Aku tidak butuh pikir panjang untuk balas dendam, toh, orang yang mencelakakan kami juga tidak berpikir panjang ketika ingin melakukan kezaliman. Kak dani dan Kak Yanto seharusnya adalah 2 orang yang bisa mengayomi adiknya tapi mereka malah jadi alasan kesusahan hidup kami. Apakah adil jika terus-menerus membuat kami tersiksa sementara dia terus tertawa dan melenggang hidup bahagia, di antara dukungan orang tua dan uang yang tidak pernah dibatasi, dituruti tanpa dihalangi.Tidak bolehkah sesekali aku membalaskan dendam? Aku tahu itu dosa,tapi aku hanya ingin memberikan mereka pelajaran, semoga Tuhan mengampuniku.Setelah menidurkan Rima dan memantau Kak Dani yang terlihat pergi ke kebun dengan sepatu boot dan tasnya, aku segera beraksi untuk mempreteli kendaraan yang kerap dia gunakan, beruntungnya hari ini dia tak membawa kendaraannya, jadi, rencanaku akan berjalan baik. Selagi ayah mertua tidak pulang, dan ibu mertua tidur siang seperti biasanya, juga keponakan yang biasanya sibuk b
Mendengar bahwa kak Dani mengalami tabrakan aku hanya tertawa dalam hati pura-pura menggulingkan diri dan tidur sambil memeluk bayiku."Dik, Kak Dani tabrakan," ucap kak Aidil. Suamiku yang memang settingan default perangainya adalah pria yang baik langsung panik dan mengambil jaketnya untuk menyusul sang kakak ke rumah sakit."Ini sudah malam Apakah kakak harus pergi ke sana?""Ya, kak Dani pasti butuh teman selain Kak Yanto," jawabnya cepat."Kita kan tidak punya kendaraan Kakak mau pergi pakai apa?""Aku bisa bawa motor kak Tina," jawabnya sambil bergegas."Apakah tabrakannya parah?" tanyaku lirih.Sebenarnya aku berharap dalam hati bahwa tabrakan itu memang parah, mungkin pecah kepala atau patah kaki agar dia bisa merasakan betapa sakitnya menyakiti orang lain."Belum tahu, kejadiannya baru beberapa saat yang lalu dan kak Dani sudah dibawa ke rumah sakit. Aku akan menyusulnya bersama ibu."Dari luar terdengar suara ibu mertua yang terus menangis dan meratapi tentang anaknya itu du
Kututup pintu rumah sementara keadaan di luar masih hiruk-pikuk, beberapa orang berusaha menenangkan ibu dan yang lain kembali ke rumahnya masing-masing.Kakak aidil belum pulang dari rumah sakit jadi kuhampiri Rima sambil memegang tas coklat berukuran sedang dan membukanya. Di sana terdapat beberapa lembar uang ratusan ribu dan beberapa kartu identitas milik ibu mertua.Kuambil uangnya dan untuk sementara waktu akan kusimpan dompet itu di belakang lemari agar dia kelabakan mencari KTP dan bpjs-nya. aku tidak peduli tentang dosa atau kedurhakaan sebagai seorang menantu meski rasa bersalah tetap ada. Tapi yang lebih mendominasi adalah dendam yang sudah bertumpuk-tumpuk selama bertahun-tahun. Kucoba bertahan untuk sabar dan berharap bahwa dia akan berubah tapi tidak ada perubahan sama sekali. Yang ada makin hari dia makin bengis dan terus menyakitiku dengan segala tingkah kejamnya."Mana tasku tadi, ada yang melihat dompet besarku?" tanya wanita bersuara keras itu pada orang orang yang
Karena ibu tidak kunjung membuka gembok sumur maka, mau tak mau aku dan suami terpaksa memesan setandon air yang akan kami gunakan untuk mandi dan cuci. Ketika mobil tandon datang, aku dan suamiku sibuk menadah air dan mengisi ember ember kami."Woah, pesan tandon rupanya," ujar ibu mertua yang tidak pernah absen mengurusi hidup kami. Karena merasa tidak penting menanggapinya, aku hanya diam dan sibuk mewadahkan air. Rima putriku sedang asyik bermain sendiri dengan ornamen balita yang kami gantung tepat di atas kepalanya."Berapa satu tandon?" tanya mertua pada tukang air."Lima puluh ribu, Bu.""Hmm, gaya sekali beli beli air, kayak gak punya sumur," ujarnya dengan sewot, sepertinya ia ingin cari muka pada tetangga yang memperhatikan dan pada tukang air itu."Saya gak akan beli kalau sumurnya tidak digembok dan airnya dibatasi," jawabku tidak kalah ketusnya. Tukang tandon terperanjat, tetangga juga sama, sedang ibu langsung mendelik dan pergi dari depan rumahku. Skak mat!"Dik, kaka
