Di kediaman Berli Astrata Bustomi sedang digelar acara adat Betawi Malam Pacar. Nusantara memang memiliki banyak kebudayaan, termasuk dalam hal pernikahan. Salah satunya adalah adat Betawi.
Malam pacar merupakan ritual pemakaian pacar oleh sang piare dan keluarga serta teman dekat. Ritual ini adalah salah satu rentetan acara adat sebelum acara puncak pernikahan dimulai. Malam pacar adalah istilah Betawi yang digunakan untuk menyebut acara pewarnaan kuku mempelai perempuan. Seperti Midodareni untuk istilah adat Jawa.
Perlengkapan yang diperlukan untuk malam pacar yakni daun pacar yang telah ditumbuk halus. Meski di era modern sekarang ini sudah banyak produk yang lebih praktis seperti kutek instan, namun Astra memilih mengikuti adat yang sesungguhnya.
Dan masih banyak beberapa bahan lain seperti bakulan lengkap dengan isian di dalamnya, kue basah khas betawi serta tak ketinggalan bantal beralas daun pisang yang diukir guna alas tangan sang mempelai perempuan.<
Di dalam kamar hotel, Astra menangis tergugu. Ia tak percaya, kebahagiannya menjadi petaka. Barra sangat sabar menunggu Astra sampai tak mengucapkan apapun sampai Astra berhenti dari isakannya."Kak, apa semua yang dikatakan perempuan tadi itu benar??" Tanya Astra dengan suara parau."Bersa,, bukankah aku sudah menunjukkan surat cerai itu padamu dan Papa? Percayalah, aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, sungguh aku mencintaimu." Barra merengkuh tubuh mungil Astra ke dalam pelukannya. Bersa merupakan panggilan sayang Barra untuk Astra, yang berarti Berli sayang.Astra mengangguk, ia menyeka sisa bulir beningnya. Hatinya sudah lebih tenang. Pikirannya kembali berputar normal."Sekarang, coba hubungi Kak Zen. Bagaimana kondisi Papa saat ini." Lanjut Barra, Astra kembali mengangguk patuh.Astra mulai sibuk dengan ponselnya, sedang Barra mengganti pakaiannya."Papa sudah di rumah, Kak." Seru Astra ketika ia menyudahi teleponnya."Cepa
Hari demi hari Astra jalani sebagai seorang istri Barra Farzan. Genap satu minggu ia benar-benar di rumah tanpa melakukan aktivitas yang lain di luar. Untuk pekerjaan rumah seperti yang dilakukan seorang ibu rumah tangga, Astra belajar dari suaminya. Maklum, anak sultan tak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Barra fokus mengembangkan rumah makan Minang, sedang dua adiknya sibuk merampungkan tugas kuliahnya. Astra kini tengah mencoba untuk membersihkan cumi. Ia ingin sekali memakan seafood. Namun, ia berpikir ulang untuk mendatangi restoran. Sejak Astra keluar dari rumah Pak Abbas dan memilih Barra sebagai prioritasnya, detik itu juga Alfa Zen memutuskan hubungan kerja dengan Astra juga Barra. Ya, kini Astra dipaksa untuk mandiri. Pagi tadi ia sudah meminta Barra membelikan sekilo cumi berukuran jumbo. Matanya seketika bersinar kala melihat cumi tersebut. Astra membuka kulkas, mengambil cumi yang masih dalam wadah plastik. Belum dibersihkan, pasalnya Ba
Semenjak mendapat sanjungan manis dari suami dan mertua, Astra semakin gencar belajar memasak. Seperti pagi-pagi di hari berikutnya, Astra merecoki Ervi membuat masakan di dapur.Alhasil rendang daging yang biasa mempunyai cita rasa khas, kini berubah menjadi rendang tak sedap. Terpaksa Barra mencari-cari alasan untuk membawa Astra menjauhi dapur.Kini Astra dan Barra sudah berada di rumah makan. Astra tengah mengelap meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan.Astra bahagia menjalani hidup sederhana dengan suami. Sesekali ia mencoba menghubungi nomor rumah dan nomor Zen, ia merindukan keluarganya."Permisi, Uni.. apakah warungnya sudah buka?" Seorang pelanggan berdiri di luar warung.Baru di buka sudah berdatangan penikmat masakan Padang. Ini pengalam baru untuk seorang anak sultan seperti Astra. Ia begitu antusias menjadi pramusaji."Oh, sudah. Kak. Silahkan masuk?" Jawab Astra dengan ramah."Saya pesan nasi telur dadar dua dan na
