“Bu… bukan ini yang Zalfa mau, Bah!” sergah Zalfa.
“Menikah itu ibadah Zalfa, sama seperti belajar. Kamu ini sudah waktunya menikah, Nak!” tegas Kiai Yahya tidak ingin kalah.
“Abah kan tau mimpi Zalfa, Bah. Zalfa belum siap menikah, Zalfa mau belajar sastra dulu. Bahkan Abah sendiri yang sudah janji mau mengizinkannya. Menikah akan membatasi gerak Zalfa nanti, Bah. Apa Abah lupa dengan janji Abah sendiri?” tangis Zalfa pecah.
“Belajar sastra bisa setelah menikah, Nak. Yang dilakukan Abah ini demi kamu. Menikah itu akan menjaga kehormatan dan harga diri kamu, bukannya membatasi. Apa kamu tidak ingin menyempurnakan agama kamu, Zal?!”
“Tapi tidak sekarang, Bah. Dan juga Zalfa tidak mau dijodohkan. Zalfa mau memilih suami yang Zalfa cinta. Bukan yang juga dipaksa menikah dengan Zalfa. Bahkan Zalfa juga tidak tau dia!” suara Zalfa semakin parau karena tangisnya.
“Abah sudah menyiapkan calon yang baik untuk kamu. Siapkan diri kamu, Zal. Waktunya satu minggu lagi. Semuanya sudah siap!”
“Abah jahat, Abah tidak mengerti perasaan Zalfa. Kenapa harus begini, Bah?” pekik Zalfa.
Tidak kuat dengan tangis dan situasi yang memekakan hatinya, Zalfa berakhir lemas tidak sadarkan diri.
Mendengar bunyi seperti hentakan, Umi Ulfah, Ibunda Zalfa langsung memanggil santri putri untuk membantu menolong Zalfa dan membawanya ke kamar.
-0-
Zalfa Fitria Nazma. Gadis berusia dua puluh tujuh tahun yang baru saja menyelesaikan program pendidikan magister dan lulus dari pondok pesantren. Dia putri pertama dari ulama besar di Magelang, Jawa Tengah. Abahnya, Kiai Yahya merupakan seorang pengasuh pondok pesantren sekaligus ketua yayasan. Dari kecil hingga dewasa, Zalfa dituntut untuk tunduk dan patuh kepada ajaran orang tua, agama, dan aturan pondok pesantren. Bahkan Ia hampir tidak pernah menolak atau menentang permintaan Abahnya. Namun, kali ini rasanya permintaan Kiai Yahya sudah keterlaluan. Hingga membuat Zalfa menentangnya habis-habisan.
Sebisa-bisanya dia menolak, namun sebisa dan seteguh itu juga Abahnya membujuk. Semua terasa mimpi, badanya lemas, jiwanya letih. Sampai kini dia berakhir di ranjang empuk miliknya yang sekian lama ditinggal.
“Nduk…, Zalfa… bangun, Nduk.” suara Umi Ulfah mengisi ruang kamar Zalfa. Tangannya terus mengoles minyak aromaterapi di hidung putrinya.
Lamat-lamat kedua mata gadis ayu itu berkedip dan perlahan terbuka. Menatap sayu raut wajah Uminya yang nampak cemas. Pikirannya melayang sesaat, memikirkan mengapa dia berada di sini.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nduk.”
“Mbak Lina tolong ambilkan air putih buat Zalfa, Mbak!” pekik Umi Ulfah ke salah satu santri.
“Um… Umi, Zalfa belum mau menikah…” ucap Zalfa lirih.
“Jangan dipikirkan dulu, Nduk. Kamu istirahat dulu ya, nanti kita obrolkan lagi baik-baik.” jawab Umi Ulfah lembut. Tangannya tidak henti-henti mengelus lembut Zalfa seolah memberi ketenangan.
