"Ada yang ingin ditanyakan lagi?" ucap Dokter Feri membuyarkan semua lamunanku.
Aku hanya menggeleng pelan kemudian menatap ke luar jendela. Sedangkan ia langsung melakukan tugasnya sebagai seorang dokter."Syukurlah, semuanya normal. Mungkin besok kamu sudah bisa pulang. Selamat, ya! Aku rasa ini sungguh seperti sebuah keajaiban," terangnya setelah melakukan pemeriksaan. Sebuah senyum nampak merekah dari bibirnya, hal itu langsung membuatku menoleh seraya tersenyum sinis padanya.Aku memicingkan mataku, entah kenapa tiba-tiba aku sangat merasa benci padanya. Aku menaruh curiga kalau semua yang terjadi adalah karena ulahnya."Tak usah berpura-pura! Tolong jawab dengan jujur! Ini semua ulah mu, 'kan? Kamu sengaja membuat aku tidur selama satu tahun dan mengatakan pada orang-orang kalau aku koma. Iyakan?!" ucapku to the point. Tak lupa, aku juga menekankan setiap kata yang kuucapkan.Seketika raut di wajah Dokter Feri berubah. Ia terdiam seraya memandangku dengan lekat. Tak lama kemudian terdengar helaan nafas dari mulutnya, ia mengurut dahinya kemudian kembali menatapku."Inara, kenapa kamu tega menuduhku seperti itu?" tanyanya pelan."Aku tau kamu melakukan hal itu pasti karena dendam 'kan? Aku yakin, kamu tak ingin melihatku bahagia bersama Mas Adnan," jelasku.Sebuah decakan pelan keluar dari mulutnya, ia mengusap wajahnya kemudian tersenyum tipis."Inara, ternyata hubungan kita selama satu tahun belum cukup membuatmu mengenal diriku," ucapnya pelan.Deg!Seketika aku merasa bersalah saat mendengar ucapannya.Memang, selama satu tahun kami menjalin hubungan aku rasa Mas Feri adalah orang yang baik. Dia adalah pria baik pertama yang ku kenal sebelum Mas Adnan. Namun, apa salah jika aku menaruh curiga padanya?Pasalnya, hubungan yang terjalin diantara kami beberapa tahun yang lalu masih jelas kuingat, dan aku sadar, bahwa akulah penyebab kandasnya hubungan yang kami jalin selama satu tahun lamanya itu. Makanya, saat ini aku sangat yakin dan menaruh curiga kalau Feri alias Dokter Feri bisa saja menyimpan dendam padaku."Maaf Inara, tolong jangan libatkan masa lalu kita dalam kasus ini," ujarnya lagi dengan sedikit berbisik.Dokter Feri menarik kursi di sebelah ranjang ku lalu duduk, tatapannya kembali padaku. Terdengar ia menarik nafas sebelum akhirnya kembali bicara."Disini, kamu adalah pasien, dan aku adalah dokter. Kesembuhan dan keselamatan pasien adalah prioritas utama bagi kami. Jadi, apa mungkin jika aku sampai mempertaruhkan pekerjaan yang aku perjuangkan ini hanya karena dendam?" jelasnya membuatku hanya bisa diam."Lagi pula, aku sama sekali tidak pernah membencimu. Malah, aku yang merasa bersalah atas berakhirnya hubungan kita. Tapi, aku harap kita bisa sama-sama dewasa dan berpikir positif. Mungkin, semua ini sudah takdir dari-Nya," sambungnya. Ucapannya barusan malah membuat mataku berkaca-kaca. Ingin menangis, namun malu rasanya.Ingatanku kembali pada momen menyedihkan itu. Dimana pada saat itu aku menelpon Mas Feri dan memintanya untuk segera pulang dan melamarku atas permintaan bapak yang saat itu sedang sakit parah. Namun sayangnya ... Mas Feri malah memilih tetap tinggal di kota dengan alasan kuliah, saat itu ia sedang menyelesaikan kuliah kedokterannya. Tapi di samping itu ia berjanji kalau setelah kuliahnya selesai ia akan segera melamarku, namun aku dan bapak tak bisa menunggu lebih lama lagi hingga akhirnya aku memberikan pilihan padanya antara aku atau kuliahnya. Namun sayangnya dengan tegas Mas Feri tetap memilih kuliahnya meski aku mengatakan kalau aku tidak bisa menunggunya.Pilihan Mas Feri saat itu membuat aku merasa tak berarti dimatanya, ditambah desakan bapak yang tak bisa ku tolak lagi. Apalagi saat melihat kondisinya yang semakin hari semakin parah. Hingga tuhan akhirnya mempertemukan aku dengan Mas Adnan, dan tanpa membuang waktu aku langsung meminta ia untuk menunjukkan keseriusannya hingga akhirnya kami benar-benar menikah, dan tak lama setelah itu bapak meninggal dunia.Jika ingin