Home / Romansa / Dilema Suami Bayaran / 5. Kecurigaan Annisa

Share

5. Kecurigaan Annisa

Author: diara_di
last update Huling Na-update: 2022-02-04 15:53:49

Annisa Yuzawa sedang berkeliling mall bersama Denis. Ia telah menghabiskan waktu setengah hari penuh di tempat perbelanjaan tersebut. Dari mulai berbelanja pakaian, perhiasan, hingga singgah ke tempat permainan yang disediakan mall.

Denis dengan telaten membawakan kantong belanjaan milik Annisa. Ia sangat bertanggung jawab akan tugasnya menjaga sang anak bos. Denis sebenarnya lebih merasa iba pada sosok Annisa Yuzawa. Meski Annisa terlahir dari keluarga bergelimang harta, tetapi ia tak bisa menikmatinya lahir batin.

Kebahagiaan yang Annisa rasakan kala itu menulari relung batin Denis. Meskipun Denis sudah lelah, ia tak mengeluhkannya sama sekali. Jarang ia bisa melihat tawa renyah Annisa Yuzawa.

Banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka berdua. Ya, karena tempat itu merupakan taman bermain yang dikhususkan untuk anak-anak. Annisa memainkan beberapa permainan sampai yang terakhir adalah street basketball.

"Kak, aku kayak lihat Beby dan Mami, Papi juga," seru Annisa, ia tiba-tiba menghentikan gerak tangannya yang hendak memasukkan bola ke dalam ring.

"Di mana? Nggak mungkin lah Nis kalau Pak Hiro ada di sini. Beliau sedang di kantor, Ibu juga lagi sibuk ngurus bisnis barunya," jawab Denis datar.

Tanpa aba-aba, Annisa Yuzawa melengos pergi meninggalkan tempat itu. Denis yang belum bersiap, sedikit kewalahan akibat kantong belanjaan ia taruh di lemari penitipan barang. Ia dengan cepat menyerobot semua kantong saat pramuniaga mengulurkan ke tangan Denis.

"Tunggu, Nis ... ! Tungguin, Kakak." Denis berteriak tanpa menghiraukan lalu lalang pengunjung lain.

Ponsel Denis di dalam saku celana berdering, getarnya amat mengganggu. Ia kebingungan, antara mengejar Annisa atau menjawab panggilan tersebut lebih dahulu.

Denis mencoba mengalihkan kantong belanjaan ke tangan kiri, selanjutnya ia merogoh saku celana. Ketakutan dengan cepat menyergap dada Denis saat ia melihat nama sang penelepon.

"Jangan biarkan Annisa menemukan kami, cegah Annisa ke restoran. Kami akan makan di sana!" perintah Hiro dari seberang.

"Beby ... ini Bunda. Mi ... tunggu!" teriak Annisa memanggil nama anaknya. Annisa tetap berusaha mengejar bocah kecil yang kini berada dalam gendongan Laksmi sang Mami. Laksmi menatap nanar pada Annisa, ia tak bisa berbuat banyak. Tangan besar Hiro menyeretnya agar menjauhi sang putri.

Denis tergelagap, sebagian kantong belanjaan lepas dari kaitan jemarinya. Denis kehilangan jejak Annisa Yuzawa. Ia bergegas mencari keberadaan perempuan tersebut, sebelum Hiro memberinya hukuman tanpa ampun.

Begitulah Hiro, ia sangat menjaga nama baiknya sebagai salah satu pebisnis besar di Asia Tenggara. Ia tak mau kalau sampai ada orang lain mengetahui perihal Annisa. Beby yang merupakan darah daging Annisa, ia sebutkan sebagai anak pungut. Sungguh biadab kelakuan Hiro. Hiro sama sekali tak mencerminkan seorang Ayah.

Bahkan karena tak mau Annisa mendekat, Hiro sampai memasang dua bodyguard bertubuh besar dan berotot untuk menghalau langkah Annisa.

Jeritan Annisa menggema di pendengaran Denis. Pria tersebut menghambur ke sumber suara. Benar saja, Annisa sedang dihadang oleh dua bodyguard yang memiliki badan besar. Annisa mulai membenturkan kepala ke tiang beton yang tak jauh dari jangkauannya. Kebiasaan buruk ketika ia gagal mendapatkan apa yang ia inginkan.

Denis panik menyaksikan kengerian itu. Dua bodyguard tersebut bukannya menolong Annisa, justru menyibukkan diri dengan mengusir orang-orang yang memiliki ketulusan untuk menolong.

Denis yakin bahwa semua ulah Hiro. Banyak kamera pengintai di tempat umum seperti mall tersebut. Hiro tak ingin hubungannya dengan Annisa tercium oleh media, atau kekuasaannya akan hilang bak ditelan perut bumi. Miris, Annisa diperlakukan layaknya penjahat oleh Ayah kandungnya sendiri.

Denis menjatuhkan seluruh belanjaan. Ia dengan cepat mendekap tubuh Annisa. Menenangkan amarah yang terlanjur mencuat dari dalam diri Annisa. Denis merogoh tasnya, mengambil satu butir kapsul dari botol kecil. Lalu ia menegukkan kapsul tersebut ke mulut Annisa.

Bersyukur, Denis bergerak cepat. Ia dapat menenangkan amukan Annisa. Ada keinginan di hati Denis untuk membawa Annisa melakukan terapi, tetapi ia tak memiliki wewenang atas diri Annisa.

