Home / Rumah Tangga / Dimadu Saat Koma / Bertemu Dara dan Pengasuhnya

Share

Bertemu Dara dan Pengasuhnya

Author: Reina Putri
last update Last Updated: 2024-04-19 15:13:08

"Mama ...!"

Seketika Dara menangis seraya menyebut kata mama saat aku hendak menyentuhnya. Ia memeluk Mas Adnan dengan erat, sepertinya ia ketakutan.

"Mas, kenapa Dara takut padaku?" tanyaku dengan dada yang mulai terasa sesak.

"Mungkin, Dara hanya belum terbiasa. Kamu tenang saja, nanti dia juga pasti dekat denganmu. Kamu kan ibunya," jelas Mas Adnan mencoba untuk menenangkan ku. Namun tangisan Dara semakin membuat hatiku terluka. Nampaknya, ia memang benar-benar takut dan merasa asing padaku.

"Mas, apa kamu tak pernah membawanya ke sini menjengukku? Apa kamu tak pernah mengatakan padanya kalau aku ini ibunya?!" tanyaku sedikit kesal dengan air mata yang mulai lolos.

"Maaf Inara, Dara masih sangat kecil. Tolong kamu maklumi, ya!" ucap Mas Adnan seraya menggendong Dara. Ia terus menenangkan Dara dan terus mengatakan kalau akulah mamanya. Namun, nyatanya Dara tak mengerti, ia hanya terus meronta dan menangis saat aku mencoba untuk mendekatinya.

"Dara sayang, ini bunda, nak! Kamu jangan takut," lirihku seraya mengusap-usap kepalanya. Namun sayangnya tangisan Dara malah semakin menjadi seraya terus menunjuk ke arah pintu.

Tak tega melihatnya seperti itu, akupun akhirnya menjauhinya dan kembali ke tempat tidurku dengan air mata yang tak bisa kubendung.

"Karin! Sini! Dara gak mau tenang, ini," teriak Mas Adnan setelah sekian lama ia tak berhasil menenangkan Dara.

Aku mengangkat wajahku, seorang wanita muda dengan rambut sebahu masuk lalu menggendong Dara. Seketika, tangis Darapun reda. Melihat kedekatan mereka berdua, hatiku kembali sedih, bahkan Dara yang baru belajar bicara itu memanggil wanita itu dengan sebutan mama.

Mataku langsung menatap Mas Adnan dengan tajam, ku rasa hal itu sudah membuatnya mengerti tentang apa yang ada dalam pikiranku.

"S-selama ini, Dara di asuh oleh Karin. Makanya, mungkin Dara berpikir kalau dia adalah mamanya," jelas Mas Adnan. Ia kembali duduk di kursi seraya mengusap air mata di wajahku.

"Kamu jangan sedih. Nanti, lama kelamaan Dara juga pasti mengerti," jelasnya.

"Pokonya, setelah aku pulang dari rumah sakit aku ingin mengurus Dara seorang diri. Biar Dara ngerti kalau mamanya cuma satu, yaitu aku," ucapku ketus.

Mas Adnan hanya tersenyum seraya mengangguk, ia kemudian meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Namun, tak lama ponselnya malah berdering hingga ia kembali melepas pelukan dan menerima panggilan di telpon.

"Sayang, aku ke toko dulu, ya! Ada urusan penting. Kamu gak papa 'kan aku tinggal? Karin dan Dara akan di sini menemanimu," ucapnya setelah ia selesai menerima telpon.

Aku yakin panggilan tadi berasal dari pelanggannya atau mungkin kariyawan di tokonya. Sejak dulu, Mas Adnan memang selalu giat dalam urusan pekerjaannya. Bukan semata-mata mengejar materi, namun karena ia memang sangat suka berdagang. Karena pada nyatanya meskipun ia sudah memiliki beberapa kariyawan, ia tetap rutin pergi ke toko. Katanya, berdagang membuatnya merasakan kesenangan tersendiri dalam hatinya.

"Iya, mas! Hati-hati di jalan!" sahutku.

