Share

Situasi Kaku (1)

"Ayah bohong, kan? Ayah bohong kan? Jawab Wulan Yah!" Rengekku. "Bu? Ini nggak bener, kan? Jawab Wulan Bu?" 

Ibu mengangguk sementara air mata terus mengucur di pipinya. Aku menggeleng keras tak percaya. 

"Kapan? Kapan? Wulan nggak merasa sudah menikah. Kapan Yah?"

"Kami mohon maaf Nak Feri. Ini di luar kendali kami. Kami mohon pengertiannya?"

Mas Feri mengepalkan tangan, rahangnya mengerat. Dia tidak baik-baik saja. Pelan dia berdiri kemudian menunduk tanda hormat pada ayah dan ibu setelahnya memandangku dengan tatapan tak rela. Secepatnya dia berbalik dan akan keluar. Aku berlari kemudian memintanya supaya tinggal.

"Mas! Jangan! Tolong jangan! Tetaplah di sini! Aku mohon?" Pintaku dengan menangis.

Mas Feri tetap tidak mau menatapku, dia menunduk dan tersedu. Ayah menarik tanganku supaya aku melepaskannya.

"Nggak ayah! Wulan hanya mau menikah dengan mas Feri! Bukan yang lain! Tolong ayah? Tolong?"

"Lepaskan Lan! Lepaskan! Biarkan dia pergi!" Perintah Ayah.

"Wulan nggak mau! Wulan mau mas Feri! Wulan mau mas Feri!" Teriakku.

Ayah menarikku dengan keras. Mas Feri berlari keluar rumah dengan cepat. Aku memukul tangan ayah dan berlari sembari menangis menuju kamar. Pintu aku tutup dengan keras supaya mereka tahu aku benar-benar marah. Supaya mereka mengerti aku ingin menyendiri. 

Ponsel aku raih kemudian menekan nomor mas Feri, berulang-ulang tapi tidak ada jawaban. Banyak pesan aku kirim berharap nanti dia akan menjawab. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit tidak ada jawaban. 

"Nduk? Wulan? Buka pintunya. Ayah dan ibu ingin menjelaskan sesuatu?" Ucap ibu dibalik pintu.

"Wulan nggak mau! Ayah dan ibu jahat! Wulan nggak mau!" Teriakku sembari menutup telinga.

"Wulan? Dengarkan dulu?" Pinta ibu lembut.

"Nggak! Pergi! Pergi!"

Dengan tergugu aku memandangi ponsel. Tiap ada pesan, aku membukanya cepat. Berharap mas Feri yang menjawab ternyata bukan. 

Seharian di dalam kamar cukup membuat tubuhku lemas. Apalagi dari pagi perut belum terisi apa-apa. Walaupun ibu merayuku untuk keluar kamar tapi aku tetap dengan pendirian. Sudah pukul empat sore ketika mau tidak mau aku haru ke kamar mandi, perut melilit tak karuan.

"Wulan? Kamu nggak apa-apa, Nduk?"

Ibu mengekorku hingga ke kamar mandi. 

Beberapa menit di kamar mandi, sakit perut muncul dan hilang. Hingga aku keluar dan meminta ibu mengambilkan minyak kayu putih.

"Makan dulu? Ini mungkin karena kamu belum makan sama sekali," ucap ibu.

"Aku nggak pengen makan, Bu. Wulan pengen ketemu mas Feri."

"Yang sabar ya, Nduk?"

"Bu! Bawa Wulan ke sini," titah ayah.

"Tapi Wulan masih sakit, Yah. Apa tidak nanti saja menjelaskannya?" Pinta ibu.

Aku memandang ragu pada mereka berdua.

"Bawa sini! Ayah akan jelaskan pelan-pelan."

Ibu membopongku ke ruang tamu. Laki-laki itu, masih di sana. Melirikku kemudian menunduk kembali.

"Wulan, perkenalkan ini Wahyu Pramudya. Besok akan ada acara sukuran atas pernikahan kalian di sini. Ayah mohon, jangan buat ayah kecewa."

Pikiran yang mulai tenang kembali terusik karena penjelasan ayah. Bisa-bisanya ayah berbicara layaknya aku sudah menerima pernikahan ini.

"Bagaimana Wulan menikah? Apa Wulan dijodohkan?" Tanyaku.

"Kalian dipertemukan bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Apa kamu tidak ingat sepulang sekolah waktu kamu sakit? Kalian ditemukan dalam sebuah warung yang tutup sementara. Dan apesnya, pemilik warung memergoki."

Aku ingat sekarang. Waktu itu badanku sudah terasa tidak enak. Di tengah jalan, hujan turun dengan lebat. Jas hujan tidak ada di bagasi motor, karena jarak yang kukira sudah dekat. Aku nekad menerobos hujan yang sangat lebat. Tubuhku menggigil. Melihat sebuah warung aku berniat berhenti sejenak karena sudah sangat kedinginan. Setelah itu, aku tidak ingat. Sepertinya aku tidak sadar dengan apa yang terjadi waktu itu.

"Kamu! Jelaskan pada ayah dan ibu. Kalau kita tidak melakukan apa-apa. Tolong kamu jelaskan pada mereka. Supaya aku bisa terbebas dari situasi ini? Tolong?" Pintaku memelas pada pemuda itu.

Laki-laki itu tidak mau mendengarkan permintaanku. Dia terus saja menunduk tanpa mau berbicara. Mungkin dalam hati dia bersorak kegirangan karena bisa menikahiku. Atau bisa saja ini akal-akalannya supaya bisa menjeratku. Dasar p*cik.

"Besok pagi, kalau sudah merasa enakan Wahyu akan mengantarmu berangkat kerja."

"Wulan bisa sendiri, Yah! Wulan berangkat sendiri."

"Jangan membantah! Ayah lebih lega kalau suamimu yang mengantar demikian juga dengan pulangnya. Kamu akan dijemput olehnya!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status