Barra mengurai pelukan, ia mengusap wajah Astra yang basah karena air mata. Perempuan tersebut tak menunjukkan ekspresi apapun. "Ma'afkan aku, sayang.. aku tidak becus menjaga mu." Ucap Barra yang kemudian membenamkan kembali kepala Astra di dada bidangnya. Astra tak menjawab ataupun merespon dengan gerakan tubuh. Barra belum pernah menemui Astra dalam keadaan kacau seperti saat itu. Barra mengenali Astra sebagai wanita tegas dan ceria. Astra memang pernah menangis, namun perempuan tersebut tak pernah diam membisu. Barra memutuskan untuk menutup warungnya, ia akan membawa gadisnya jalan-jalan. Mencari jajanan kesukaan Astra, itu adalah ide bagus untuk menaikkan mood gadisnya. "Ayo naik." Seru Barra, kala mereka telah berada di pinggir jalan depan warung. Barra baru saja selesai menghidupkan vespa tuanya. Ya, Barra butuh tenaga ekstra untuk menyalakan mesin motor antik tersebut. Astra masih saja melipat wajahnya, dua tangannya bersedekap di dad
Sepeninggal Barra, tanpa bisa dicegah air mata Astra mengaliri pipi putihnya. Sepercayanya Astra tetap saja hati kecil Astra menyimpan keraguan yang seringkali membuat gadis itu terbengong-bengong. Pagi menyapa, masih setia bertahan dengan awan putih yang menyelimuti langit biru. Sampai pagi tiba, matahari seperti enggan menyibakkan awan yang menutup. Astra menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Astra menyibak horden yang menutupi cahaya masuk ke dalam. Astra menghela napas berat saat menyadari vespa Barra tak bertengger di halaman rumah. Kretekkk.. Suara pintu kamar yang Astra buka, Ervi juga Alby seketika menoleh ke arah Astra. "Eh, kalian sudah di dapur?" Astra masih mengucek matanya. Ia juga belum membersihkan muka, belum menyikat gigi gingsulnya. Ervi mengangguk, sedang Alby celingukan seperti mencari sesuatu. "Kakak sendiri?" Alby berbalik melayangkan sebuah pertanyaan tanpa menjawab Astra. "Iya, Kak Barra ke
Astra mendahului langkah lebar Alby dengan berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit. Ia melesat tanpa mengetahui tujuannya kemana. Ketika berada di perempatan koridor, Astra berhenti. Perempuan luwes itu kebingungan untuk memilih jalur sebelah mana. Alhasil, ia tetap menunggu sang adik ipar yang tengah berlari untuk mensejajarkan langkah dengannya."Papa dimana, By?" Tanya Astra dengan penuh kecemasan.Alby bungkam, ia terlalu lelah untuk bersuara. Napasnya yang naik turun membuat pria berpredikat setia itu memilih diam dan menarik lengan sang Kakak ipar."Pak-- Ab- bas, ada di-- ICU, Kak." Ucap Alby tersengal-sengal. Napasnya belum kembali stabil, ia masih sambil mengatur deru napas ketika mengarahkan Astra dengan menunjuk ke ICU tempat perawatan Pak Abbas.Alby tak berani ikut mendekat, ia cukup tahu diri. Meski Barra tak pernah bercerita perihal kekacauan yang terjadi di resepsi pernikahan. Namun Alby bukanlah sang Ibu, bukan juga Ervi. Alby pria
Begitu sampai di pelataran rumah sakit, Tuan Hiro berpisah arah dengan rombongan bawahannya. Tuan Hiro kembali ke kantor, setelah sebelumnya melayangkan ancaman pada Barra Farzan serta Kenzi untuk tidak melakukan hal tanpa seizinnya.Barra mengepal kuat telapak tangannya, ia sudah ingin melayangkan bogeman ke wajah sangar Tuan Hiro. Untunglah aksinya berhasil dicegah oleh Kenzi.Kenzi sangat memahami perangai bos besarnya tersebut. Pria itu tak ingin Barra Farzan mengalami kesulitan karena ulah bodohnya."Dasar Ayah b******k.!" Umpat Barra Farzan dengan meninjukan kepalan tangannya pada body mobil.Tuan Hiro jelas tak mendengar, pria setengah abad itu telah melangkah jauh. Barra menyusul Kenzi yang sudah berada di dalam mobil.Ia sangat tak tega melihat tubuh tak berdaya Annisa Yuzawa yang tergeletak di pangkuan Bi Sumi."Bi, apakah Nyonya Laksmi tak pernah sekalipun menghubungi Annisa?" Barra bertanya pada asisten pribadi Annisa tersebut.
Sudah dua hari Barra Farzan meninggalkan rumah. Sejak kepergiannya, ia belum mengabari sang istri. Apakah Astra kesepian tanpa dirinya, apakah Astra merindukannya. Barra seolah lupa akan itu.Barra tengah tersenyum, ia senang ketika melihat Annisa sadar dengan kondisi normal. Keluarga menjadi penyebab ketenangan Annisa. Barra hanya berharap Tuan Hiro tak akan mengamuk akibat ulahnya.Meski Barra tak yakin akan hal itu. Barra membaringkan tubuh di ranjang. Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu."Astaga. Dimana ponselku?" Gumam Barra.Barra membuka resleting tasnya, ia mendapati ponsel dalam keadaan mati. Bara menggeleng-gelengkan kepala. Bisa-bisanya ia melupakan sang istri.Barra keluar dari kamar, ia hendak mencari pengisi daya untuk ponselnya. Namun ketika sampai di ruangan keluarga, Barra melihat Tuan Hiro sedang memukuli Kenzi sampai babak belur.Barra berlari, melerai keduanya. Bukannya berhenti, Tuan Hiro malah semakin membabi buta. Ta