Share

Bab 3 Menepi

Penulis: Natadinamit
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-21 21:56:15

Bukan Zilal namanya jika tidak mampu mengendalikan emosi Umi Karimah. Meskipun sudah berapa kali perempuan itu protes dengan pilihan anak sulungnya, namun semua berakhir baik. Iya, semua perselisihan ini gara-gara stok emas yang berada di toko langganan rekomendasi budenya hanya tersedia stok lama. Tentu Umi Karimah ingin memberikan yang terbaik untuk sang menantu, tetapi entah bagaimana pemikiran Zilal, Ia juga heran. Laki-laki muda itu malah mengambil salah satu model kalung stok lama dari toko tersebut.

“Le, kok malah ambil kalung yang itu to? Kata mbaknya lho itu stok lama,” ucap Umi Karimah untuk kesekian kali.

“Stok lama kalau memang modelnya bagus kan nggak apa-apa, Mik?”

“Lah kamu ini bagaimana sih, mau ngasih ke calon istrimu kok begitu. Ya harus diusahakan yang terbaik dong. Kan kita bisa cari lagi ke toko yang lain?!” tegas Umi Karimah bersungut-sungut.

Mendengar omelan sang Ibunda, Zilal menghentikan mobilnya sebentar. Ia mampir ke salah satu toko swalayan dan membeli beberapa camilan serta minuman. Sedangkan wanita itu hanya menggeleng pelan melihat kelakuan putranya.

Tidak lama. Akhirnya Zilal masuk ke dalam mobil dengan menyerahkan minuman segar untuk sang umi.

“Minum dulu, Mi. Umi pasti cape dari kemarin ngurus pernikahan Zilal, makasih ya Mi sudah mau berbuat banyak untuk Zilal,” kata Zilal sembari menyerahkan minuman.

“Umi nggak mempan disogok apapun,” jawab Umi Karimah.

Meski jawabnya begitu, tetapi minuman pemberian Zilal itu tetap diterima.

Setelah keadaan Uminya kian membaik, Zilal mulai membuka obrolan.

“Mi, sebenarnya Zilal sudah pesan satu set perhiasan untuk mahar nanti. Zilal juga mau memberikan yang terbaik untuk Zalfa,”

“Loh kok nggak bilang Umi? Kalau bilang dari awal kan Umi nggak perlu ribet-ribet cari di toko sekitar sini.” cebik Umi Karimah.

“Lah kan memang tadi belum pesan, tadi niatnya Zilal juga mau lihat-lihat modelnya dulu di toko pilihan Umi. Tapi, sebelum itu sebenarnya Zilal juga sudah ditawari teman Zilal yang memang bisnis di bidang perhiasan. Nah, setelah mantap model di sini nggak cocok sama Zalfa, ya akhirnya Zilal terima tawaran itu. Jadinya pesan di teman Zilal tadi itu, Mi.” terang Zilal lembut.

“Kaya gitu kok nggak bilang dari awal to, Le?”

“Lah terus tadi kamu ambil kalung di toko itu buat apa? kan Umi jadi salah paham,”

“Ehm, nggak tau ya pas lihat kalung itu kok kaya pas buat Zalfa, Mi. Cantik, sederhana, tapi tetep menawan. Bentuk bandul kalung itu bintang, tapi ada bulan sabitnya di dalam. Cantik, persis Zalfa.” celetuk Zilal yang wajahnya sedikit malu-malu.

Umi Karimah hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Baru menyadari anak sulungnya itu memang sudah dewasa.

-0-

Lelah menangis dan mengurung diri di kamar, akhirnya Zalfa menyambar gawai yang berada di atas meja. Mencoba mengirimkan pesan ke Mbak Lina. Sebenarnya, masih pagi sekali jika harus izin bepergian. Namun, kali ini Ia tidak tahan dengan kondisi isi kepalanya. Mungkin saat ini, isi kepalanya lebih berisik dari pada pasar pagi. Abahnya terpantau sedang mengajar salah satu kelas. Ini kesempatannya pergi. Zalfa hanya meminta izin kepada Umi Ulfah untuk pergi berziarah ke Gunung Pring, Muntilan. Dia sengaja mengajak Mbak Lina, tanpa dipungkiri santri putri yang paling dekat dengan keluarga ini adalah dia.

