tidak tenang. Ini memang salahnya, selama tiga hari Wildan tidak pulang, karena memang Rena tidak mengizinkannya. Wildan pikir Alina akan mengerti, tetapi ternyata dugaannya meleset."Alina, maafkan aku. Maaf karena sudah membuat kamu marah, membuat kamu kecewa," batin Wildan.Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, kini mobil Wildan sudah berhenti di pelataran rumahnya. Setelah itu, Wildan bergegas turun, lalu berlari masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam, rumah nampak sepi, Wildan melangkah menuju ruang tengah berharap jika Alina ada di sana."Alina ke mana, kenapa rumahnya sepi seperti ini," gumamnya. Wildan mengedarkan pandangannya, mencari sosok istrinya."Bi, Alina di mana?" tanya Wildan."Nyonya sedang pergi, Tuan," jawab bi Inah."Pergi ke mana, Bi?" tanya Wildan."Kurang tahu, Tuan." Bi Inah menggelengkan kepalanya.Wildan menghela napas. "Ya sudah, Bi terima kasih." Iya, Tuan." Bi Inah mengangguk, setelah itu ia kembali melanjutkan pekerjaannya."Alina, kamu ke mana," gumamnya. Setelah itu Wildan mengambil penselnya untuk menghubungi nomor istrinya itu.Satu menit, dua menit tiga menit, hingga sepuluh menit, telepon tidak tersambung. Wildan kembali mencobanya, tetapi hasilnya juga sama, ia benar-benar heran dengan istrinya itu. Setelahnya Wildan memutuskan untuk pulang ke rumah Rena."Lebih baik sekarang aku kembali ke rumah Rena dulu." Wildan masuk ke dalam mobil, setelah itu ia melajunya dengan kecepatan cukup tinggi.Tidak butuh waktu lama, kini Wildan tiba di rumah Rena. Pria berkemeja navy itu bergegas masuk ke dalam, tak lupa ia juga membawa koper miliknya itu. Wildan melangkah masuk ke dalam kamar, setibanya di kamar terlihat jika Rena sedang mengganti popok putranya."Kamu bawa baku berapa, kok pakai koper?" tanya Rena."Mang Asep yang nganterin koper ini, atas perintah Alina," jawab Wildan.Rena menyipitkan matanya. "Maksudnya, Alina nyuruh kamu tinggal di sini selamanya apa gimana. Eh bukannya kamu bilang mau pindah ke sana yang lebih besar."Wildan menjatuhkan bobotnya di tempat tidur. "Aku nggak tahu, nanti sore aku mau ke rumah lagi. Soalnya tadi Alina nggak ada di rumah.""Oh, Mas tolong buatkan susu dulu," pinta Rena."Iya, sebentar." Wildan bangkit dan beranjak menuju meja, di mana tersedia susu serta air hangat.Jujur, pikiran Wildan menjadi tidak tenang, ia takut jika nanti Alina akan berbuat nekat.***Waktu berjalan begitu cepat, sore ini Wildan sudah siap untuk ke rumah lagi. Berharap jika Alina sudah ada di rumah, usai berpamitan dengan Rena, Wildan memutuskan untuk segera pergi."Mudah-mudahan Alina ada di rumah," gumamnya. Agar cepat sampai Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi.Satu jam lebih dalam perjalanan, kini Wildan sudah sampai di rumah. Gegas ia berlari masuk ke dalam, rasanya Wildan tidak sabar untuk bertemu dengan Alina. Banyak sekali hal yang akan Wildan ceritakan kepada istrinya itu."Di sini nggak ada, pasti ada di kamar." Wildan berlari ke lantai atas di mana kamar Alina berada.Setibanya di depan kamar, Wildan langsung masuk ke dalam. Terlihat jika Alina sedang melipat mukena, sepertinya wanita itu baru saja selesai shalat ashar. Wildan menghembuskan napasnya, setelah itu ia masuk ke dalam."Mas Wildan," ucap Alina."Alina ada yang ingin aku tanyakan." Wildan berjalan mendekati istrinya."Ada apa, Mas?" tanya Alina."Maksud kamu apa, kenapa kamu menyuruh mang Asep untuk mengantarkan koper ke rumah Rena," ungkap Wildan, ia menatap mata indah Alina."Loh, bukankah selama tiga hari kamu nggak pulang. Aku pikir kamu pasti butuh pakaian, itu sebabnya aku menyuruh mang Asep untuk nganterin kamu pakaian," sahut Alina dengan begitu tenang."Iya tapi tidak semuanya seperti itu kan." Wildan kembali menatap mata indah istrinya itu. Mata teduh yang selalu menghanyutkan."Terus mau kamu sekarang apa, Mas? Bukankah sekarang keinginan kamu dan ibu sudah terwujud, yaitu memiliki keturunan. Rena sudah mewujudkannya, jadi aku pikir kamu pasti akan selalu bersama mereka bukan," ungkap Alina.Wildan menghela napas. "Aku juga akan tetap bersama kamu. