“Mas, lepasin!” seru Savana dengan napas memburu, berusaha melepaskan lengannya dari cengkeraman Daryan yang menyeretnya menyusuri lorong menuju kamar mereka. Di tangan satunya, Daryan menarik koper besar milik Savana, menyeretnya begitu saja di atas lantai marmer. Tanpa menjawab, Daryan membuka pintu kamar dengan kasar, lalu mendorong Savana masuk bersamaan dengan kopernya. Pintu ditutup keras di belakang mereka, membuat Savana tersentak dan menatap suaminya dengan dada naik turun. "Mas, dengerin saya," ucap Savana akhirnya, suaranya sedikit bergetar, tapi berusaha menatap lurus pria di depannya. Daryan berdiri diam, tubuh tegapnya membelakangi pintu, rahangnya mengeras. Tatapannya dingin dan menusuk. "Kalau ini tentang mama ...." “Mas,” potong Savana cepat. “Ini bukan cuma soal mama. Ini juga keputusan saya. Saya sadar betul apa yang saya lakukan.” Daryan mengerutkan dahi. “Kontrak kita belum berakhir, Savana.” Savana mengangguk, suaranya pelan. “Saya tahu. Tapi mau sampai k
Daryan menggenggam surat cerai yang kini remuk di tangannya. Tatapan matanya semakin tajam, seolah ingin menembus jiwa Savana. “Jelaskan sama saya, apa maksudnya ini, Savana?” Daryan menggertakan gigi, suaranya penuh penekanan. "Kamu bahkan sudah menandatanganinya?" Savana menelan ludah, bibirnya terkatup rapat. Suaranya tercekat di tenggorokan, tidak tahu harus mengatakan apa. Tiba-tiba, pelayan masuk dengan membawa koper Savana yang sudah dikemas rapi. “Malam ini Savana langsung meninggalkan tempat tinggal ini, Dar,” kata Ajeng dengan senyum sinis yang tidak bisa disembunyikan. Senyum penuh kepuasan, seolah meraih kemenangan. “Kenapa diam? Jawab!” desak Daryan, suaranya lebih keras, semakin menambah ketegangan di udara. Tapi Savana masih mengatupkan bibirnya rapat. Begitu mulutnya terbuka perlahan, tak ada kata yang keluar dari sana. Ia kembali menggigit bibirnya keras. Daryan semakin meradang, otot-otot lengannya menegang. Pandangannya tajam, rahangnya mengeras. Hatin
Malam itu di ruang tengah. Di atas meja, kue ulang tahun dengan hiasan cokelat dan tulisan 'Happy 30th Birthday, Daryan' sudah siap menunggu untuk ditiup. Ajeng berdiri di ujung meja dengan ekspresi puas, sementara Bella duduk di samping, mengenakan dress hitam dengan belahan di kaki, tampak siap mencuri perhatian. Savana berdiri tak jauh, mengenakan blouse sederhana dan celana panjang krem. Tak ada makeup mencolok di wajahnya sesuai instruksi Ajeng. Tapi justru, kesederhanaannya yang membuatnya tampak bersih dan lembut. Pintu utama terbuka. Daryan masuk dengan jas masih menempel di tubuhnya, dasi sudah dilonggarkan. Dia mengerutkan dahi saat melihat perayaan kecil itu. “Kan aku udah bilang gak perlu, ma.” desahnya pelan sambil berjalan mendekat. Ajeng mendekat, tersenyum kikuk. “Cuma tiup lilin kok. Tinggal tiup, terus potong cake.” Daryan menghela napas singkat lalu berjalan mendekati kue. “Cuma ini,” tegasnya. “Yuk, Dar. Buat permohonan dulu,” celetuk Bella sambil m
Mobil melaju stabil di jalanan ibu kota pagi itu. Savana duduk di samping Daryan, memandangi jendela sambil memainkan ujung tas selempangnya. Sudah beberapa hari sejak mereka bicara tentang Ajeng. Bayangan soal itu masih sesekali menghantui pikirannya. Tapi pagi ini, ia punya niat lain. “Mas,” panggilnya pelan, memecah keheningan. “Hm?” Daryan tetap fokus pada jalanan, menoleh pada sang istri sekilas. “Mas mau hadiah apa dari saya?” tanya Savana hati-hati. Daryan mengernyit samar. “Hadiah?” “Iya. Buat ulang tahun mas,” lanjut Savana, masih dengan nada hati-hati. “Saya tahu mas gak suka dirayain, tapi ... saya tetap pengen kasih sesuatu. Gaji saya dari kerja di cafe masih ada, belum saya pake satu sen pun.” Daryan menghela napas pendek. “Kamu gak perlu kasih saya apa-apa, Savana.” “Tapi saya pengen,” bantah Savana cepat. “Saya pengen kasih kenang-kenangan buat mas. Lagipula uang ini bukan uang dari transferan, mas. Ini uang pribadi saya, kok.” Daryan meliriknya sekila
Pagi itu. Savana baru saja selesai mengganti baju setelah mandi ketika Daryan keluar dari wardrobe dengan kemeja yang belum sepenuhnya terkancing. “Savana,” panggilnya dengan nada rendah. “Hari ini ikut saya ke kantor lagi?” Savana yang sedang merapikan tas kecilnya menggeleng pelan. “Saya mau ke rumah mama. Hari ini saya gak ada jadwal ke kampus.” Daryan mengangguk pelan. “Oke, bareng. Saya antar.” Setelah sarapan dalam suasana yang cukup tenang, keduanya duduk di dalam mobil. Savana di samping Daryan, memandang keluar jendela. Sementara pria itu sesekali melirik ke arahnya. Mobil melaju meninggalkan gerbang mansion dengan kecepatan sedang. Beberapa menit dalam keheningan, hingga akhirnya Daryan membuka suara lebih dulu. “Kamu yakin semalam gak terjadi apa-apa di bawah?” Savana tak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju ke luar, pada pepohonan yang berbaris di tepi jalan. “Waktu bikin kopi, kamu sangat lama,” lanjut Daryan, suaranya lebih dalam. “Saya tahu kamu
“Saya minta maaf, Ma. Tapi saya tidak bisa tanda tangan sekarang,” ucap Savana, menahan getaran pada suaranya. “Kalau memang ini harus berakhir, biar mas Daryan yang bicara langsung sama saya.” Ajeng membeku. Rahangnya mengeras. “Berani sekali kamu menantangku?” “S-saya tidak menantang,” jawab Savana. “Saya cuma memilih untuk menghargai suami saya.” Ajeng menyilangkan tangan di dada. Tatapannya penuh penilaian, dan nadanya lebih menusuk daripada sebelumnya. “Harusnya kamu ngerti dong, Savana,” ucapnya tajam. “Anak saya sebentar lagi sudah kepala tiga. Saya pun tidak muda lagi. Umur saya, siapa yang tahu? Saya tidak ingin menutup mata sebelum melihat cucu dari darah daging sendiri. Karena Daryan anak saya satu-satunya.” Savana membuka mulutnya, hendak bicara, tapi Ajeng langsung memotong. “Saya mau Daryan segera menikah. Dengan perempuan yang benar. Yang bisa kasih keturunan. Bukan main-main nikah kontrak seperti ini, seperti anak-anak!” “Ma ....” “Kamu belum dua puluh