-0-
Suasana di pondok pesantren Kiai Yahya nampak riuh setelah waktu Maghrib. Semua santri berduyun-duyun menuju ruang pengajiannya masing-masing. Suara gesekan sandal di halaman pesantren terdengar sahut-sahutan. Sepertinya, malam ini lebih sejuk dibanding sebelumnya. Angin berhembus tanpa permisi masuk ke semua celah jendela, koridor, bahkan mengusap wajah sendu gadis bergamis biru sore itu.
“Sudah selesai mengaji, Nduk?” tanya Umi Ulfah lembut.
“Sudah, Umi. Ini mau bantu menyiapkan makan malam bareng Mbak-Mbak.” jawab Zalfa.
“Oiya, tadi sore Umi beli Carica lho, Zal. Nanti sekalian ditaruh di meja makan ya!” ucap Umi Ulfah sambil berlalu. Namun, bola matanya melirik ekpresi Zalfa.
Tentu saja Ibu dua anak itu bisa langsung menebak bagaimana ekspresi Zalfa setelah mendengar nama buah kesukaannya disebut. Senyum ceria sontak terpancar di wajahnya. Memang Uminya selalu bisa membuat anak sulung ini luluh dan kembali bahagia.
“Loh, Umi beli Carica?!” tanya Zalfa semangat.
Alih-alih menjawab, yang ditanya hanya mengangguk senyum.
Zalfa segera berlalu menuju dapur. Membawa makanan yang sudah siap disajikan malam ini. Entahlah, sejak kepulangannya ke rumah, Ia sangat senang bergabung memasak di dapur dengan Mbak Lina, khadimah setia Umi Ulfah. Dia belajar berbagai resep makanan rumahan. Bahkan, makanan malam ini hampir 70 persen Zalfa yang turun tangan langsung. Meski obrolan dengan abahnya siang tadi masih bersarang di pikirannya.
“Sini, biar tak bantu, Ning. Kok kayanya repot banget,” tawar Lina yang melihat nampan Zalfa berisi penuh.
“Iya ini, Mbak. Kayanya perlu dibagi dua sih, takut tumpah ini.” balas Zalfa.
Dengan hati-hati dua perempuan ini berjalan menuju ruang makan keluarga besar Kiai Yahya. Ternyata, semua orang memang sudah menanti aroma sedap sambal kemangi yang menyeruak dalam ruangan.
“Duh, kok kayanya sambelnya enak ini, Mi. Siapa yang buat ini?” tanya Kiai Yahya melirik sambal.
“Umi nggak cawe-cawe, Bah. Pokoknya sekarang yang masak Zalfa sama Mbak Lina, Umi kaya juri sekarang. Cuma lihat-lihat saja,” seloroh Umi Ulfah.
“Lha iya, seneng banget ini ada anak perempuan di rumah.”
Zalfa hanya tersipu mendengar obrolan kedua orang tuannya yang seolah ingin membesarkan hatinya.
Tidak butuh waktu yang lama, hidangan di atas meja makan itu pun habis tak tersisa. Makan malam dengan nasi hangat, oseng-oseng pakis, tempe-tahu goreng, kerupuk, sambal, serta lalapan daun kemangi itu sungguh nikmat. Cepat dan habis semua.
Kiai Yahya dan Umi Ulfah nampak sedang bercengkerama tipis. Faiz, adik Zalfa sibuk menghabiskan sambal dengan kerupuk. Sementara Zalfa, jelas sibuk menikmati manisan Carica dingin yang dibeli Umi Ulfah. Kiai Yahya melirik Zalfa yang tak henti-hentinya membuka kembali bungkus cup kecil Carica.
“Kalau dipikir-pikir memang sepertinya Carica ini jodoh kamu, Nduk.” tutur Kiai Yahya menatap Zalfa.
“Maksudnya, Bah?” tanya Zalfa tenang. Sepertinya Carica membuat dia lupa telah bersitegang dengan Abahnya.