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan kamu, Alina.""Jangan egois, Mas." Alina menatap tajam pria yang ada di hadapannya itu.Wildan mengusap wajahnya dengan gusar, tiba-tiba ia teringat akan botol obat yang pernah ditemukan di kamar istrinya itu. "Alina, aku pernah menemukan botol obat di kamar ini. Itu obat apa.""Itu bukan obat, tapi vitamin." Alina terpaksa berbohong."Jangan bohong, pasti ada yang kamu sembunyikan kan. Aku juga sering melihat ada gulungan rambut di kamar mandi, kalau rontok biasa tidak mungkin sebanyak itu," ungkap Wildan, seketika Alina terdiam.Alina menghela napas. "Mungkin saatnya kamu tahu yang sebenarnya, Mas."Wildan menyipitkan matanya. "Apa? Apa yang kamu sembunyikan dariku.""Sebenarnya aku sakit kanker rahim, itu sebabnya aku sulit hamil, Mas." Alina menjelaskan. Mendengar itu Wildan terkejut, rasanya seperti tersambar di siang hari."Apa?! Kanker rahim. Itu tidak mungkin, Alina kamu pasti bohong kan." Berkali-kali Wildan menggelengkan kepalanya. Ia tidak yakin dengan pengakuan istrinya itu, Alina."Untuk apa aku bohong, Mas. Ini buktinya kalau kamu tidak percaya," ujar Alina, lalu menyerahkan amplop berwarna putih yang berisi hasil pemeriksaan dari rumah sakit.Wildan menerima amplop tersebut, setelah itu ia membukanya lalu membaca isi dari amplop itu. Seketika dunianya terasa berputar setelah membaca tulisan pada kertas tersebut. Wildan menatap wajah wanita yang berdiri di hadapannya itu."Alina, tolong bilang kalau ini bohong. Tolong bilang kalau ini .... ""Ini nggak bohong, Mas. Memang ini yang sebenarnya terjadi." Alina memotong ucapan suaminya, susah payah Alina menahan air matanya agar tidak terjatuh.Wildan mengusap wajahnya dengan gusar. "Kalau begitu, aku akan membawa kamu ke luar negeri untuk melakukan pengobatan. Aku yakin kamu akan sembuh."Alina menggelengkan kepalanya. "Sudah terlambat, Mas. Aku sudah melakukan kemoterapi, tapi hasilnya ... dokter menyarankan aku untuk operasi.""Operasi." Wildan menatap mata indah istrinya itu."Iya, operasi pengangkatan rahim," sahut Alina. Deg, jantung Wildan seakan berhenti berdetak, Wildan kembali menggelengkan kepalanya, menolak jika yang diucapkan istrinya itu tidak benar.Jika rahim Alina diangkat, itu artinya Alina tidak punya kesempatan untuk hamil. Wildan tidak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini, apa ini yang membuat istrinya itu berubah. Apa ini arti diam yang Alina lakukan, diam yang pada akhirnya membuat luka."Syukurlah, mudah-mudahan ini awal yang baik," gumamnya. Amara ikut bahagia melihat mantan ibu mertua dan suami yang kini sudah berbaikan. ***Tidak terasa lima tahun telah berlalu, kini Asha tumbuh menjadi anak yang cantik dan juga cerdas, tak beda dengan Nafisa. Sementara Iqbal juga semakin dewasa, bahkan kini Iqbal tengah melanjutkan kuliahnya di Jakarta, awalnya di Bandung, tetapi Adam memintanya untuk pindah ke Jakarta. Iqbal mengambil fakultas kedokteran, karena memang cita-citanya ingin menjadi dokter. Lima tahun lebih Alina membina rumah tangga bersama dengan Adam. Perbedaan usia tak menjadi masalah, justru Alina merasa lebih nyaman jika bersanding dengan suaminya yang sekarang. "Sayang dasinya di mana," teriak Adam dari dalam kamar. "Masih di laci, Mas." Alina pun ikut berteriak. Saat ini wanita berjilbab itu sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. "Sayang nggak ketemu." Adam kembali beteriak, hal itu membuat Alina menghela napas. "Sayang sebentar ya, bunda ke atas dulu,"
