MasukDarahku berdesir hebat. Mampus, matanya Bu Darmi ini jeli banget kayak elang, pantes dipertahanin Nyonya Alika sampai kerja 10 tahun.Sikat gigi aja, dia betul-betul ingat, loh!"Ah, masa sih, Bu? Mungkin karena kena cahaya lampu, jadi kelihatan kinclong. Atau mungkin Bu Darmi yang banyak pikiran jadi kayak ngeblur gitu? Lagian, Bu Darmi pasti tahu kalau orang kaya ganti sikat gigi bisa seminggu sekali, Bu, beda sama kita yang nunggu bulunya rontok baru ganti.""Iya juga sih. Nyonya kan emang resik banget orangnya. Yaudah, yuk keluar, kamu bawa cuciannya ke belakang, Ibu mau lanjut bersihin kaca."Aku mengangkat keranjang cucian itu dengan semangat 45, lalu berjalan keluar dari kamar utama dengan perasaan lega yang luar biasa."Sekarang tinggal satu langkah lagi. Bawa semua ini ke laboratorium tes DNA dan tunggu vonis takdir. Apakah aku bakal jadi pangeran yang hilang, atau jadi pendosa yang harus diasingkan?"Empat sampel DNA keramat itu kini sudah bersarang aman di dalam saku celana
Aku dan Nona Shella saling bertatapan selama tiga detik. Keringat dingin sebesar biji jagung mulai meluncur turun dari pelipisku.Aku sudah siap mendengar teriakannya, siap dipecat, dan siap ditendang keluar sekarang juga."Kamu ngapain pegang-pegang botolku?""E-eh, anu, Non! I-ini... tas Nona tadi agak miring, botolnya mau jatoh, Non! Bahaya kalau tumpah kena karpet mahal ini, nanti Nyonya Alika marah. Jadi saya... saya refleks nangkep biar nggak gelinding," jawabku tergagap, mengarang alasan paling masuk akal yang bisa kupikirkan.Aku bahkan sedikit memiringkan tasnya dengan sikutku agar terlihat seolah-olah tas itu memang tidak seimbang.Nona Shella menatap botol di tanganku, lalu beralih menatap tasnya, dan terakhir menatap wajahku yang berkeringat. Dia menghela napas panjang, lalu kembali memalingkan wajahnya ke koran. "Oh. Yaudah, taro lagi yang bener. Awas kalau tumpah, gaji kamu saya potong buat loundry karpet.""S-siap, Non! Aman terkendali!"Kakiku lemas saking leganya. Non
"Dengerin gue baik-baik, Rafli. Urusan kita malem ini belum selesai sama sekali. Gue masih mau nagih utang lo yang belum lunas!"Gadis itu melangkah maju mendekatiku lagi, mencengkeram kerah kaosku yang basah, dan menarik wajahku mendekat hingga hidung kami bersentuhan. "Besok malem, pas gue pulang dari kampus, lo harus standby di kamar lo. Jangan kunci pintu kamar lo karena gue bakal dateng buat nyelesain apa yang tertunda malem ini. Ngerti lo?"Tanpa menunggu jawabanku, Nona Claudia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, lalu berbalik badan dan berjalan cepat meninggalkan area kolam renang menuju pintu samping rumah. Langkah kakinya yang menghentak-hentak di lantai menunjukkan betapa kesalnya dia malam ini.Aku ditinggalkan sendirian di tepi kolam yang sunyi dengan perasaan campur aduk yang semakin parah.Jantungku masih berdegup kencang karena takut ketahuan, tubuhku masih terasa panas karena sentuhan Nona Claudia, tapi pikiranku justru tertuju pada sosok bayangan di balkon lantai
Sensasi gesekan tubuh Nona Claudia yang basah dan dingin di atas pangkuanku benar-benar menguji pertahanan akal sehatku hingga ke titik nadir.Kain bikini merah marun yang tipis dan basah itu seolah tidak ada gunanya sama sekali karena aku bisa merasakan tekstur dagingnya yang kenyal dan hangat menempel erat pada celana pendekku."Rafli, kenapa lo diem aja dari tadi? Tangan lo jangan cuma diem kaku di situ dong. Pegang gue yang bener!"Nona Claudia meraih kedua tanganku yang masih gemetar ragu di samping tubuhnya, lalu dia memaksaku untuk memegang pinggang rampingnya yang licin oleh air kolam."Saya takut ada yang liat kita, Non. Ini tempat terbuka banget, apalagi lampunya terang, udah kayak matahari mau terbit!""Nggak ada yang bakal liat kita malem-malem gini. Mama sama Kak Shella lagi sibuk tebar pesona di acara amal itu, nggak mungkin pulang cepet!"Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke depan hingga payudaranya yang menyembul dari balik bikini menekan dada bidangku. Dia kembali melu
"Sini, jangan jauh-jauh, nanti kangennya nggak tuntas. Lo pingin nyelesaiin yang di hotel kemaren, kan? Nanggung banget, udah mau masuk malah ditelepon. Jujur, gue masih pingin lagi!"Belum sempat aku menjawab atau bahkan memproses perintahnya, gadis itu sudah melakukan pergerakan yang membuat mataku melotot ngeri sekaligus takjub.Nona Claudia bangkit perlahan dari dalam kolam renang.Tubuhnya yang basah kuyup memantulkan cahaya lampu taman yang kebiruan, menciptakan siluet yang begitu indah namun mematikan. Air kolam menetes dari ujung rambutnya yang hitam pekat, mengalir melewati leher jenjangnya yang putih, lalu meluncur bebas membelah lembah dadanya yang terekspos lebar karena bikini merah marun itu benar-benar irit bahan.Tanpa basa-basi sedikit pun, Nona Claudia melangkah keluar dari air dengan percaya diri, lalu berjalan cepat mendekatiku yang masih berdiri kaku seperti patung selamat datang di perbatasan kota.Sebelum aku sempat mundur untuk menyelamatkan diri, dia sudah mene
Sesampainya di depan gerbang tinggi yang menjulang angkuh itu, aku mengerem motor Astrea Grand-ku dengan perasaan yang campur aduk, jauh berbeda dari biasanya.Dulu, setiap kali roda motorku menyentuh paving block halaman rumah ini, yang ada di kepalaku hanya rasa syukur karena punya pekerjaan enak, gaji lumayan, dan bonus pemandangan bidadari gratis setiap hari.Namun sore ini, bangunan megah bergaya klasik Eropa itu terlihat berbeda di mataku. Pilar-pilarnya yang besar seolah berubah menjadi jeruji penjara raksasa, dan jendela-jendelanya yang gelap tampak seperti mata-mata yang sedang mengintai dosa-dosaku.Rumah ini bukan lagi sekadar ladang rezeki tempatku mengais Rupiah demi Emak di kampung, melainkan sebuah kotak pandora raksasa yang menyimpan rapat-rapat rahasia kelahiranku yang kelam. Di balik tembok tebalnya, tersimpan jawaban atas pertanyaan "siapa aku" yang selama ini tidak pernah kupikirkan."Woy, Rafli, kamu ini ngelamun aja kayak ayam sakit! Buruan masuk, gerbangnya mau