Denis mengalihkan pembicaraan, ia tak mau kecemasannya membikin Annisa kembali meronta. Ia pun tak menanyakan perihal apa dan kenapa bisa ia menyiksa dirinya sendiri. Tidak, Denis sudah mengetahui alasannya, ia mengingat baik semua petuah yang Bi Sumi sampaikan.

Denis pun ingat, bahwa Hiro menugaskannya untuk menjaga Annisa dan membuat perempuan itu nyaman. Denis tak mau melebihi batasan. Denis berharap hari itu Annisa tak kambuh kembali. Ia harus pandai mengontrol emosi Annisa yang mudah mengalami perubahan dalam waktu sekejap.

Kegembiraan Annisa luntur, tak bersisa setelah ia merasakan nyeri di pelipisnya. Darah mulai mengaliri pipi Annisa. Denis datang membawakan perlengkapan pertolongan pertama. Ia membersihkan luka tersebut, kemudian menutupnya dengan kapas dan plester.

Sejak mengenal Annisa, Denis mulai bisa mensyukuri hidupnya. Setidaknya Denis masih bisa merasakan keutuhan keluarga. Ia tak perlu usaha untuk dapat bertemu Ibu, Ayah maupun kakaknya. Tidak seperti Annisa.

"Selesai. Apa masih sakit? Atau kita perlu ke rumah sakit?" Denis bertanya. Wajahnya ia buat semanis mungkin agar Annisa kembali mengukir senyum.

"Nggak, aku mau pulang, Kak," jawabnya lemah. Raut Annisa mengisyaratkan kepedihan yang cukup dalam. Lagi, Denis sungguh prihatin. Perempuan itu susah untuk ditebak, Denis tak mengerti apa yang sedang Annisa pikirkan. Biasanya Annisa akan langsung melupakan kejadian setelah ia menelan sebutir pil.

"Hey, kita belum beli coklat, es krim dan ... snak. Bukannya nanti malam kita akan habiskan waktu untuk nonton drama Korea terbaru? Kita butuh banyak camilan," celetuk Denis, tiba-tiba ide tersebut muncul di otaknya.

Annisa berbinar mendengar semua makanan kesukaannya disebutkan.

"Ah iya, Kak. Aku mau beli coklat dengan berbagai varian rasa," celoteh Annisa senang, persis seperti bocah kecil.

"Hm ... kamu juga harus membelikan Kakak es krim termahal di sini," jawab Denis.

Denis terus berusaha membangkitkan mood Annisa. Keduanya memutari bagian makanan ringan. Annisa memasukkan banyak camilan ke dalam keranjang. Berkali-kali Annisa merengek mengajak Denis untuk makan di atas, restoran yang sedang dikunjungi Hiro beserta sang istri.

"Kita keliling dulu di sini, ada yang ingin Kakak beli." Denis terpaksa mengatakan hal bohong.

"Aku lapar, Kak." Annisa mengadu, ia mengusap-usap perutnya yang kempis.

"Tunggu sebentar, Kakak belum menemukan coklat import keluaran terbaru."

"Haahh? Emang ada?"

Denis mengangguk, selanjutnya ia berpura-pura membolak-balikkan coklat-coklat yang ada di rak pajang. Mengulur waktu sampai Hiro menyelesaikan urusannya di sana.

Denis menarik lengan Annisa menuju lantai atas, bodyguard Hiro telah memberi kode kalau Hiro sudah pergi. Annisa menatap Denis penuh tanda tanya.

"Katanya lapar?" tanya Denis singkat. Annisa kemudian mengangguk.

Belum sempat keduanya sampai di restoran, kini Annisa dikejutkan dengan keberadaan Barra bersama seorang perempuan yang lebih muda dari Annisa.

"Kak, bukannya itu Mas Barra?" Annisa mengguncang lengan kemeja Denis. Alarm bahaya kembali menyala di kepala Denis.

"Apa kamu yakin?"

"Iya, aku pasti nggak salah lihat. Ayo, Kak." Annisa membawa Denis untuk mengikuti Barra Farzan. Denis menurut saja, ia tak mau kejadian seperti sebelumnya terulang lagi.

Denis menduga kalau Barra menyadari langkahnya diikuti oleh Annisa Yuzawa. Sebab itu, Barra seolah-olah sedang bermain kucing-kucingan. Denis juga tak berpihak pada siapa pun, meskipun ia mengetahui persembunyian Barra dan perempuannya, tetapi Denis diam.

"Kak, Kakak lihat nggak, tadi Mas Barra belok ke mana?" 

"Nggak, Nis, ayo makan dulu. Aku udah lapar."

Akhirnya Denis berhasil membujuk Annisa. Denis berhasil menangani Annisa hari itu, tetapi ia tak bisa mencegah keinginan Annisa untuk mencari tahu apa yang Barra lakukan. Annisa meminta bantuan Kenzi untuk menyewa seorang detektif guna memata-matai suaminya yang tak lain adalah Barra Farzan.

**

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dilema Suami Bayaran    37. Pergi (Selesai)

    “Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta

  • Dilema Suami Bayaran    36. Berlumur Darah

    Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S

  • Dilema Suami Bayaran    35. Satu tembakan

    Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr

  • Dilema Suami Bayaran    34. Penolakan

    Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan

  • Dilema Suami Bayaran    33. Kritis

    Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus

  • Dilema Suami Bayaran    32. Video Panas

    Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A

  • Dilema Suami Bayaran    31. Berdegup tak wajar

    Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai

  • Dilema Suami Bayaran    30. Kehampaan

    Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon

  • Dilema Suami Bayaran    29. Bonus

    Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status