Tanpa riasan berlebih, akhirnya Zalfa beranjak pergi. Hanya dengan gamis berwarna biru muda dan kerudung senada. Sangat sederhana, namun tetap cantik. Lesung pipinya selalu menawan meski bola matanya sembab.

“Saya saja yang nyetir, Ning.” ucap Lina.

Zalfa menurut dan duduk di kursi penumpang.

“Mau ke mana Mbak masih pagi begini?” tanya Faiz yang melihat Zalfa masuk mobil.

“Ziarah ke Gunung Pring sebentar,” jawab Zalfa singkat.

 “Hati-hati, Mbak. Jalanan masih licin,”

Mobil Innova itu melesat menembus jalanan yang masih basah terkena embun pagi, meninggalkan pelataran pondok pesantren dengan gedung berderet-deret itu. Hanya tangis dan sayup-sayup angin yang mengiringi kepergian Zalfa. Hatinya sesak, nafasnya beradu, ingin menolak semua perjodohan ini tapi tidak bisa. Lina hanya diam, fokus menyetir. Membiarkan Ning-nya menumpahkan segala resahnya. Dia tau betul, tidak mudah menjadi Zalfa. Pengabdiannya selama menjadi khadimah di keluarga Kiai Yahya membuatnya tau karakter anggota keluarga itu. Kiai Yahya dengan perangai lembut, namun tegas dalam mengambil keputusan. Umi Ulfah yang selalu ceria dan penuh kasih sayang. Hingga Faiz yang seolah tidak bisa ditebak maunya apa. Lina paham betul betapa sulitnya berada di posisi Zalfa.

-0-

“Mau ditemani naik ke atas nggak, Ning?” tanya Lina sembari menatap deretan anak tangga menuju makam.

“Nggak usah, Mbak. Zalfa sendiri saja, sudah paham kok. Kalau lama ya mungkin mampir lihat dagangan orang,” jawab Zalfa berusaha senyum.

Saat ini dua perempuan itu sedang berada di depan tangga menuju makam. Karena makam ini berada di daerah bukit, jadi mungkin Zalfa perlu menaiki tangga dengan tinggi sekitar 400 mdpl. Makam ini biasanya akan ramai peziarah pada bulan Shafar, terkadang banyak sebagian dari mereka yang menggunakan bus-bus rombongan. Sebenarnya, tidak heran jika banyak yang ingin berziarah ke Gunung Pring, mengingat ada 3 makam ulama besar yang ditempatkan di sini. Beliau adalah Pangeran Singasari atau Kiai Raden Santri, Kiai Jogorekso dan Kiai Dalhar.

Sesampainya di pendopo makam, Zalfa duduk bersimpuh serta menunduk takdzim. Dia merapal wirid dan tawasul untuk para ulama. Dia berdoa untuk dirinya sendiri. Untuk memantapkan hatinya memasuki medan laga lebih hebat dari kemarin. Belum usai pembacaan wirid, tangisnya kembali meledak. Hatinya tidak kuasa menahan rasa yang masih bersarang. Bahunya kian bergetar hebat.

Di sini, di depan makam ulama, Ia ingat pertentangan dengan abahnya. Dia ingat Umi Ulfah yang membujuknya penuh kasih sayang. Bayangan senyum Faiz yang akan bahagia jika menikah dengan gadis pilihannya juga sekilas nampak. Seolah semua bahagia ketika dia harus menanggung jeruji perjodohan ini. Bahkan tidak ada yang peduli dengan bagaimana perasaanya? Bagaimana isi hatinya, apakah nanti pernikahan itu akan bahagia?

Bayangan lelaki yang menjadi tambatan hati sejak kuliah itu kembali datang. Kembali menyapa batin, seolah berkata jangan pergi.