"Iya, mas Wildan mengira jika ibu adalah kamu," ucap Amara. Sejak saat itu, ibu mertuanya trauma dan memilih untuk mengurung diri di kamar.***Sejak pulang dari rumah Wildan, Arina sering melamun, jujur Alina merasa kasihan melihat mantan suaminya itu. Sejahat apapun Wildan, tetapi pria itu pernah menjadi bagian dari hifup Alina. Pernah menjadi imam dalam bahtera rumah tangganya dulu. "Sayang kamu kenapa? Kok ngelamun gitu, apa yang kamu pikirkan." Adam duduk di sebelah istrinya. Alina menghela napas. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma masih kepikiran tentang ... keadaan mas Wildan yang sekarang. Maaf, Mas aku nggak bermaksud untuk .... ""Iya, nggak apa-apa, aku ngerti bagaimana perasaan kamu. Bagaimanapun juga, kalian pernah hidup bersama, kamu do'akan saja semoga Wildan bisa sembuh seperti dulu." Adam memotong ucapan istrinya, lalu merengkuhnya. "Mas, Nafisa di mana?" tanya Alina. "Masih di rumah mama, memangnya kenapa." Adam balik bertanya. "Memangnya belum pulang ya, kok tad
"Janji kamu untuk menikahi Sindy," jawab Mila, seketika Alina terkejut mendengar hal itu. Bukan hanya Alina, Adam pun demikian. ***Suasana menjadi tegang, khawatir terjadi kesalah pahaman terhadap sang istri. Adam berjalan mendekati Alina. Adam tidak pernah merasa berjanji untuk menikahi Sindy, adik kandung Winda mendiang istrinya. Namun kenapa tiba-tiba mereka datang dan menagih janji. "Maaf, tapi aku tidak pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," ucap Adam. "Adam, mbak itu nggak lupa, kalau kamu pernah berjanji untuk menikah dengan Sindy," kekehnya. Mila tetap bersikeras untuk meminta agar Adam menikah dengan Sindy. Adam menggelengkan kepala. "Enggak, Mbak. Kalau, Embak tidak percaya, kita tanya langsung ke mama sama papa!" tegasnya. Adam tidak habis pikir, kenapa tiba-tiba kakak iparnya datang dan bicara omong kosong seperti itu. "Apa alasan kamu, tidak mau menikah dengan Sindy?" tanya Mila. "Karena aku sudah menikah dengan perempuan kini berdiri di sampingku," jawab Ada
"Aku nggak mau, lepas, Boby aku nggak mau." Rena terus berteriak agar Boby mengurungkan niatnya itu, tetapi Boby tidak peduli dengan teriakan Rena. Ia tersenyum karena rencananya telah berhasil. ***Kini kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Adam, Alina berhasil melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Meski harus melalui operasi, kini bayi mungil itu tengah menjadi rebutan oleh kakek serta neneknya. Sementara Adam memilih untuk menemani istrinya, yang kondisi masih lemah. "Terima kasih ya, Sayang." Adam mencium kening istrinya dengan lembut. Kebahagiaan itu kembali Adam rasakan, meski bukan dengan wanita yang sama. Namun Adam beruntung bisa memiliki istri seperti Alina. "Sama-sama, Mas." Alina menganggukkan kepalanya. Bagi Alina, kebahagiaan yang ia rasakan saat ini bahagia yang tidak ada duanya. Kini Alina bisa merasakan menjadi istri yang sesungguhnya, menjadi ibu dari anak yang ia lahirkan, meski bukan dari rahimnya sendiri. "Mas kapan aku boleh pulang?" tanya Alina. Ju
Tiba-tiba bug, tubuh Wildan ambruk dan jatuh tersungkur. Alina yang melihat itu seketika terkejut, lalu ia menoleh ke arah belakang. Alina kembali terkejut saat melihat siapa yang menolongnya. ***"Iqbal, kamu .... ""Ma, Mama nggak apa-apa kan?" tanya Iqbal dengan raut wajah khawatir. "Iya, dari mana kamu tahu kalau .... ""Ayah yang kasih tahu, ayah nggak bisa jemput, lalu nyuruh aku untuk jemput, Mama." Iqbal kembali memotong ucapan Alina. Alina benar-benar bahagia, mungkinkah jika Iqbal telah menerimanya. Wildan memegang tengkuknya yang masih terasa sakit, perlahan pria itu bangun. Melihat Wildan bangun, Alina berjalan menghampiri Iqbal dan berdiri di belakangnya. Wildan meringis seraya memijit tengkuknya. "Dasar bocah bau kencur, jangan sok jadi pahlawan kamu," ujar Wildan. Sesekali ia memijit tengkuknya. "Lebih baik sekarang, Om pergi saja, sebelum aku panggil temen-temen untuk menghajar, Om." Iqbal menyuruh Wildan untuk mundur dan pergi. "Kamu yang harus pergi dari sini,
