Share

Bab 2 Gus Zilal

“Kalau Gus Zilal, bagaimana?”

“Hah, Gus Zilal?!”

“Iya, Gus Zilal. Teman satu sekolah kamu dulu waktu Aliyah, masing ingat kan?”

 “Zalfa tidak kenal dia, Bah. Mengapa harus Zalfa yang menikah dengan Gus Zilal, Bah?! Zalfa tidak cinta dengan dia!” seru Zalfa. Lagi-lagi air matanya mengalir deras dari manik legam itu.

Nampak sekali bahu gadis itu bergetar hebat. Hatinya begitu sesak mendengar perjodohan ini kembali dibicarakan.

Kiai Yahya menghela nafas pelan. Kali ini seolah lebih menjaga nada bicaranya. Melirik Faiz yang duduk serta menunduk di seberang Zalfa.

“Adikmu akan melamar gadis, Zalfa. Abah tidak tega kalau kamu harus dilangkahi Faiz,” tutur Kiai Yahya lembut.

Sontak Zalfa sedikit mengangkat kepalanya dan sedikit melirik Faiz.

“Zalfa tidak apa-apa, Bah. Zalfa tidak keberatan jika Faiz harus menikah lebih dulu, mengapa Abah berpikir begitu?” timpal Zalfa dengan suara parau.

“Nduk, umur kamu ini sudah cukup. Sudah lulus magister, mondoknya juga sudah lama, kamu ini sudah siap kalau menikah.” kata Umi Ulfah.

Zalfa hanya diam. Pikirannya kalut. Manik matanya tertuju pada pintu kamarnya, entah keberanian dari mana, akhirnya dia bisa mencuri waktu meninggalkan orang tuannya.

-0-

Hari cepat sekali berganti. Malam kembali hilang, diganti dengan sayup udara segar yang mendayu mengulum dahan. Semua anggota Keluarga Kiai Hamid nampak sibuk mempersiapkan hantaran dan seserahan untuk pernikahan Si sulung. Umi Karimah, Ibunda Zilal langsung turun tangan sendiri memilih pernak-pernik hingga perhiasan.

“Zilal…, ayo antar Umi ke toko emas lagi! Kemarin kan belum dapat, sekarang kita ke toko langganan Budemu coba. Katanya di sana bagus-bagus, modelnya nggak tua. Kayanya cocok buat Zalfa,” ucap Umi Karimah.

Sebenarnya, Zilal baru saja duduk meluruskan kakinya. Masih pagi begini dia sudah entah ke berapa tempat kali ini. Menemani Uminya belanja, koordinasi dengan pihak WO, katering, dan masih banyak lagi. Kakinya sudah pegal sekali. Ternyata, menemani perempuan belanja adalah hal yang lumayan menguras tenaga.

“Zilal baru duduk ini loh, Mik. Apa nggak sebaiknya istirahat dulu," ucap Kiai Hamid.

“Loh, Umi malah belum duduk sama sekali ini, Bah. Belum beres kok mau istirahat, nggak bisa. Nanti stoknya keburu sisaan, Lal. Ayo cepetan, masa Zalfa mau dikasih yang jelek,” seloroh Umi Karimah.

Mendengar nama Zalfa disebut, Zilal langsung bergegas mengambil kunci mobil. Bayangan senyum manis gadis itu nyatanya bisa menjadi asupan. Meski sebenarnya dia amat lelah dan kakinya pegal bukan main, tapi demi Zalfa apapun pasti diusahakan.

“Yok, Mi. Mobilnya sudah siap!” tegas Zilal.

“Nah, begitu. Harus konsisten. Kan kemarin kamu yang mau cepet-cepet nikah. Pokoknya harus Zalfa, harus Zalfa!” sindir Umi Karimah sambil cekikikan.

“Lha iya, anakmu udah gede, Mi.” timpal Kiai Hamid.

Sementara yang disindir hanya senyam-senyum sendiri. Berlalu menuju mobil di pelataran pesantren meninggalkan kedua orang tuanya.

