Share

Rancana Lamaran (2)

Empat cangkir teh aku letakkan di meja berikut toples berisi kue kering. Ibu mempersilahkan mas Feri untuk mencicipi hidangan yang sudah aku bawa. Sesekali dia melirik padaku sembari tersenyum. 

"Jadi begini nak Feri. Ada yang ingin kami sampaikan padamu hari ini," ucap ayah memecah kekakuan yang terjadi.

"Iya, Pak. Silahkan."

Jantungku semakin berdetak tak menentu. Aku berharap percakapan ini cepat selesai dengan ucapan mas Feri yang melamarku. Daripada menunggu seperti ini, aku merasa takut.

"Tapi kami mohon, kamu bisa menanggapi dengan bijak dan tidak menyalahkan Wulan."

Mas Feri menoleh padaku. Aku menggeleng menunjukkan jawaban tak mengerti apa maksud dari ayah.

"Insyaallah, saya akan mencoba seperti itu, Pak."

Ayah menarik napas dalam. Sedangkan ibu matanya sudah berkaca-kaca. Aku semakin takut untuk mendengarkan kelanjutannya.

"Nak Feri, sebelumnya kami mohon maaf. Mungkin yang akan kami sampaikan tidak berkenan di hati nak Feri. Tapi kami benar-benar harus menyampaikan ini."

"Bapak katakan saja apa maksud sebenarnya."

"Apa kamu yakin sanggup untuk melaksanakan kalau kami meminta sesuatu?"

"Insyaallah saya sanggup."

Beberapa menit ayah terdiam seperti tidak ingin melanjutkan kata-kata. Ibu memegang tangan beliau seperti memberikan kekuatan yang berarti.

"Putuskan Wulan sekarang juga!"

Seperti petir di siang bolong, aku mendengar ucapan ayah. Beliau pasti bergurau. Aku bisa memastikan apa yang akan diminta ayah dan ibu tadi. Tapi kenapa hal ini yang terjadi. Ayah meminta kami putus di saat kami sudah siap serius.

Pikiranku sudah tidak bisa mencerna apa-apa. Aku melihat pada mas Feri apa yang akan dikatakannya. Tapi dia semakin menunduk menyembunyikan wajah. Air mataku mengalir deras. 

"Ayah?" Ucapku memecah keheningan.

Aku mengusap air mata kasar, dan berharap mendapatkan jawaban.

"Sebentar, mohon maaf sebelumnya. Kenapa saya harus berpisah dengan Wulan, Pak?"

"Karena kalian bukan jodoh," jawab ayah tegas.

Ibu menghampiriku. Mengusap-usap kepalaku dan menghapus air mataku.

"Saya bahkan belum mengutarakan niat saya untuk melamar Wulan. Rencananya sekarang saya akan melakukan. Tapi kenapa bapak sudah menghakimi hubungan kami dengan kata bukan jodoh?"

"Nak Feri, saya mohon maaf. Tapi hubungan kalian sudah tidak bisa dilanjutkan," jawab ayah lagi.

Aku yang mendengar percakapan mereka semakin tak bisa berpikir jernih.

"Alasannya apa, Pak? Coba anda sebutkan alasan yang tepat supaya saya bisa menerima dengan lapang dada," protes mas Feri.

"Karena, karena Wulan sudah menikah."

Aku terbelalak. Begitupun mas Feri. Kami saling menatap. Aku menggeleng keras menunjukkan bahwa aku tidak tahu menahu perihal ini.

"Ayah? Tolong hentikan gurauan ayah. Ini tidak lucu!" Teriakku.

"Wulan sudah menikah. Sah. Disaksikan banyak orang."

Aku bingung dengan pernyataan ayah. Mas Feri menunjukkan wajah yang tidak ikhlas menerima ini semua. Di saat puncak ketegangan terjadi, seorang laki-laki masuk dan mengucap salam pada kami.

Laki-laki itu yang aku lihat di rumah sakit, yang selalu menunduk apabila aku tatap. Dia berdiri di depan pintu dengan memakai tas ransel dan jaket sebuah ekspedisi pengiriman barang.

Kami semua secara tidak langsung memandang padanya. Laki-laki itu menunduk tak berani masuk. Sampai ayah mengucapkan sesuatu yang membuatku sama sekali tak percaya.

"Dia, Wahyu. Suami Wulan!"

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status