Pandanganku kembali beralih pada Karin dan Dara setelah mas Adnan pergi, mereka nampak sedang asik bercanda. Dara yang nampaknya sedang belajar berbicara itu terus meniru ucapan Karin dengan sangat menggemaskan. Rasanya, aku sungguh tak sabar ingin menimang tubuh mungil Dara dan berbicara dengannya.

"Karin?!" seruku membuat wanita berwajah lugu itu menoleh padaku. Ia mengangguk seraya tersenyum lalu berjalan ke arahku.

"Karin, aku ingin sekali memeluk Dara. Kamu bisa membujuknya agar ia mau aku peluk?" ucapku.

"Hmm, gimana, ya mbak, Dara masih terlalu kecil, aku bingung cara bujuknya gimana. Nanti aja kalau dia lagi tidur, mbak bisa peluk dan gendong dia. Gimana?" sahutnya membuatku hanya bisa mengangguk.

Karin memberikan botol susu pada Dara lalu membiarkan Dara menyusu di pangkuannya hingga terlelap. Setelah ku perhatikan, Karin begitu telaten dalam mengurus Dara, ia juga nampaknya sangat menyayangi Dara. Hal itu membuatku terharu hingga tak terasa mataku kembali berkaca-kaca.

"Mbak, kenapa menangis?" tanya Karin saat ia tak sengaja mengangkat wajahnya dan menatapku.

"Karin, berapa usiamu?" alih menjawab, aku malah balik bertanya padanya.

"Dua puluh empat tahun, mbak. Memangnya, kenapa?" sahutnya. Ia nampak sedikit bingung dengan pertanyaanku barusan.

"Kamu masih muda. Kenapa mau mengasuh anak? Apa kamu sudah menikah?" tanyaku lagi. Entah mengapa tiba-tiba aku malah menanyakan hal tersebut padanya. Tapi, ku harap ia tidak tersinggung dengan pertanyaanku barusan.

Cukup lama aku menunggu jawaban dari Karin, entah kenapa pertanyaan itu sepertinya sulit dia jawab. Namun meski begitu aku tetap sabar menunggunya.

"A-aku sudah menikah, mbak," sahutnya sedikit terbata. Namun meski begitu ada kelegaan tersendiri dalam hatiku saat tau statusnya sudah menikah.

"Apa suamimu tidak keberatan dengan pekerjaanmu ini?" tanyaku lagi.

"Tidak, mbak. Aku sangat menyukai anak kecil. Suamiku juga sangat senang kalau aku mengurus anak. Semoga, kami juga cepat punya anak," sahutnya disusul senyum dari bibir mungilnya.

"Aamiin. Aku doakan, semoga kalian juga cepat diberikan keturunan," timpalku.

"Ini, mbak! Dara sudah tertidur, silahkan jika mbak ingin menggendongnya," ucapnya seraya menyodorkan tubuh mungil Dara.

Akupun dengan antusias langsung meraih tubuh mungil itu. Kupeluk dan kucium Dara untuk meluapkan semua rasa rinduku padanya.

"Sayang, maafkan bunda yang tidak bisa merawatmu sejak bayi. Tapi, bunda janji, bunda tak akan pernah tidur lagi, bunda akan selalu ada di sampingmu, dan merawatmu," bisikku.

Dara menggeliat pelan, mungkin dia terganggu dengan ucapanku barusan. Aku segera berinisiatif untuk berdiri dan menimangnya hingga ia kembali terlelap. Aku hanya bisa tersenyum seraya terus memandang wajahnya, ternyata begini rasanya menjadi seorang ibu. Andai saja, aku bisa memberinya ASI, mungkin rasanya akan lebih lengkap.

Aku kembali duduk di tepi ranjang lalu mengobrol banyak hal dengan Karin. Hingga tak terasa tawaku membuat Dara terjaga. Tersadar sedang ada dalam pangkuanku, ia langsung kembali menangis seperti tadi. Akupun langsung kembali berdiri dan menimangnya, namun Dara malah semakin meronta-ronta hingga akhirnya kurasakan sakit yang amat sangat di bagian perutku. Aku tak dapat lagi menahan tubuhku, semuanya terjadi secara tiba-tiba dan begitu cepat. Aku dan Dara langsung jatuh dan tersungkur di lantai, hal itu membuat tangis Dara semakin kencang.