“Kamu ndak penasaran siapa calon suami kamu? Dia punya banyak Carica lho,” ledek Kiai Yahya.
“Zalfa bukan anak kecil yang dipaksa menikah dengan sogokan Carica, Bah!” sergah Zalfa.
“Kalau Abah milih Gus Zilal jadi suami kamu bagaimana?”
“Hah, Gus Zilal?!”
“Sudah jalan-jalannya, Ning?” tanya Zilal yang melihat Zalfa sudah kembali.“Sudah, Mas. Nih aku bawain sarapan,”“Lha iya, kan aku jadi enak ini. Tiap hari dimasakin, kalau nggak masak dibeliin sarapan. Kamu emangnya nggak bosen jalan-jalan setiap pagi?”Begitu mewahnya pemandangan Kejajar yang menyuguhkan pegunungan dan hamparan perkebunan itu tidak pernah lekang dari manik Zalfa. Waktu cepat sekali berlalu. Sudah dua minggu mereka tinggal di tempat ini. Setiap pagi, Zalfa akan meminta Kinan menemaninya berjalan-jalan mengitari perkebunan Carica. Terkadang Zilal yang inisiatif menemani gadis itu, tapi terkadang pemuda itu sudah sibuk dengan pekerjannya.“Enggak, Mas. Aku seneng banget, perkebunan yang di sebelah barat juga belum tak jelajahi semua.”“Ya jangan semua to, Ning. Kecapekan nanti kamu,”Zalfa menuju ke dapur, mengambil satu nampan Carica yang sudah dingin.“Aku seneng banget, di sini bisa setiap hari makan ini!” pekik Zalfa kegirangan. Persis seperti anak kecil.Pemuda i
Konon cinta bisa datang karena terbiasa. Seseorang juga pernah berpendapat, jika cinta juga bisa dipelajari. Namun, sebenarnya mungkin saja waktu yang berbicara. Waktu yang memupuk jiwa-jiwa kasih itu tumbuh. Waktu yang menyuburkan dahaga romantisme itu tumbuh subur. Tapi, apa benar bisa begitu, jika di dalam ruang yang sama masih ada jiwa yang lain?“Mas, mau berangkat sekarang?” tanya Nindi.“Iya ini, Dik. Besok sudah mulai ngajar. Kontrak ngajarnya juga sudah turun. Kamu baik-baik ya di rumah. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong Bude Ida,” jawab Zain yang telah selesai berkemas.Pemuda itu sukses diterima sebagai dosen di Universitas swasta. Entah takdir atau memang kebetulan, dia diterima di kota yang sama dengan masa lalunya tinggal. Wonosobo. Tempat yang justru tidak ingin Ia hampiri. Namun, takdir berkata lain, dulu Ia sempat menaruh lamaran di sana. Biaya untuk menghidupi adiknya masih menjadi tanggungannya. Mau tidak mau dia harus mengambil pekerjaan ini.“Sudah dulu ya, Mas
Malam baru saja datang. Hawa dingin sungguh terasa masuk ke dalam pori-pori insan yang hendak meninggalkan rumahnya. Dengan berbekal jaket tebal dan kerudung pashmina, Zalfa bersikukuh ingin ikut Zilal pergi. Entahlah apa yang terjadi. Lelaki itu masih bingung. Biasanya, gadis itu akan cuek dan tidak peduli apa yang dilakukannya. “Ning, tapi kali ini kita naik motor. Soalnya, jalan utama ke toko sedang masa perbaikan. Apa kamu nggak apa-apa, ini hawanya lagi dingin banget…” “Enggak apa-apa, Mas. Kan aku udah pake jaket,” ucap Zalfa percaya diri. “Hemm… oke. Tapi, kalau nanti kedinginan jangan protes ya,” Zalfa mengangguk mantap. Keduannya menyusuri jalan kecil menuju toko. Memang, perjalanan kali ini sebenarnya tidak cukup jauh. Tapi, biasanya orang pendatang akan tidak tahan dengan hawa dingin di malam hari. Berbeda jika orang asli lokal. “Mas, memangnya mau ke toko siapa sih?” tanya Zalfa. Zilal masih fokus mengendarai motor. Suara angin dan karena memakai helm, pria itu tidak
