Share

Bertemu Dara dan Pengasuhnya

"Mama ...!"

Seketika Dara menangis seraya menyebut kata mama saat aku hendak menyentuhnya. Ia memeluk Mas Adnan dengan erat, sepertinya ia ketakutan.

"Mas, kenapa Dara takut padaku?" tanyaku dengan dada yang mulai terasa sesak.

"Mungkin, Dara hanya belum terbiasa. Kamu tenang saja, nanti dia juga pasti dekat denganmu. Kamu kan ibunya," jelas Mas Adnan mencoba untuk menenangkan ku. Namun tangisan Dara semakin membuat hatiku terluka. Nampaknya, ia memang benar-benar takut dan merasa asing padaku.

"Mas, apa kamu tak pernah membawanya ke sini menjengukku? Apa kamu tak pernah mengatakan padanya kalau aku ini ibunya?!" tanyaku sedikit kesal dengan air mata yang mulai lolos.

"Maaf Inara, Dara masih sangat kecil. Tolong kamu maklumi, ya!" ucap Mas Adnan seraya menggendong Dara. Ia terus menenangkan Dara dan terus mengatakan kalau akulah mamanya. Namun, nyatanya Dara tak mengerti, ia hanya terus meronta dan menangis saat aku mencoba untuk mendekatinya.

"Dara sayang, ini bunda, nak! Kamu jangan takut," lirihku seraya mengusap-usap kepalanya. Namun sayangnya tangisan Dara malah semakin menjadi seraya terus menunjuk ke arah pintu.

Tak tega melihatnya seperti itu, akupun akhirnya menjauhinya dan kembali ke tempat tidurku dengan air mata yang tak bisa kubendung.

"Karin! Sini! Dara gak mau tenang, ini," teriak Mas Adnan setelah sekian lama ia tak berhasil menenangkan Dara.

Aku mengangkat wajahku, seorang wanita muda dengan rambut sebahu masuk lalu menggendong Dara. Seketika, tangis Darapun reda. Melihat kedekatan mereka berdua, hatiku kembali sedih, bahkan Dara yang baru belajar bicara itu memanggil wanita itu dengan sebutan mama.

Mataku langsung menatap Mas Adnan dengan tajam, ku rasa hal itu sudah membuatnya mengerti tentang apa yang ada dalam pikiranku.

"S-selama ini, Dara di asuh oleh Karin. Makanya, mungkin Dara berpikir kalau dia adalah mamanya," jelas Mas Adnan. Ia kembali duduk di kursi seraya mengusap air mata di wajahku.

"Kamu jangan sedih. Nanti, lama kelamaan Dara juga pasti mengerti," jelasnya.

"Pokonya, setelah aku pulang dari rumah sakit aku ingin mengurus Dara seorang diri. Biar Dara ngerti kalau mamanya cuma satu, yaitu aku," ucapku ketus.

Mas Adnan hanya tersenyum seraya mengangguk, ia kemudian meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Namun, tak lama ponselnya malah berdering hingga ia kembali melepas pelukan dan menerima panggilan di telpon.

"Sayang, aku ke toko dulu, ya! Ada urusan penting. Kamu gak papa 'kan aku tinggal? Karin dan Dara akan di sini menemanimu," ucapnya setelah ia selesai menerima telpon.

Aku yakin panggilan tadi berasal dari pelanggannya atau mungkin kariyawan di tokonya. Sejak dulu, Mas Adnan memang selalu giat dalam urusan pekerjaannya. Bukan semata-mata mengejar materi, namun karena ia memang sangat suka berdagang. Karena pada nyatanya meskipun ia sudah memiliki beberapa kariyawan, ia tetap rutin pergi ke toko. Katanya, berdagang membuatnya merasakan kesenangan tersendiri dalam hatinya.

"Iya, mas! Hati-hati di jalan!" sahutku.

Pandanganku kembali beralih pada Karin dan Dara setelah mas Adnan pergi, mereka nampak sedang asik bercanda. Dara yang nampaknya sedang belajar berbicara itu terus meniru ucapan Karin dengan sangat menggemaskan. Rasanya, aku sungguh tak sabar ingin menimang tubuh mungil Dara dan berbicara dengannya.

"Karin?!" seruku membuat wanita berwajah lugu itu menoleh padaku. Ia mengangguk seraya tersenyum lalu berjalan ke arahku.

