Neng Mas begitu antusias saat tahu jika sosok penelepon ialah sosok yang sangat ia rindukan dan cemaskan. Betapa tidak, sosok itu pergi jauh dengan kondisi yang tak jelas. Apakah berada di jalur yang benar atau keliru. Di mana tempat tinggalnya dan dengan siapa ia tinggal. Tidak ada informasi yang jelas tentang keberadaannya.[Jangan tertawa! Kalau tertawa kau jelek!]Neng Mas mencibir saat mendengar tawa dari bibir pria yang dirindukannya. Jauh panggang dari api, perasaannya begitu membuncah saat mendengarnya. Mendengar suaranya melelehlah air mata itu. Namun ia pandai menyembunyikan kesedihannya itu.Hanya mendengar suaranya sungguh telah membuat hatinya berdesir bahagia dan lega sekaligus. Sesungguhnya di balik keceriaan yang tampak dari luar terselip kesedihan yang ia simpan rapat-rapat. Kesedihan karena hubungannya dengan pria yang dicintainya tak normal seperti orang lain.Hanya pria itu yang bisa menghubunginya sewaktu-waktu sedangkan Neng Mas tak bisa. Hubungannya tidak jelas.
Salwa berjalan seperti biasa agak terburu-buru. Ia meninggalkan Daniel begitu saja hingga membuat suaminya itu bad mood pagi hari. Mereka baru turun ke lantai dasar karena akan menyantap sarapan pagi di restoran resort. Begitu ia tiba di tempat makan, mata gadis itu membola dan seketika menelan saliva yang terasa kerontang. Perutnya bergemuruh lapar. Beberapa kali ia menjilati bibirnya. Tak peduli dengan siapapun. Ia hanya ingin makan. Di meja prasmanan ada banyak hidangan yang disajikan chef yang terdiri dari bubur nasi, bubur kacang, bubur sumsum, nasi goreng, nasi putih lengkap dengan lauk pauknya, roti panggang panekuk dan masih banyak makanan lainnya. Gadis itu kebingungan mau memilih yang mana. “Mbak, biar saya bawakan. Mbak hanya tinggal katakan apa yang Mbak mau.” Seorang pelayan langsung dengan sigap menyambut kedatangan pengantin wanita. Tentu saja, resort itu biasanya disewakan untuk para wisatawan. Namun khusus hari itu, resort dikosongkan karena digunakan untuk acar
Hari ini saatnya pengantin baru pulang ke rumah setelah menghabiskan tiga hari berada di resort. Mereka tengah bersiap-siap melakukan packing pakaian ke dalam koper siang itu. Seharusnya mereka menghabiskan waktu lebih lama namun karena desakan pekerjaan, mereka mau tak mau harus kembali pada aktifitas normal mereka. Daniel Dash bekerja kembali ke kantor. Sementara itu, Salwa Salsabila kembali pada rutinitasnya magang di klinik kantor suaminya. Hanya saja, Salwa tengah dilanda dilema. Ia merasa tak tega meninggalkan sahabatnya untuk tinggal di messan sendiri. Memang di luar rencana dirinya akan menikah dalam waktu dekat. Usai mengemas pakaian, mereka duduk di sofa berdekatan. Maklum pengantin baru. Sang suami sangat agresif. Ia terus menempel bagai perangko. Saat ini Salwa berencana membahas kegundahan hatinya pada sang suami. Termasuk membahas di mana mereka akan tinggal setelah menikah mengingat Salwa masih harus kuliah. “Duduk di sini!” titah Daniel menepuk-nepuk pahanya. Sal
“Ayah, Ibu sakit apa? Dari tadi muntah terus?” Farah kecil menghampiri sang ayah yang tengah duduk di ruang tamu sembari menggulir layar macbook miliknya. Ia tengah memeriksa neraca keuangan perusahaan.Mendengar pertanyaan gadis kecilnya, Darren menoleh lalu menaruh macbook miliknya sebelum menjawab pertanyaannya.“Sini! Duduk!” imbuh Darren begitu lembut pada putrinya. Farah mengambil tempat duduk di samping ayahnya dengan tangan memeluk boneka kesayangannya dan memainkan kakinya.“Ibu sekarang sakit apa ya …”Darren bingung mau menjelaskan apa. Sebetulnya Nuha sedang hamil muda. Usia kandungannya mulai memasuki bulan ke dua. Namun Nuha belum mau mengatakan kehamilannya pada siapapun termasuk pada putra-putri mereka. Hanya Darren lah yang mengetahui kehamilannya.“Ibu sedang mual dan muntah,” lanjut Darren kemudian. Ia ingin Nuha sendiri yang mengabari kehamilannya pada mereka.“Aku tahu, Ayah. Aku bertanya sakit apa Ibu?” tanya Farah belum puas dengan jawaban sang ayah.Seorang wa