“Bisakah aku ikhlas menerima pernikahan dengan Gus Zilal, sementara hatiku masih tertata rapi untuknya?”

“Bisakah aku begitu?!” katanya sekali lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 15 Zain

    “Sudah jalan-jalannya, Ning?” tanya Zilal yang melihat Zalfa sudah kembali.“Sudah, Mas. Nih aku bawain sarapan,”“Lha iya, kan aku jadi enak ini. Tiap hari dimasakin, kalau nggak masak dibeliin sarapan. Kamu emangnya nggak bosen jalan-jalan setiap pagi?”Begitu mewahnya pemandangan Kejajar yang menyuguhkan pegunungan dan hamparan perkebunan itu tidak pernah lekang dari manik Zalfa. Waktu cepat sekali berlalu. Sudah dua minggu mereka tinggal di tempat ini. Setiap pagi, Zalfa akan meminta Kinan menemaninya berjalan-jalan mengitari perkebunan Carica. Terkadang Zilal yang inisiatif menemani gadis itu, tapi terkadang pemuda itu sudah sibuk dengan pekerjannya.“Enggak, Mas. Aku seneng banget, perkebunan yang di sebelah barat juga belum tak jelajahi semua.”“Ya jangan semua to, Ning. Kecapekan nanti kamu,”Zalfa menuju ke dapur, mengambil satu nampan Carica yang sudah dingin.“Aku seneng banget, di sini bisa setiap hari makan ini!” pekik Zalfa kegirangan. Persis seperti anak kecil.Pemuda i

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 14 Zafina itu kamu!

    Konon cinta bisa datang karena terbiasa. Seseorang juga pernah berpendapat, jika cinta juga bisa dipelajari. Namun, sebenarnya mungkin saja waktu yang berbicara. Waktu yang memupuk jiwa-jiwa kasih itu tumbuh. Waktu yang menyuburkan dahaga romantisme itu tumbuh subur. Tapi, apa benar bisa begitu, jika di dalam ruang yang sama masih ada jiwa yang lain?“Mas, mau berangkat sekarang?” tanya Nindi.“Iya ini, Dik. Besok sudah mulai ngajar. Kontrak ngajarnya juga sudah turun. Kamu baik-baik ya di rumah. Kalau ada apa-apa bisa minta tolong Bude Ida,” jawab Zain yang telah selesai berkemas.Pemuda itu sukses diterima sebagai dosen di Universitas swasta. Entah takdir atau memang kebetulan, dia diterima di kota yang sama dengan masa lalunya tinggal. Wonosobo. Tempat yang justru tidak ingin Ia hampiri. Namun, takdir berkata lain, dulu Ia sempat menaruh lamaran di sana. Biaya untuk menghidupi adiknya masih menjadi tanggungannya. Mau tidak mau dia harus mengambil pekerjaan ini.“Sudah dulu ya, Mas

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 13 Toko Oleh-oleh

    Malam baru saja datang. Hawa dingin sungguh terasa masuk ke dalam pori-pori insan yang hendak meninggalkan rumahnya. Dengan berbekal jaket tebal dan kerudung pashmina, Zalfa bersikukuh ingin ikut Zilal pergi. Entahlah apa yang terjadi. Lelaki itu masih bingung. Biasanya, gadis itu akan cuek dan tidak peduli apa yang dilakukannya. “Ning, tapi kali ini kita naik motor. Soalnya, jalan utama ke toko sedang masa perbaikan. Apa kamu nggak apa-apa, ini hawanya lagi dingin banget…” “Enggak apa-apa, Mas. Kan aku udah pake jaket,” ucap Zalfa percaya diri. “Hemm… oke. Tapi, kalau nanti kedinginan jangan protes ya,” Zalfa mengangguk mantap. Keduannya menyusuri jalan kecil menuju toko. Memang, perjalanan kali ini sebenarnya tidak cukup jauh. Tapi, biasanya orang pendatang akan tidak tahan dengan hawa dingin di malam hari. Berbeda jika orang asli lokal. “Mas, memangnya mau ke toko siapa sih?” tanya Zalfa. Zilal masih fokus mengendarai motor. Suara angin dan karena memakai helm, pria itu tidak