Jendela di rumah sederhana itu sengaja dibuka oleh Zalfa. Dia seperti sangat menikmati keindahan alam pemandangan yang memanjakan mata. Menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pada udara segar Kejajar.“Maaf ya, Ning. Saya belum bisa buatkan rumah yang bagus buat sampeyan, kita sementara tinggal di sini dulu ya,” ucap Zilal yang mendekat.Benar saja, sesampainnya di Kejajar dua manusia itu langsung beberes dan menata sebagian barang bawaannya. Meskipun sebenarnya masih cukup berantakan, tapi setidaknya rumah ini sudah nyaman ditempati.“Aku suka kok Mas di sini. Udaranya seger banget….,”“Tapi ya rumahnya masih sederhana, Ning. Nggak kaya rumah Abah kan?”“Lho nggak apa-apa lah, malah jadi gampang beberesnya. Nggak cape.” balas Zalfa singkat.“Hahaha, bisa aja nih. Pinter banget bikin suami seneng,”“Dih, siapa yang mau buat seneng? Emang aku suka rumah ini, nggak bohong!” cebik Zalfa.“Iya… iya, gitu aja galak amat!”“Ishh!”Puas memandang hamparan perbukitan dari jendela, g
“Apa memang semua pernikahan itu hanya berujung pada kebutuhan biologis?”“Mana yang katanya akan menemani sampai tua, hidup bersama sampai akhir. Bukankah kalimat itu hanya boleh diucapkan orang-orang tulus tanpa pamrih?”Gadis itu nampak masih diam. Matanya menatap bunga-bunga taman yang diairi aliran air terjun buatan. Mereka tidak semua bermekaran. Ada beberapa yang memang masih kuncup. Duduk dan menatap taman ini sungguh membuat hati Zalfa sedikit tenang.“Ning Zalfa…” panggil Zilal.Zalfa menoleh. Namun tidak beranjak menghampiri sumber suara.Suara derit pintu menuju taman terdengar. Iya, Zilal datang. Duduk di samping Zalfa menatap taman.“Nasib! Punya istri cantik tapi hari pertama sudah dicuekin!” seloroh Zilal.Zalfa tetap diam. Tangannya memainkan jari kukunya, seolah bingung harus bagaimana.Bisakah aku menjadi Kunang-kunang LintangmuMemberi kasih pada setiap helai rambutmuMengaliri kesegaran dalam nadiMemupuk cinta penuh artiDalam setiap langkah kecil yang kau dakiT
“Huaa! Siapa ini?!” teriak Zalfa keras.Byurr... satu gelas air tanpa sengaja tumpah.Dengan cepat Zilal bangun dengan memasang kuda-kuda. Kaget bukan main. Jiwanya masih dalam alam bawah sadar.“Apa? Ada apa, Ning?!” jawab Zilal amat kaget.Zalfa hanya terperangah melihat laki-laki itu bangun dari tempatnya dengan wajah basah akibat ulahnya. Sementara Zilal masih berusaha memulihkan kendali sadar.“Mas Zilal?!”“Iya, Ning. Ini saya,” kata Zilal lembut. Berusaha meyakinkan Zalfa.“Mas kok tidur di sini sih? Kan aku sudah bilang di dalam perjanjian itu!”“Saya kan cuma tidur, Ning. Di perjanjian nggak ada larangan untuk tidur kan?” tanya Zilal polos.“Huh! Dasar mesum!” ucap Zalfa kesal.Sementara Zilal masih mencoba diam. Jujur saja dia kaget bukan main, bangun tidur wajah dan selimutnya sudah basah. Ditambah masih kena omel Zalfa.“Ning?”Zalfa tidak peduli panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengatur nafasnya yang tentu saja memburu. Bagaimana mungkin satu malam