Zilal Maghfuri Hisyam, putra pertama Kiai Hamid Hisyam. Seorang lelaki yang berani meminta Zalfa pada Kiai Yahya. Keyakinan dan ketulusan hatinya membuat Kiai Yahya bertekad merestui pernikahan keduannya. Walaupun Ia tau betul, anak sulungnya akan menolak perjodohan ini. Tapi, bukan seorang ayah namanya jika tidak bisa mengikat hati anak. Apapun dilakukan Kiai Yahya demi membujuk Zalfa, bahkan Ia berdoa dengan sangat khusyu untuk kebahagiaan putrinya.

Tentu, Zilal bukan hanya sekadar gus biasa. Dia dikenal sangat rendah hati, alim dan berwawasan luas. Sebelum Kiai Yahya menyetujui lamaran putra Kiai Hamid itu, sebenarnya Ia juga sempat menelisik sedikit kehidupan Zilal semasa di Mesir. Mungkin kira-kira satu tahun yang lalu Ia baru saja kembali ke tanah air. Sebelumnya, Zilal sibuk kuliah di Kairo. Dia juga mendirikan organisasi pemuda Indonesia yang berasal dari kalangan pesantren. Sebenarnya, memang sudah ada organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia), namun menurutnya cakupannya terlalu luas. Hingga, akhirnya dia menjadi pelopor organisasi pemuda Indonesia dari kalangan pesantren. Hal itu yang membuat Kiai Yahya yakin dengan keseriusan Zilal. Sifatnya yang ulet dan mampu menjadi pengayom cukup meluluhkan hati calon mertua.

Empat bulan sebelum pulang ke tanah air, Zilal datang menemui gurunya. Awalnya dia hanya ingin pamit sebentar, namun ternyata pertemuan itu cukup lama dan berakhir banyak mendapat wejangan.

“Bukankah kamu akan kembali ke sini, Zilal Maghfuri?” tanya Sang guru.

Zilal tersenyum. Dia menjawab “Insyaallah …,”

“Sepertinya kamu sebentar lagi akan menikah, Zilal. Kapan-kapan bawalah dia bertemu denganku. Atau aku sendiri yang akan datang ke Indonesia,”

“Masih belum tau, Pak. Mohon doanya saja, belum ada tanda-tanda jodoh datang ini, Pak. Hehe …,” seloroh Zilal.

Tatapan lelaki di hadapannya mendadak serius.

“Jodoh itu memang anugerah, tapi harus diusahakan. Sudah ada di depan mata, jangan kamu sia-sia kan lagi!”

“Dia akan menjadi rumah sekaligus cahaya untukmu. Tenanglah, setelah ini waktu bahagiamu datang, Zilal.” pungkas Guru.

Lama sekali pemuda itu diam menatap lurus jalanan lengang. Mobilnya sudah melesat jauh dari kawasan Muntilan. Sampai-sampai Umi Karimah bosan karena tidak diajak bicara. Hingga akhirnya, wanita itu memejam. Hawa dingin kota Magelang tentu menyusup sedikit melalui celah jendela mobil. Membuat rambut cepak itu mengayun lembut tanpa arah. Ingatannya masih asyik menerawang laku masa lalu.

Sepulang dari rumah gurunya waktu itu, Zilal membuka artikel penerbit ternama di Indonesia. Ada salah satu karya fiksi bertengger di dalam web site kabar terkini. Karya dengan judul ‘Bisakah aku menjadi Kunang-Kunang Lintangmu?’ cukup membuat layar gawainya menetap. Degup jantung Zilal mendadak kencang. Bola mata itu terus menyusuri paragraf demi paragraf. Hatinya berangsur menghangat, terlebih saat membaca kalimat ‘ditulis oleh Zafinablue’. Iya, dia adalah gadis yang menjadi penyala hati sejak Ia masih duduk di bangku Madrasah Aliyah. Dia adalah obat dari sakitnya ditinggal Ibu kandung. Dia menjadi penopang Zilal yang tersungkur dan merasa kerdil. Dengan segala aksara-aksara indah yang ditulis dari jemari mungil itu, Ia mampu membius duka lara putra tunggal yang mendadak ditinggal cinta pertamanya. Zalfa, gadis itu mampu menjadi cahaya tanpa pamrih. Tanpa orang lain tau dia menjadi penyelamat. Persis seperti falsafah Kunang-kunang dalam tulisannya.

“Akan aku pastikan. Kamu memang diciptakan menjadi Kunang-Kunang Lintang untukku, Ning! Hanya untukku!” gumam Zilal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status