Karin dengan cepat meraih tubuh Dara dan menggendongnya, sedangkan aku hanya bisa meringis menahan sakit.

"Ya ampun! Ada apa ini?"

Sebuah suara yang tak asing ditelinga ku terdengar begitu nyaring. Derap langkah kaki terdengar menghampiriku dengan cepat.

"Dasar wanita gak berguna! Kamu mau mencelakai cucu ku, hah?!" teriaknya seraya menunjuk wajahku. Kilatan kebencian terpancar jelas dari sorot matanya, sepertinya ia tak peduli dengan keadaanku yang sudah berkeringat dingin karena kesakitan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Saat Koma   Sentuhan Pagi

    Aku sedikit terkejut saat sinar mentari yang menyilaukan menembus tirai-tirai di kamarku, membangunkan ku dari tidur lelap. Dengan cepat aku segera bangkit, mengikat rambutku secara asal, benang-benang rambut kusut tergerai di wajahku. Aroma lezat masakan sudah tercium oleh hidungku, sepertinya ibu sudah mulai sibuk di dapur. Aku menggeser tubuhku untuk turun dari tempat tidur, namun belum sempat kakiku menyentuh lantai, tangan Mas Adnan dengan lembut menarikku kembali hingga aku berbaring di sampingnya, wajahnya yang tampan tersenyum manis menghiasi pagi itu. "Belum boleh pergi, masih pagi," bisikannya, membuatku tersenyum dan merasa hangat di hati."Gak enak mas, kayanya ibu udah sibuk di dapur," sahutku, mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Namun, Mas Adnan mengeratkan pelukannya, ia menyusupkan wajahnya di ceruk leherku, membuatku merasa merinding dengan jantung berdebar kencang.Ibu bisa masak sendiri, yang penting kamu istirahat dulu," gumamnya, napas hangatnya mengenai ku

  • Dimadu Saat Koma   Kehangatan Dibalik Air Mata

    Dara menangis seraya memegang nisan yang bertuliskan nama Karin. Aku dan Mas Adnan ikut berjongkok di sampingnya dan mencoba untuk tetap menenangkan Dara."Dala mau bilang sesuatu. Tapi kalau mama di dalam, kedengelan gak, ya?" gumamnya nampak bingung."Gak papa sayang, bilang aja. Insyaallah mama denger kok. Jangan lupa, doain mama juga ya, biar mama bisa masuk surga," ucap Mas Adnan lembut.Dara mengangguk seraya menyeka air matanya. Ia kemudian membenarkan posisi jongkoknya agar lebih dekat lagi dengan nisan Karin. Ia bahkan sedikit mencondongkan tubuhnya seolah ia ingin berbisik pada nisan tersebut."Mama, Dala udah ambil keputusan, Dala gak mau ninggalin bunda. Dala mau tinggal sama ayah dan bunda aja. Bukan Dala gak sayang mama, tapi... Kak Lila bilang yang lahilin Dala itu bunda, dan katanya lahilin itu sakiiiit banget, Dala jadi kasian sama bunda," ucap Dara terbata-bata.Aku lagi-lagi terkejut dengan kata-kata Dara barusan. Entah apa sebabnya dia sampai bicara seperti itu."K

  • Dimadu Saat Koma   Kepolosan Dara

    "Ayah, mama mana?" tanya Dara, suara kecilnya memecah kesunyian."Uhukk!" Aku dan Mas Adnan yang sedang menikmati makanan langsung terbatuk serentak, saling menatap dengan rasa tidak enak. Kami tahu saatnya Dara harus tahu, tapi aku masih bingung memilih kata-kata yang tepat."Sayang, sebenarnya mama ada di suatu tempat... mungkin Dara tidak bisa bertemu lagi dengan mama," Mas Adnan akhirnya berbicara, suaranya lembut dan hati-hati."Dimana yah? Jauh, ya?" tanya Dara polos, mata besarnya penuh rasa ingin tahu.Aku dan Mas Adnan tersenyum getir, lalu aku mengusap rambut Dara dengan lembut. "Iya, sayang. Mama ada di surga," jawabku, mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang sederhana."Mama pelgi kok gak bilang dulu sama Dala? Mama malah ya sama Dala?" gumam Dara, raut kecewanya terlihat jelas di wajahnya yang kecil. Aku merasa sakit hati melihatnya, kupeluk erat tubuhnya dan mencium pucuk kepalanya beberapa kali."Tapi Dara gak usah sedih. Ada ayah dan bunda yang akan selalu jagain D

