Share

Berawal dari Kepo

Selepas Salsa melakukan meeting, ia mengerjakan beberapa hal yang akan di kirim ke kantornya. Ia akan memanfaatkan sinyal yang ada, karena jika ia tidak melakukan itu, kemungkinan akan kena marah dari atasannya.

Cuaca hari ini terbilang panas, Salsa menatap jam di tangannya yang menandakan bahwa sekarang sudah pukul dua belas lebih sepuluh menit. Ia harus pulang untuk makan siang.

Salsa teringat bahwa di dalam rumah Pak RW, ada Imam yang mungkin sedang leha-leha. Ia menengok ke arah pintu masuk, ternyata pintunya dibuka lebar, dengan inisiatifnya, Salsa mengetuk pintu dari luar beberapa kali.

Tak lama, Imam menghampirinya dan menatap laptop Salsa di meja yang sudah ditutup. "Kamu sudah selesai kerja?"

"Iya, gue manfaatin waktu sama sinyal di sini." Jawab Salsa cuek.

Imam mengangguk, lalu ia menatap keadaan sekitar. "Mau pulang atau gimana?"

Salsa diam, ia penasaran dengan apa yang Imam lakukan di dalam rumahnya. Tapi ia bingung bagaimana cara memulai aksinya.

Salsa kemudian kembali duduk di bangku teras. "Ada yang gue mau tanyain, lo senggang kan?"

"Sebentar, saya beresin dulu kerjaan saya, nanti saya balik lagi." Jawab Imam lalu masuk kembali ke dalam rumahnya.

Salsa telah berprasangka buruk pada Imam, ternyata Imam sedang bekerja. Ia akan mencari tahu apa pekerjaan Imam lewat obrolannya nanti.

Sembari Salsa membereskan barang-barangnya, tak lama Imam kembali menghampirinya dan duduk di bangku sebelah Salsa.

"Apa yang mau kamu omongin?" Tanya Imam seraya menatap Salsa.

"Sebelum lo pulang ke sini, di luar negeri ngapain?" Salsa bertanya tanpa menatap Imam, ia muak melihat muka so gantengnya itu.

"Saya kuliah sambil bekerja juga, kamu di Jakarta kuliah dan kerja juga kan?"

Salsa menatap Imam dengan sedikit kaget. "Ko lo tahu sih?"

Imam tersenyum tipis, ia tidak mungkin tidak mengetahui hal itu. "Ibu kamu sering cerita sama saya soal kamu."

Mendengar jawaban Imam, Salsa menghadap ke halaman rumah Imam sambil menutup mata, ia menahan rasa kesal lagi kepada ibunya. Kenapa ibunya harus bercerita hal itu kepada Imam? Kemudian ia menghela nafas seraya membuka matanya, mungkin ibunya hanya over sharing kepada Imam.

"Terus kenapa lo gak menetap di sana?"

"Kasihan ibu sama abah kalau saya kelamaan di sana, saya juga niat kuliah di sana bukan untuk menetap, tapi saya juga niat untuk memajukan desa ini."

Mungkin jika orang lain yang ada di posisinya, akan ada rasa kagum kepada niat baik Imam. Namun, menurutnya itu sudah basi. Di dunia ini pasti banyak yang memiliki niat seperti itu.

"Lo niat bangun kampung tapi lo sendiri diem aja tadi di dalem."

"Saya di dalem juga kerja, sama kaya kamu."

"Kerja apa?"

"Saya cuma bagian dari perusahaan pangan, yang jual hasil panen dari sini ke perusahaan."

Salsa paham dan ia menganggukkan kepalanya seraya menatap ke arah halaman. Sedangkan Imam yang pandangannya tidak lepas dari Salsa menahan rasa ingin mengungkapkan kejujurannya, ia tidak mau di cap sebagai manusia sombong oleh Salsa. Ia takut kalau Salsa akan membencinya dan membuat rencananya gagal.

"Kamu sendiri kerja apa di Jakarta?"

"Gue bagian data analisis di kantor."

Imam tersenyum lebar sejenak, entah mengapa ia sangat senang dengan hal itu. Ternyata, Salsa menyadari kalau Imam tersenyum.

"Ngapain lo senyum-senyum?" Tanya Salsa menatap Imam aneh.

Segeralah Imam menetralkan kondisi mukanya, ia memasang wajah datarnya kembali. "Saya enggak senyum, mungkin kamu salah lihat."

Salsa kemudian mengangkat alisnya dengan perasaan yang menganggap Imam aneh. Masa bodoh, ia sudah mendapat informasi tentang pekerjaan yang Imam lakoni. Saatnya ia mengulik apa yang Imam lakukan pada ibunya.

"Oh iya, seberapa dekat lo sama nyokap gue?"

"Enggak begitu dekat, saya sama ibu kamu cuma sekedar teman ngobrol saja."

Tidak mungkin. Kalau cuma teman ngobrol, mengapa ibunya ngebet menjodohkan anaknya dengan dia?

"Yakin?" Tanya Salsa seraya menatap remeh Imam.

Imam balik menatap Salsa, ia tidak mungkin mengatakan kebenarannya saat ini. Salsa mungkin akan kaget jika mendengar hal ini sekarang, ia harus mencari cara agar Salsa tidak curiga terhadap rencananya.

"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya adik kamu. Saya dan kedua orang tua kamu cuma sebagai tetangga saja." Jawab Imam untuk meyakinkan Salsa.

"Nanti gue tanya Resya, gue berharap lo gak bohong ya."

"Silahkan. Kamu bisa datengin saya lagi kalau masih kurang yakin." Jelas Imam.

"Yasudah, kerjaan gue selesai hari ini. Gue harus pulang, makasih ya buat jamuannya." Ucap Salsa sambil berdiri dan menenteng tas laptopnya.

"Sama-sama, kalau kamu besok mau ikut lagi bekerja di sini, kamu langsung datang saja."

Tanpa menjawab apa-apa, Salsa kemudian pergi dari kediaman Imam. Di perjalanan pulang, Salsa masih tidak yakin dengan apa yang sudah dijelaskan Imam. Walau raut wajah Imam sudah meyakinkan, tetapi dirinya masih belum puas. Ia harus mencari tahu lagi lebih dalam.

Ia menyadari bahwa dirinya memang kurang dekat dengan ibunya. Namun, ibunya bukan tipikal orang yang mudah percaya dengan orang baru. Ayahnya juga biasanya dapat mengambil keputusan yang mutlak. Adiknya juga akan membela Salsa bila ia merasa kalau Salsa berada di jalan yang buntu.

Anehnya, hal itu tidak terjadi. Makanya ia bingung dengan apa yang dilakukan keluarganya. Ia tidak mungkin membicarakan hal ini kepada Dhea. Dhea sedang berada dalam masalah di keluarga dan di kantornya, ia tidak mau menambah beban Dhea dengan masalahnya.

Imam, semenjak Salsa pulang. Ia merasa bersalah, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia mengawasi Salsa dari kejauhan sambil berpikir tentang langkah apa yang ia harus lakukan untuk membuat Salsa percaya padanya.

Imam melihat langkah Salsa yang pelan sambil menunduk, ia tahu kalau Salsa sedang berpikir tentang keputusan keluarganya. Ia diberi amanah untuk tetap merahasiakan rencananya.

"Besok, saya akan membuat kamu lebih tertarik lagi dengan masalah di keluargamu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status