Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Davie terakhir kali di rumah waktu itu, Ileana tidak pernah bertemu kembali dengannya. Pria itu tidak datang ke kantor. Padahal Davie terkenal sangat disiplin dan patuh pada peraturan. Bahkan Davie sering datang lebih pagi sebelum karyawan lain.Ileana merasa hampa kali ini. Tidak ada yang mengganggunya. Memang menyebalkan, namun Ileana merasa kehilangan sosok pria itu.Ileana menghembuskan napas panjang. Merasa tidak bergairah untuk bekerja. Sejak tadi, ia terus duduk melamun di ruangannya."Heh!"Sebuah tepukan di pundak membuat Ileana terlonjak kaget. "Ih, Jian! Kaget gue!""Ya suruh siapa lo ngelamun dari tadi. Gue panggilin nggak dengar-dengar. Terpaksa gue tepuk pundak lo," ujar Jian sambil duduk di samping Ileana. "Lo kenapa sih? Dari tadi diam aja. Ada apa?""Hhh! Gue kepikiran Davie, Ji. Gimana kabarnya sekarang ya? Udah seminggu loh dia nggak masuk ke kantor."Jian mendecak kesal. Disentilnya dahi Ileana hingga membuat Ileana mengaduh
Saat jam makan siang, Ileana bersama Jian berencana untuk pergi ke kantin kantor. Hari ini, Ileana tidak sempat membawa bekal karena kesiangan. Jadi, terpaksa ia makan di kantin.Dalam perjalanan menuju kantin, Ileana sempat memperhatikan beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Mereka tampak memperhatikan Ileana, seolah sedang meremehkan dirinya.Entah itu perasaan Ileana saja, atau memang sedang terjadi sesuatu, namun Ileana tidak mengetahuinya. Bahkan tatapan karyawan yang ada di kantin saat ini pun sama. Tatapan mereka membuat Ileana merasa tidak nyaman."Ji, lo ngerasa nggak sih?" tanya Ileana sambil duduk di kursi kantin."Ngerasa apa?""Karyawan di sini lihatin gue terus. Tatapannya sinis, kayak ngeremehin gue."Jian menoleh ke beberapa karyawan yang ada di kantin. Tapi semua mengalihkan pandangan saat Jian menatap mereka."Abaikan aja. Nggak usah dipikirin," ujar Jian saat menyadari hal tersebut. "Sekarang, fokus aja sama karir lo. Nggak usah pikirin mereka. Anggap aja mer
Pukul 17.00 sore, Ileana dan Jian berjalan beriringan. Mereka berencana untuk pulang bersama. Sejujurnya, Jian yang memaksa karena ia tidak ingin Ileana terlalu lama menunggu angkutan umum. Ileana hanya bisa pasrah dan menuruti permintaan Jian.Saat kaki mereka melangkah menuju lobi, mereka disambut oleh beberapa karyawan di sana. Para karyawan tengah berkumpul dan melempar tatapan sinis hanya kepada Ileana saja."Ada apa nih?" tanya Jian."Ji, kamu jangan dekat-dekat sama pelakor deh. Dia itu murahan, munafik lagi," celetuk salah satu dari karyawan di sana."Iya, bener tuh," sahut yang lain kompak.Jian mengernyit heran. "Kalian tuh dengar gosip darimana sih? Jangan asal tuduh sembarangan. Kalian bisa aku laporin loh. Menuduh tanpa bukti.""Ada kok buktinya!""Mana? Coba tunjukin," tantang Jian dengan ekspresi kesalnya.Semua karyawan itu terdiam. Mereka tidak bisa memberikan bukti apapun. Jian lantas mendecih pelan. Menatap semua karyawan dengan sinis."Kalau nggak ada bukti, jangan
Sesampainya di rumah, Ileana mempersilahkan Jian untuk duduk di kursi teras. Ileana terduduk lemas di kursi sambil meneteskan air mata. Tubuhnya sudah sangat bau karena telur busuk yang dilemparkan kepadanya. Tanpa disadari, Ileana sudah menangis. Menumpahkan rasa sakit dan pahit yang disebabkan oleh ulah Naura.Jian merasa prihatin melihat Ileana. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Hanya ada suara isak tangis dari Ileana yang memecah keheningan di antara mereka."Mereka jahat. Jahat banget," gumam Ileana lirih. "Apa salah gue?""Lo nggak salah, Ilea," jawab Jian.Ileana semakin terisak. Ia tak malu lagi menangis di depan Jian. Baginya, Jian sudah seperti saudaranya sendiri. Hanya pria itu yang selalu mengerti keadaannya."Ilea, jangan nangis," ucap Jian lagi sambil mengusap punggung tangan Ileana yang terletak di atas meja kecil. "Semuanya bakal baik-baik aja. Suatu saat, mereka bakal kena karmanya. Lo harus percaya itu.""Gue nggak sanggup, Ji. Gue udah capek kali ini."