"Kami suruhan, Tuan Burhan. Kami bertugas untuk mengosongkan rumah ini, karena Tuan Burhan telah menyitanya sebagai pelunas hutang Rena," jelasnya. Mendengar itu, jantung Wildan serasa ingin loncat. Rena benar-benar keterlaluan, sudah membohonginya, dan sekarang membuatnya sengsara. ***Setelah membereskan pakaian, Wildan memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Rumah yang sengaja ia beli untuk Rena dulu, tapi dengan gampang Rena melenyapkan rumah itu. Kini Wildan memilih untuk pulang ke rumah ibunya. "Apa?! Jadi Alva itu bukan anak kamu! Dan sekarang Rena pergi dengan laki-laki lain." Erika terkejut mendengar cerita Wildan. "Iya, Bu." Wildan mengangguk. "Terus kalau sudah seperti ini, kita mau bagaimana?" tanya Erika. "Aku nggak tahu, Bu." Wildan menggelengkan kepalanya, lalu menyenderkannya di sandaran sofa. "Alina sekarang sudah bahagia dengan orang lain, sementara kamu. Diusir Amara dan diselingkuhin Rena," ujar Erika, mendengar itu kepala Wildan bertambah pusing. "Ter
"Aarrrght, sial." Wildan mengerang frustasi bahkan kaki kanannya ia gunakan untuk menendang pintu rumah Amara. Wildan tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. ***"Amara, kamu lihat saja nanti, kamu akan menyesal," gumamnya. Setelah itu Wildan memutuskan untuk pergi. "Apa aku pulang ke rumah Rena saja ya," batin Wildan. Kini ia sudah dalam perjalanan, Wildan bingung harus pulang ke mana. "Lebih baik aku ke rumah Rena saja," putusnya. Setelah itu Wildan melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, kini Wildan tiba di rumah Rena. Setelah memarkirkan mobil Wildan bergegas turun, lalu melangkah menuju teras rumah. Namun tiba-tiba Wildan menyipitkan matanya saat melihat ada sebuah mobil terparkir di tak jauh dari mobil miliknya. "Itu mobil siapa, kok ada di sini," batin Wildan. Setelah itu ia memutuskan untuk masuk ke dalam, tetapi niatnya terhenti saat pintu rumah tiba-tiba terbuka. "Rena, kamu mau ke mana? Lalu dia siapa." Wildan
Alina terkejut lalu menoleh ke arah kiri, terlihat jika suaminya sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah yang sudah merah padam. Ternyata bukan hanya Alina yang terkejut, Iqbal pun demikian, dan sepertinya usahanya akan gagal, karena potongan martabak yang ia campur dengan obat sudah terlempar ke lantai. ***"Mas, kenapa martabaknya .... ""Iqbal, ayah kecewa sama kamu. Apa ini yang ayah ajarkan, kamu sekolah itu untuk belajar yang bener, bukan seperti ini." Adam memotong ucapan Alina. Suasana benar-benar tegang, bahkan Nafisa langsung bangkit dan memeluk kaki Alina. "Iqbal melakukan ini karena, Ayah menikah lagi, apa ayah lupa kalau bunda meninggal gara-gara dia," ungkap Iqbal. "Iqbal." Adam mengangkat tangan hendak melayangkan tamparannya ke pipi Iqbal. Namun niatnya terhenti saat Alina memegangi tangan suaminya itu. "Jangan, Mas. Aku tahu kamu ayahnya dan berhak melakukan apa saja, tapi bukan seperti ini caranya," ujar Alina. Sementara Iqbal sudah memalingkan wajahnya. Adam m
Amara mengantar suaminya sampai di teras depan, saat membuka pintu utama. Seketika mereka terkejut saat melihat Rena sudah berada di depan pintu. Terlebih Wildan, jantungnya seakan ingin loncat saat melihat istri keduanya sudah ada di depan mata. ***"Rena." Wildan membatin. "Rena kamu ada di sini, sama siapa? Terus Alva mana?" tanya Amara. "Alva ada di rumah sakit, aku ke sini untuk memberitahu ayahnya. Kalau sudah seminggu lebih putranya mencarinya," ucap Rena dengan sorot mata yang tajam. Rena sudah tidak peduli lagi, jika nanti harus diceraikan oleh Wildan, asalkan ia sudah memberitahu jika lelaki yang bersama Amara bukan laki-laki baik. "Maksud kamu, Rena aku nggak ngerti ke mana arah bicara kamu," ujar Amara yang benar-benar merasa bingung dengan sikap Rena. "Sayang sudahlah mungkin Rena .... ""Temui putra kamu, Mas. Apa kamu lupa dengan darah dagingmu sendiri." Rena memotong ucapan Wildan. "Rena, mas Wildan itu suami aku, dia bukan .... ""Dia juga suamiku, ayah Alva." R