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 12 Rumah Baru

    Jendela di rumah sederhana itu sengaja dibuka oleh Zalfa. Dia seperti sangat menikmati keindahan alam pemandangan yang memanjakan mata. Menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pada udara segar Kejajar.“Maaf ya, Ning. Saya belum bisa buatkan rumah yang bagus buat sampeyan, kita sementara tinggal di sini dulu ya,” ucap Zilal yang mendekat.Benar saja, sesampainnya di Kejajar dua manusia itu langsung beberes dan menata sebagian barang bawaannya. Meskipun sebenarnya masih cukup berantakan, tapi setidaknya rumah ini sudah nyaman ditempati.“Aku suka kok Mas di sini. Udaranya seger banget….,”“Tapi ya rumahnya masih sederhana, Ning. Nggak kaya rumah Abah kan?”“Lho nggak apa-apa lah, malah jadi gampang beberesnya. Nggak cape.” balas Zalfa singkat.“Hahaha, bisa aja nih. Pinter banget bikin suami seneng,”“Dih, siapa yang mau buat seneng? Emang aku suka rumah ini, nggak bohong!” cebik Zalfa.“Iya… iya, gitu aja galak amat!”“Ishh!”Puas memandang hamparan perbukitan dari jendela, g

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 11 Perjalanan

    “Apa memang semua pernikahan itu hanya berujung pada kebutuhan biologis?”“Mana yang katanya akan menemani sampai tua, hidup bersama sampai akhir. Bukankah kalimat itu hanya boleh diucapkan orang-orang tulus tanpa pamrih?”Gadis itu nampak masih diam. Matanya menatap bunga-bunga taman yang diairi aliran air terjun buatan. Mereka tidak semua bermekaran. Ada beberapa yang memang masih kuncup. Duduk dan menatap taman ini sungguh membuat hati Zalfa sedikit tenang.“Ning Zalfa…” panggil Zilal.Zalfa menoleh. Namun tidak beranjak menghampiri sumber suara.Suara derit pintu menuju taman terdengar. Iya, Zilal datang. Duduk di samping Zalfa menatap taman.“Nasib! Punya istri cantik tapi hari pertama sudah dicuekin!” seloroh Zilal.Zalfa tetap diam. Tangannya memainkan jari kukunya, seolah bingung harus bagaimana.Bisakah aku menjadi Kunang-kunang LintangmuMemberi kasih pada setiap helai rambutmuMengaliri kesegaran dalam nadiMemupuk cinta penuh artiDalam setiap langkah kecil yang kau dakiT

  • Dipaksa Menikahi Gus   Bab 10 Pagi Pertama

    “Huaa! Siapa ini?!” teriak Zalfa keras.Byurr... satu gelas air tanpa sengaja tumpah.Dengan cepat Zilal bangun dengan memasang kuda-kuda. Kaget bukan main. Jiwanya masih dalam alam bawah sadar.“Apa? Ada apa, Ning?!” jawab Zilal amat kaget.Zalfa hanya terperangah melihat laki-laki itu bangun dari tempatnya dengan wajah basah akibat ulahnya. Sementara Zilal masih berusaha memulihkan kendali sadar.“Mas Zilal?!”“Iya, Ning. Ini saya,” kata Zilal lembut. Berusaha meyakinkan Zalfa.“Mas kok tidur di sini sih? Kan aku sudah bilang di dalam perjanjian itu!”“Saya kan cuma tidur, Ning. Di perjanjian nggak ada larangan untuk tidur kan?” tanya Zilal polos.“Huh! Dasar mesum!” ucap Zalfa kesal.Sementara Zilal masih mencoba diam. Jujur saja dia kaget bukan main, bangun tidur wajah dan selimutnya sudah basah. Ditambah masih kena omel Zalfa.“Ning?”Zalfa tidak peduli panggilan itu. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengatur nafasnya yang tentu saja memburu. Bagaimana mungkin satu malam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status