Keesokan harinya, tepat pukul 08.00 pagi, Ileana tiba di perusahaan terkutuk itu sambil membawa sebuah amplop putih di tangan kanannya. Ia bahkan hanya memakai kaos putih polos dan jeans biru serta sepasang sepatu converse hitam liris putih. Tak lupa, kemeja kotak-kotak berwarna hitam ia ikatkan di pinggangnya.Ileana mengabaikan tatapan para karyawan yang telah ikut merendahkannya kemarin sore. Tujuannya kali ini hanya untuk bertemu dengan Davie.Pintu ruangan Davie diketuk sampai akhirnya suara dari dalam memintanya untuk masuk. Setelah berada di dalam, Ileana segera menghampiri meja kerja Davie dan menyerahkan amplop putih itu.Davie menatap amplop itu sejenak, lalu beralih menatap Ileana sambil bertanya, "Apa ini?""Surat pengunduran diri.""Apa maksud kamu?""Apa kamu tuli? Apa perlu aku ulangi lagi? Itu surat pengunduran diri," ucap Ileana sarkas.Davie mendorong amplop itu ke arah Ileana. "Saya nggak terima surat pengunduran diri ini. Kamu nggak bisa keluar dari sini.""Kenapa?
Davie berjalan menuju ruang engineer. Tujuannya saat ini memastikan apakah Ileana tetap bekerja hari ini atau tidak. Ia membuka pintu ruangan tersebut, namun tidak ada siapapun di sana."Oh, mungkin lagi di ruang produksi kali," gumamnya lalu beranjak pergi menuju ruang produksi.Saat Davie memasuki ruang produksi, para engineer di sana langsung menunduk hormat padanya. Mereka menatap Davie dengan heran. Pasalnya Davie tidak fokus pada mereka dan terlihat celingukan mencari seseorang.Salah satu kepala engineer di sana menghampiri Davie. "Maaf, Pak, cari siapa?""Oh," Davie berdeham sejenak lalu melanjutkan ucapannya, "...saya cari Ileana. Dia kemana? Saya ada perlu sama dia.""Hari ini, Ilea izin nggak masuk, Pak. Tadi sempat ketemu saya."Davie mengangguk paham. "Terus, Jian kemana? Kok dia juga nggak ada?""Kalau Jian saya nggak tahu, Pak. Soalnya dia nggak ada ngasih info ke saya dari pagi. Padahal kerjaan lumayan banyak hari ini. Kemarin ada catatan dari Ilea soal mesin produksi
"Aku juga mikir gitu."Ileana masih diam, menunggu kalimat Davie selanjutnya. Wanita itu menatap Davie dengan saksama. "Aku berharap bisa ungkap semuanya besok. Aku mau lihat gimana reaksi Papa. Selama ini, aku selalu nurutin apa kata Papa. Tapi kali ini, aku bakal buat Papa sadar kalau tindakan dia itu bodoh," lanjut Davie."Aku doain semoga semuanya cepat selesai," ucap Ileana.Davie tersenyum lalu mengusap rambut Ileana dengan lembut. "Makasih ya doanya. Tapi, ada satu hal yang harus kamu tahu, Ilea.""Apa itu?""Kemungkinan perusahaan Papa bakalan bangkrut. Aku jatuh miskin dan pasti semua harta Papa diambil alih."Ileana sedikit terkejut mendengar pernyataan Davie. "Separah itu?""Iya. Tapi itu masih dugaan sementara. Aku juga nggak tahu gimana nantinya. Semoga aja, itu nggak beneran terjadi," ujar Davie."Kita doa yang baik-baik aja. Jangan mikir yang negatif dulu."
Terlihat Dimas naik ke atas pentas sambil membawa sepasang cincin pertunangan. Jian pun kembali berbisik, "Lihat tuh si Dimas. Caper banget sama Pak Khairil.""Iya, Ji. Gue jadi ilfeel sama dia.""Sama, gue juga."Saat Davie hendak menyematkan cincin di jari manis Naura, tiba-tiba saja Davie berkata, "Sebelum saya pasangkan cincin ini, ada baiknya kita lihat video sebentar."Davie mengisyaratkan sesuatu pada seseorang yang berada di dekatnya. Seseorang itu adalah detektif sewaan Davie. Video pun diputar dan semua orang terkejut melihatnya."Davie, apa-apaan ini?!" teriak Khairil.Davie hanya tersenyum sinis dan terus melihat video itu. Sebuah video berdurasi singkat, sekitar 1 menit. Di dalam video itu terlihat Khairil tengah bersenggama dengan Naura di salah satu hotel dan rekaman itu terjadi seminggu sebelum Annisa ditemukan tewas terbunuh."Davie, tolong matikan videonya," pinta Naur