Setelah melihat situasi cafe dan mengobrol dengan pihak kepolisian, Daniel dan Salwa ditemani supir pergi ke rumah sakit untuk menjenguk karyawan yang menjadi korban insiden kebakaran itu baik yang terkena luka ringan maupun luka berat.Daniel langsung menyuruh Riko untuk membereskan seluruh urusan administrasi pasien baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Pun, ia memberikan tunjangan dan ganti rugi pada seluruh karyawannya. Ia langsung menyelesaikan insiden itu saat itu juga. Pria itu tidak suka menunda pekerjaan sehingga menyelesaikan masalah itu hari itu juga.Yang mencuri atensi Daniel ialah keluarga security. Mereka berduka karena salah satu keluarga mereka meninggal dunia.Ditemani istrinya Daniel menghampiri keluarga security untuk mengucapkan belasungkawa pada mereka.“Saya, Daniel Dash pemilik Kahfe Kafe dan ini istri saya, Salwa.”Daniel memperkenalkan dirinya di depan keluarga security tersebut.Mereka pun menyambut kedatangan Daniel dengan ramah tamah.“Saya ib
Dua minggu kemudian“Permisi, Mas,” imbuh seorang wanita paruh baya berada di bibir pintu masuk ruang kerja suaminya. Sang suami menoleh lalu tersenyum. “Masuk, Sayang!” serunya bernada lembut.Namun buru-buru istrinya menaruh telunjuknya pada bibirnya.“Psstt! Jangan panggil Sayang! Malu sama anak-anak.” Istrinya tertawa sumbang mengatakan itu. Paradoks memang. Ia senang dipanggil dengan sebutan mesra oleh suaminya namun ia tidak ingin panggilan mesra itu terdengar oleh anak-anak mereka. “Jadi kalau panggil Sayang saat berduaan boleh?” imbuh suaminya. Ia mematikan laptopnya dan menyudahi pekerjaannya. Ia tidak ingin menghabiskan waktu dengan pekerjaan ketika istrinya berada di sana.Sisi lain, istrinya merasa tak enak hati karena mengganggu konsentrasi suaminya yang tengah memeriksa neraca laporan keuangan pemasukan restoran.“Mas Naufal, aku ke sini hanya ingin mengantarkan kopi. Supaya Mas gak ngantuk.”Aruni mengatakan maksud kedatangannya. Ia mengambil tempat duduk di sofa yan
“Mas, jangan marah dong! Kasihan mereka. Lagipula mereka hanya menginap malam ini saja. Ibunya sedang ngidam.”Salwa berusaha membujuk suaminya yang merajuk. Daniel kecewa karena rencananya gagal untuk melakukan ritual malam pertama. Ia memilih tidur di sofa sedangkan ke tiga keponakannya menguasai tempat tidurnya.Kehamilan Nuha sudah tersebar. Mau tidak mau ia mengumumkan kehamilannya pada keluarga dengan berat hati. Terkadang ia merasa malu karena anak-anaknya masih kecil ia sudah hamil lagi. Itulah alasan wanita berhati lembut itu menutupi kehamilannya.Saat ke tiga anak yang menggemaskan itu tidur, Salwa ikut berbaring di samping suaminya di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang besar itu.“Mas Daniel, Mas Daniel jangan marah dong. Besok bagaimana kalau kita ke apartemen? Hum, kita bisa …”“Bisa se* di sana?” Daniel berbalik lalu tersenyum menatap istrinya.Gadis itu pun mengangguk mantap. “Ayo, kita tidur bersama mereka,” ajak gadis itu menarik tubuhnya untuk bangkit dari po
Bugh! Seorang gadis dalam balutan khimar hitam terjatuh, sehingga menyebabkan bunyi debam sesaat setelah salah satu kakinya tergelincir di area paving block yang bolong. "Arrgh...." Dia meringis kesakitan sebab merasakan jika area pergelangan kakinya seperti terkilir. Dia berusaha tetap bangkit dan mengabaikan rasa sakit tersebut. Sesekali, Mariyam Nuha menoleh ke belakang memastikan tiga lelaki yang mengejarnya itu sudah tak terlihat batang hidungnya. Nuha kini hanya mampu melihat matahari yang bergantung rendah di balik pagar semak-semak berwarna kuning. Tak peduli malam sudah mengambil alih senja, gadis itu terus saja berlari seperti orang tidak waras. Dia berlari begitu cepat, hingga beberapa kali menabrak apa saja yang dilewatinya. Mendadak tubuhnya mengeras seperti beton, sama sekali tak merasa sakit. Yang terpenting, dirinya bisa melarikan diri dari tempat itu dan menyelamatkan diri. Dengan cekatan, Nuha kembali mengangkat gamis berwarna hitam miliknya tinggi-tin