"Aku sudah pergi ke dukun, dukunnya bilang kalau pencuri dompetku ada di lingkungan ini," ucapnya yang ujug-ujug datang sambil berkacak pinggang menyambangiku yang sedang menyapu teras di pagi hari.Entah kenapa wanita gila ini sangat antusias untuk pamer dan mengancam orang lain."Oh ya, lalu siapa orangnya?""Ya, pasti di antara kalian, mantuku yang lain tidak ada yang berkonflik denganku jadi kesimpulanku mengerucut pada dirimu, tentu saja iya, aku yakin!""Oh, hahahah, lucu sekali ibu ini.""Apanya yang lucu, wanita itu tambah melotot.""Apakah dukun memperlihatkan bukti kalau saya yang sudah mencurinya, apakah dia memperlihatkan ke mata batin Ibu bagaimana proses saya mencurinya?""Ya tidak ... tapi dia orang pintar!" Mata Ibu berputar-putar menunjukkan tanda kegelisahannya, jelas wanita itu berbohong."Dan yang mendatangi adalah orang bodoh yang ingin minta pendapat ke orang pintar!"Seketika saja tangan besar ibu ingin melayang dan menamparku, mungkin sangat tersinggung, tapi a
Dengan berat hati, kulangkahkan kaki ke rumah bergaya minimalis dengan cat toska terang itu. Pintu rumah nampak terbuka sementara anak Kak Dani nampak duduk di terasnya."Assalamualaikum," ucapku sambil menelan ludah, aku sungguh khawatir dia melaporkan masalah ini ke kantor polisi.Bukankah, bukan hal sulit untuk melacak pelaku dan menyelidiki bukti?"Hmm, aku benar-benar tegang," gumamku sendiri."Walaikum salam," suara jawaban Kak Dani terdengar dari dalam.Ah, aku sungguh malas menjumpainya, malas menatap wajah yang dulu sering menyeringai jahat dan menertawakan kepolosanku, sikapnya sama jahatnya dengan kak Yanto yang suka membentak dan berteriak pada diri ini, sejak pertama aku menginjakkan kaki lingkungan mereka."Masuklah," ujar kak Tina yang mengikuti dari belakang."Baik, Kak," balasku lirih. Ketika ku injakan kaki ke lantai ubin berwarna marmer coklat itu, kak Dani nampak menoleh dari kasurnya yang dihamparkan di depan Tivi."Masuklah Zahra," ujarnya memberi isyarat."Terim
Mendengar teriakan ayah mertua yang sangat melolong di antara magrib dan isya tentu saja penghuni pekarangan kami keluar semua dari rumah mereka. Tak pelak mereka yang mendapati ayah tertancap parang langsung terbelalak panik, menghambur dan mencoba menolong."Astaga, Pak, kenapa bisa begini?" tanya Kak Yanto.dengan paniknya."Aku tergelincir lantai licin dan entah kenapa bisa begini, dasar Setan!"""Ayah jangan mengumpat begitu, tidak baik, itu ujian untuk ayah," ucapku yang tersirat mengejeknya."Ngomong apa sih kamu?" bentak Kak Yanto."Barusan ayah sendiri yang bilang padaku, bahwa masalah dan kesakitan apapun yang terjadi dalam hidup seseorang itu hanya ujian, bukan disebabkan oleh kesalahan orang lain, benar kan Ayah?" tanyaku pada pria yang kini menangis dan lemas."Tolong bawa aku ke mantri kesehatan atau puskesmas, aku akan mati, aku akan mati ....""Jangan bilang begitu, Yah, mati tidaknya Tuhan yang tentukan," balasku."Diam kamu, An****! tak bisakah mulutmu yang cerewet
Bismillah Sebelumnya aku makasih banget buat para pembaca yang masih setia ngikutin cerita ini sampai sekarang. Love you all.**Keesokan pagi, kudengar kabar bahwa ayah mertua akan dibawah pulang karena disarankan untuk dirawat jalan di rumah saja. Kebetulan, katanya beliau sendiri juga tak betah ada di rumah sakit dan terus rewel minta pulang.Dari teras rumah, kulihat kedua iparku dan ibu mertua sibuk membersihkan rumah induk dan menyiapkan kedatangan ayah dari rumah sakit.Mbak Devi terlihat menyapu halaman dan Mbak Tania mengepel, aku yakin rumah mereka akan ramai karena ayah mertua cukup dihormati, jadi tetangga dan orang orang yang mengenalnya pasti akan datang.Kudekato mereka sambil membawa anakku do gendongan, kutawarkan diri untuk membantu mengepel, tapi Kak Tania menolak."Tidak usah mengepel, keberadaanmu disini akan membuat Ibu marah, sebaiknya bantu kak Devi menyapu halaman, itupun andai kau bisa," ujar Kak Tania yang kebaikannya sama seperti Kak Tina, sekalipun sua