"Karin, aku ingin sekali memeluk Dara. Kamu bisa membujuknya agar ia mau aku peluk?" ucapku.

"Hmm, gimana, ya mbak, Dara masih terlalu kecil, aku bingung cara bujuknya gimana. Nanti aja kalau dia lagi tidur, mbak bisa peluk dan gendong dia. Gimana?" sahutnya membuatku hanya bisa mengangguk.

Karin memberikan botol susu pada Dara lalu membiarkan Dara menyusu di pangkuannya hingga terlelap. Setelah ku perhatikan, Karin begitu telaten dalam mengurus Dara, ia juga nampaknya sangat menyayangi Dara. Hal itu membuatku terharu hingga tak terasa mataku kembali berkaca-kaca.

"Mbak, kenapa menangis?" tanya Karin saat ia tak sengaja mengangkat wajahnya dan menatapku.

"Karin, berapa usiamu?" alih menjawab, aku malah balik bertanya padanya.

"Dua puluh empat tahun, mbak. Memangnya, kenapa?" sahutnya. Ia nampak sedikit bingung dengan pertanyaanku barusan.

"Kamu masih muda. Kenapa mau mengasuh anak? Apa kamu sudah menikah?" tanyaku lagi. Entah mengapa tiba-tiba aku malah menanyakan hal tersebut padanya. Tapi, ku harap ia tidak tersinggung dengan pertanyaanku barusan.

Cukup lama aku menunggu jawaban dari Karin, entah kenapa pertanyaan itu sepertinya sulit dia jawab. Namun meski begitu aku tetap sabar menunggunya.

"A-aku sudah menikah, mbak," sahutnya sedikit terbata. Namun meski begitu ada kelegaan tersendiri dalam hatiku saat tau statusnya sudah menikah.

"Apa suamimu tidak keberatan dengan pekerjaanmu ini?" tanyaku lagi.

"Tidak, mbak. Aku sangat menyukai anak kecil. Suamiku juga sangat senang kalau aku mengurus anak. Semoga, kami juga cepat punya anak," sahutnya disusul senyum dari bibir mungilnya.

"Aamiin. Aku doakan, semoga kalian juga cepat diberikan keturunan," timpalku.

"Ini, mbak! Dara sudah tertidur, silahkan jika mbak ingin menggendongnya," ucapnya seraya menyodorkan tubuh mungil Dara.

Akupun dengan antusias langsung meraih tubuh mungil itu. Kupeluk dan kucium Dara untuk meluapkan semua rasa rinduku padanya.

"Sayang, maafkan bunda yang tidak bisa merawatmu sejak bayi. Tapi, bunda janji, bunda tak akan pernah tidur lagi, bunda akan selalu ada di sampingmu, dan merawatmu," bisikku.

Dara menggeliat pelan, mungkin dia terganggu dengan ucapanku barusan. Aku segera berinisiatif untuk berdiri dan menimangnya hingga ia kembali terlelap. Aku hanya bisa tersenyum seraya terus memandang wajahnya, ternyata begini rasanya menjadi seorang ibu. Andai saja, aku bisa memberinya ASI, mungkin rasanya akan lebih lengkap.

Aku kembali duduk di tepi ranjang lalu mengobrol banyak hal dengan Karin. Hingga tak terasa tawaku membuat Dara terjaga. Tersadar sedang ada dalam pangkuanku, ia langsung kembali menangis seperti tadi. Akupun langsung kembali berdiri dan menimangnya, namun Dara malah semakin meronta-ronta hingga akhirnya kurasakan sakit yang amat sangat di bagian perutku. Aku tak dapat lagi menahan tubuhku, semuanya terjadi secara tiba-tiba dan begitu cepat. Aku dan Dara langsung jatuh dan tersungkur di lantai, hal itu membuat tangis Dara semakin kencang.

Karin dengan cepat meraih tubuh Dara dan menggendongnya, sedangkan aku hanya bisa meringis menahan sakit.

"Ya ampun! Ada apa ini?"

Sebuah suara yang tak asing ditelinga ku terdengar begitu nyaring. Derap langkah kaki terdengar menghampiriku dengan cepat.

"Dasar wanita gak berguna! Kamu mau mencelakai cucu ku, hah?!" teriaknya seraya menunjuk wajahku. Kilatan kebencian terpancar jelas dari sorot matanya, sepertinya ia tak peduli dengan keadaanku yang sudah berkeringat dingin karena kesakitan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status