“Hei, Zalfa!”Deg.Mendengar panggilan dari suara yang sudah lama Ia nantikan, Zalfa membeku sepersekian detik. Tangannya gemetar. Dingin. Rasa yang telah lama dipendam seperti muncul lagi ke permukaan. Gurat kecewanya silih berganti dengan rindu. Lelaki itu datang kembali setelah dia memutuskan untuk melupakannya.“Halo, Zal. Masih ingat aku?” ucap Zain.Raut mukanya pias. Senyum palsu yang sekian lama Ia latih untuk pertemuan ini nampaknya tidak berjalan mulus.“Eh… Iya. Ma… masih kok, Kak Zain kan?” balas Zalfa setengah bergetar.“Selamat atas pernikahanmu, Zal.”“Aku tidak menyangka, perjuanganku selama ini akan berakhir begini. Andai kamu mau bersabar sedikit lagi. Sekali lagi selamat,” tutur Zain sembari pergi meninggalkan Zalfa.Diam. Membeku. Begitulah Zalfa sekarang. Air matanya lolos setelah mendengar kata selamat dari lelaki itu. Begitukah ucapan selamat?“Mengapa seolah aku yang salah? Bukankah dia yang begitu lama pergi?”Badannya seperti tidak kuasa berdiri. Tubuh yang s
Masjid pondok pesantren Kiai Yahya penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses akad nikah Zilal. Pusat akad nikah dihias cantik dengan dekorasi kecil berwarna biru putih. Sesuai dengan warna kesukaan Zalfa. Ada dua meja dan beberapa kursi lesehan yang akan digunakan untuk duduk para Kiai.“Tempat ini akan menjadi saksi aku meminangmu, Ning!” gumam Zilal lirih.Para Kiai dan kedua keluarga sudah siap. Nampak di sana Zilal sudah berhadapan dengan Kiai Yahya. Di sekelilingnya ada kedua keluarga besar, masyarakat, dan para santri yang turut serta ada di area masjid.“Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zalfa Fitria Nazma alal mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahri milyunu rubiyyata hallan.”“Bagaimana saksi? Sah?!”“Sah!!”Riuh rendah ramai orang berteriak ‘Sah’ membuat hati Zilal bergetar hebat. Saat ini, di tempat ini, Ia berjanji di hadapan penciptanya untuk menjadi seorang laki-laki yang berstatus suami. Di waktu ini, Ia juga berjan
Pucuk-pucuk daun nampak masih meneteskan butiran air sisa hujan tadi. Sore ini Magelang diguyur hujan. Hawa dingin dan sejuk juga sangat terasa meski di dalam rumah. Tapi entah mengapa sekarang Zalfa seperti tidak menikmati angin kesegaran ini. Angannya masih menerawang perlakuannya pada Zilal yang seperti di luar kendali.“Sudah benarkah apa yang aku lakukan? Ah, kenapa aku jadi mikirin perasaan dia?” gumam Zalfa.Lama sekali dia duduk di taman kecil rumahnya. Memang, bagian samping rumah Zalfa ada sedikit tanah yang sengaja Umi Ulfah rancang sebagai taman bunga. Ada berbagai jenis tanaman bunga di sana.“Apa mungkin takdirku ini menikah dengan Zilal?” tanya Zalfa menatap Bougenvil putih.Terkadang jika suasana hatinya sedang tidak baik, Zalfa sibuk berdiam diri di sini. Entah sambil murojaah hafalan, baca buku, atau sekedar menulis apa isi hatinya yang tertuang dalam sebuah karya. Gemericik suara air yang sengaja dibuat seperti air terjun di dalam kolam ikan menambah syahdu suasana