  • Dimadu Saat Koma   Dilema

    "Ehm, Sayang, sebaiknya kita pulang sekarang. Kasihan Dara sudah kelamaan menunggu," ajak Mas Adnan memecah suasana.Akupun lantas mengiyakan ucapannya. Apalagi saat teringat pada janjiku semalam yang berencana mengajak Dara pergi ke kebun binatang hari ini. Namun, siapa sangka aku malah pergi ke pemakaman untuk mengantarkan Karin ke peristirahatan terakhirnya.Semoga saja Dara tidak rewel karena rencana kami batal."Ya sudah, kami permisi dulu!" ucap ibu pada Mas Feri dan Selvia.Mereka hanya mengangguk seraya tersenyum. Kulihat Selvia langsung berjongkok di depan pusara Karin seraya menabur bunga."Mas kenal Selvia?" tanyaku saat kami sudah berada dalam mobil.Mas Adnan menyeka keringat di dahinya. Ia kemudian menggeleng."Ibu kenal?" Kali ini aku menoleh pada ibu yang duduk di bangku belakang."Enggak, ibu baru kali ini bertemu dengan wanita itu," sahut ibu.Entah kenapa aku menangkap ada perbedaan emosi diantara ibu dan Mas Adnan saat menjawab pertanyaan ku. Ibu terkesan dan terli

  • Dimadu Saat Koma   Orang Baru

    Aku berdiri di depan pusara Karin, langit di atas tampak kelabu, seolah-olah turut berduka cita atas kepergiannya. Tak ada keluarga lain selain aku, Mas Adnan dan juga ibu yang mengantarkan Karin ke peristirahatan terakhirnya. Mas Adnan dan ibu berdiri di sampingku, wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan. Aku memandang pusara Karin dengan mata yang berkaca-kaca, sementara Mas Adnan dan ibu hanya menundukkan kepala.Setelah beberapa saat keheningan, aku berjongkok, mengusap batu nisan bertuliskan nama Karin, aku masih hampir tak percaya Karin pergi secepat ini."Karin, aku tidak menyangka kamu pergi secepat ini. Bahkan, rasanya aku belum sempat meminta maaf padamu," ucapku pelan."Terlepas dari banyak nya konflik diantara kita, aku berterimakasih padamu karena sudah pernah menjadi mama yang baik bagi Dara. Terimakasih, karena kehadiranmu diantara kami juga sudah memberikan banyak sekali pelajaran berharga khususnya untukku," sambungku disusul air mata yang jatuh.Mas Adnan dan ibu men

  • Dimadu Saat Koma   POV Inara (Akhir Cerita)

    Entah harus mengatakannya dengan kesempatan kedua atau mungkin kesempatan ketiga. Intinya aku bersyukur Allah masih memberiku takdir umur panjang.Tak hanya itu, kali ini kebahagiaanku bertambah karena ibu kini sudah menyayangiku. Ia minta maaf dan mengatakan bahwa akan menganggap ku sebagai anak kandungnya sendiri.Alhamdulillah, segala puji aku panjatkan pada sang pemilik kehidupan. Doa dan kesabaranku selama ini akhirnya berbuah manis. Aku mendapatkan kembali apa yang seharusnya memang menjadi milikku.Hari ini aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku, Mas Adnan dan juga ibu segera bersiap dan mengurus administrasi."Mas Feri, makasih, ya!" ucapku saat tak sengaja berpapasan dengannya di depan meja administrasi."Iya, sama-sama! Sekali lagi ngucapin makasih, dapat hadiah piring cantik, loh!" sahutnya kemudian terkekeh.Aku, Mas Adnan dan ibu ikut terkekeh mendengarnya.Tadi kita memang sempat ngobrol banyak saat makan bersama. Aku juga sudah beberapa kali mengucapkan makasih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status