mempertanyakan salah siapa, memang sangat sulit untuk menjawabnya. Yang jelas, Mas Feri memang benar, ini semua pasti sudah jalan takdir dari yang maha kuasa.Aku melihatnya dari sudut mataku, nampak ia masih memandangku. Tapi, raut wajahnya masih terlihat tenang dan meneduhkan. Hal itu membuatku ingin meminta maaf padanya, tapi rasa gengsi dalam diriku mengalahkan semuanya hingga aku hanya tetap diam seraya mencoba untuk menahan air mataku agar tak jatuh."Jika kamu tidak percaya padaku, mulai hari ini aku akan meminta dokter lain untuk memeriksamu. Maaf, jika ternyata pertemuan kedua kita selama ini sudah membuatmu risih," terangnya memecah kembali keheningan. Ia langsung berdiri lalu pergi tanpa menunggu jawaban dariku.Aku hanya bisa menghela nafas, mengusap wajahku lalu duduk di tepi ranjang.Pertemuan kedua kami ini memang benar-benar membuatku terkejut. Aku tak pernah menyangka bisa kembali bertemu dengan Mas Feri setelah aku berumah tangga dengan Mas Adnan. Dan lebih mengejutkannya, ternyata ia sudah berhasil menggapai cita-citanya sebagai dokter spesialis kandungan. Aku bahkan lebih tak menyangka lagi saat ternyata Mas Adnan adalah sahabat dekatnya sewaktu SMA hingga ia dengan sengaja mempercayakan semua urusan kehamilanku padanya yang tak lain adalah mantan pacarku sendiri. Aku sendiri tak berani mengatakan kenyataan itu pada Mas Adnan, begitupun dengan Mas Feri. Nampaknya ia juga mungkin tak pernah membahas soal hubungan masa lalu kami, pasalnya Mas Adnan sepertinya tak pernah tau.Kreet ...Pintu yang kembali terbuka membuatku sedikit terkejut. Rupanya seorang petugas rumah sakit yang datang dengan membawa makanan. Ia tersenyum padaku seraya menyodorkan nampan di tangannya."Silahkan di makan, mbak! Jangan lupa di minum obatnya," ucapnya dengan ramah."Iya, Bu. Terima kasih!" sahutku seraya menerima nampan dari tangannya. Ia pun segera berlalu dari kamarku.Aku segera melahap makanan yang tersaji dalam beberapa kotak yang terdiri dari bubur, sayur bening, daging, dan satu kotak lagi berisi buah apel.Meski makanan tersebut terasa hambar dilidahku, akupun terus memakannya karena akan meminum obat. Pikirku, aku harus cepat sehat dan kembali ke rumah.Mataku melirik jam di dinding, sudah hampir satu jam berlalu, namun Mas Adnan tak kunjung datang, keadaan di kamar rumah sakit ini membuatku bosan dan malah mengantuk, aku kembali merebahkan tubuhku dan memejamkan mata, berharap agar Mas Adnan dan Dara segera sampai."Inara, bangun! Ini Dara!"Samar ku dengar suara seseorang di samping telingaku, aku mengerjapkan mataku beberapa kali lalu kulihat Mas Adnan sudah duduk di kursi dengan seorang balita cantik dalam pangkuannya. Aku tersenyum seraya mengusap mataku."Ini bukan mimpi 'kan?" gumamku."Bukan sayang," sahut Mas Adnan seraya tersenyum.Aku segera bangun dan duduk, tatapanku tak lepas dari anak yang berada dalam pangkuan Mas Adnan."Dara?" ucapku sedikit bergetar.Lembar demi lembar terus Mas Adnan baca dengan teliti. Hingga di lembar terakhir ia langsung melempar semua kertas itu ke atas meja dan mengorek-ngorek tas yang selalu ia bawa."Adnan, surat apa sih? Kok wajah kamu tegang gitu?" tanya ibu dengan mata yang terus mengikuti gerak gerik Mas Adnan.Sedangkan di samping itu, Mas Adnan sama sekali tak menjawab, dia tak bersuara namun wajahnya kental sekali dipenuhi dengan emosi yang membuat siapa saja yang melihatnya merasa segan."Sial!"Kalimat pertama yang terucap dari mulutnya setelah ia menyamakan berkas-berkas yang baru dibacanya dengan berkas-berkas lama yang masih ia simpan."Kariin?!" suara Mas Adnan menggema di ruangan.Ibu menoleh padaku, ia nampaknya terkejut dengan sikap anaknya itu. Namun akupun hanya bisa melakukan hal yang sama. Berpura-pura tak tau apa-apa, padahal dalam hati sungguh senang karena rencanaku berjalan sempurna."Kariin?!" lagi, Mas Adnan berteriak memanggil nama istri keduanya."Karin gak ada. Tadi dia pamit k
Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku, karena tanpa disengaja aku langsung bisa mendapatkan sebuah bukti yang luar biasa untuk menguak siapa Karin yang sebenarnya.Tak ingin menyianyiakan kesempatan ini, aku harus segera mencari tau tentang keasliannya.Untuk memastikan keaslian surat ini, kuputuskan untuk mampir ke rumah sakit tempat Mas Feri kerja. Aku yakin, pria itu bisa menentukan mana surat asli atau palsu yang dikeluarkan oleh rumah sakit."Jadi, menurut mas gimana?" tanyaku sesaat setelah Mas Feri melihat semua berkas yang kubawa."Sepertinya ini asli kok. Nih, ada stempelnya," sahut Mas Feri seraya menunjuk stempel di pojok bawah surat tersebut.Aku mengernyitkan dahi. Mencoba untuk berpikir bagaimana caranya bisa memberitahu Mas Adnan tentang surat ini. Pasalnya, surat yang dulu aku tak pernah tau, apa mungkin dulu juga bentuknya sama seperti ini?"Inara?!"Aku sedikit terkejut saat Mas Feri melambaikan tangannya didepan wajahku."Kok malah melamun?" tanyanya."Aku
"Astaga, mas! Kamu transfer Karin sebanyak ini?!" pekikku saat melihat keterangan pengeluaran sebesar 30 juta ke rekening Karin.Sontak saja, teriakanku itu membuat Mas Adnan dan beberapa kariyawan yang kebetulan berada dekat kami menoleh secara bersamaan. Tak hanya Mas Adnan yang menatapku penuh tanya, beberapa kariyawan yang sedang membereskan barang pun nampaknya kepo padaku. Namun, saat aku balas menatap mereka, mereka langsung pergi menjauh dari tempatku dan Mas Adnan."Inara, kamu apa-apaan sih?" bisiknya penuh penekanan."Kamu yang apa-apaan mas?! Kamu kurangi jatah bulanan aku dengan dalih keuangan lagi memburuk, tapi pada Karin, kamu malah transfer uang sebanyak ini dan ini ... uang toko!" ucapku tak kalah tegas."Itu bekas biaya rumah sakit saat Karin kemarin keguguran. Semua itu juga gara-gara kamu 'kan?" jelas Mas Adnan seraya memalingkan wajah."Oh, jadi mas masih gak percaya sama aku?! Mas nyalahin aku?" tanyaku tak terima."Ehm, bukan gitu ... ah, sudahlah, mas minta ma
"Loh, Inara? Kamu, kok-"Mas Adnan nampak terkejut dengan kehadiranku di toko. Ia yang tadi nampak sedang berbicara serius dengan salah satu kariyawannya langsung menghentikan pembicaraan dan meminta pria itu pergi."Ada yang bisa aku bantu, mas?" tanyaku.Aku melangkah seraya mendorong stroller Dara kemudian duduk di depan Mas Adnan yang juga sudah duduk di kursinya.Mas Adnan hanya menghela nafas, detik berikutnya ia malah meraih buku dari meja dan segera menaruhnya dengan cepat kedalam laci. Tingkahnya seolah aku tak ingin melihat isi dari buku tersebut."Ada masalah?" lagi aku bertanya seraya memicingkan mata padanya."Nggak, kok," sahut Mas Adnan singkat. Detik berikutnya ia tersenyum."Dari tadi kamu tanya masalah, sedangkan kamu sendiri belum jawab pertanyaan mas. Kamu kenapa kesini?" kali ini Mas Adnan mulai terlihat rileks."Mulai hari ini aku akan bantu mas di toko," sahutku."Nggak usah, kamu di rumah saja," ucapnya cepat. Ia berdiri lalu menggendong Dara dari stroller, mem
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad
Entah berapa jam aku terlelap, yang jelas rasa sakit dan pusing dibagian kepalaku masih sama seperti sebelumnya.Aku kembali terjaga saat mendengar keributan diluar sana. Suara pintu dan bel berbunyi saling bersahutan. Entah siapa yang bertamu dengan se rusuh itu.Kulirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah pukul lima pagi."Siapa sih, yang bertamu subuh-subuh begini?" decakku kesal."Maaf, mbak! Tadi aku abis solat dulu! Biar aku aja yang buka pintunya!" ucap Lila saat kami berpapasan di depan tangga."Ya sudah, kamu lihat siapa yang datang. Aku juga belum solat," sahutku seraya kembali naik keatas.Sesampainya di kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, kuharap dengan itu bisa membuat kepala dan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Usai berpakaian, akupun mengambil alat solat dan mulai menunaikan kewajiban ku. Namun, di akhir solatku, aku kembali terkejut saat kini justru pintu kamarku yang diketuk dengan tak sabar.Tak ingin Dara terbangun lalu rewel, akupun