Share

Bab 0007

Embun terdiam di depan cermin, meratapi matanya yang bengkak karena menangis semalaman. Ia heran kenapa bisa sebucin itu ke seorang pria. Bukannya tidak pernah berpacaran, saat kuliah dia pernah menjalin kasih dengan temannya bernama Oskar. Namun, ternyata itu bukan cinta, dia bahkan masih tidak bisa menghapus nama Rain di dalam hatinya.

Embun mengusap matanya yang sembab, hingga tiba-tiba dia mendengar suara tetesan air jatuh dari langit. Gadis itu menoleh, menatap sejenak jendela kamarnya lantas berjalan mendekat. Ia menyingkap korden, wajahnya kembali sendu melihat hujan turun pagi itu.

“Bagaimana aku bisa melupakanmu, jika hujan saja selalu mengingatkanku padamu, Rain.”

💦💦💦

“Ah … sial!” Umpat Rain saat turun dari mobil karena pundaknya terkena tetesan air. Ia mendongak melihat atap lobi perusahaan papanya bocor kemudian melambai ke arah satpam.

“Beri tahu bagian yang berwenang untuk memperbaiki ini,” ucapnya datar lantas masuk ke dalam.

Rain memang terkenal tidak pernah ramah dan malah terkesan dingin kepada bawahannya. Ia bahkan tak mersepon senyuman para karyawan yang berpapasan dengannya. Rain melenggang masuk ke dalam lift dan langsung menuju ruang kerja. Ia melepas kancing jasnya, dan menaikkan alis mata melihat siapa yang sudah berdiri di depan ruangannya.

“Anda harus segera mencari sekretaris Pak,” ucap Beni, pria yang sudah puluhan tahun menjadi sekretaris Skala-papanya.

Pria beranak empat itu bahkan sengaja batuk-batuk di depan Rain, berakting seperti apa yang disarankan oleh Skala kepadanya kemarin.

“Kamu pura-pura saja bengek, kalau bisa batuk-batuk sampai kejang-kejang di depan Rain.”

Beni mengingat saran Skala. Awalnya dia hanya diminta sang atasan untuk menjadi sekretaris sementara Rain. Skala merasa Beni bisa memberikan arahan yang baik dan tepat mengenai perusahaan ke Rain, saat bocah itu baru bekerja di PG Factory. Namun, lama-kelamaan Rain malah merasa nyaman dengan kehadiran Beni di dekatnya. Hal ini membuat Skala takut kalau sekretaris kesayangannya akan direbut sang putra.

“Saya sudah tua Pak, menjadi sekretaris Pak Skala sekaligus sekretaris Anda membuat saya kekurangan waktu istirahat, saya masih ingin hidup sampai punya enam cucu,” ucap Beni memelas.

Rain yang sibuk menggantung jasnya pun merasa iba. Dia menoleh Beni yang berkedip-kedip mengiba, pria itu kembali batuk-batuk sambil memegangi dada.

“Kenapa? kenapa tidak berhenti menjadi sekretaris papa dan menjadi sekretarisku saja?” tanya Rain.

“Pak, semua direktur memiliki sekretaris yang seumuran dengan mereka. Bapak juga harus mencari sekretaris yang seumuran dengan Bapak,” jawab Beni.

“Kenapa harus yang seumuran?”

“Agar bisa mengimbangi pemikiran dan kedinamisan cara kerja Bapak.”

Rain menghela napas lantas menepuk pundak Beni, dia menatap pria itu dalam-dalam seolah ingin menyampaikan bahwa sebenarnya dia tidak ingin posisi Beni tergantikan, tapi Rain juga tidak tega mengingat pria itu memang sudah setua Skala.

“Kalau begitu carikan aku sekretaris baru yang pas untuk menggantikanmu!” pinta Rain.

“Bagaimana kriteria sekretaris yang Bapak inginkan?” Beni balik bertanya.

“Terserah, aku akan menerimanya asal dia masuk ke kualifikasimu. Nilai saja sesuai pengalamanmu sebagai sekretaris. Asal dia tidak banyak bicara, aku tidak suka orang yang cerewet.”

"Seperti seseorang yang aku temui kemarin," batin Rain.

💦💦💦

Embun menguap, dia lepas kacamata yang sudah dua jam tadi bertengger di mukanya. Ia menggeliat, mematahkan lehernya ke kiri dan kanan. Tangannya hampir meraih cangkir kopi di meja yang tak dia sadari ternyata sudah habis. Menaikkan jari tengah dan telunjuknya, Embun memanggil pelayan kafe untuk memesan minuman lagi.

Menutup laptop, Embun mencoba mengecek ponsel yang sejak tadi tidak dia sentuh sama sekali. Tidak ada yang mengiriminya pesan, hingga saat dia akan memasukkannya ke dalam tas sebuah panggilan masuk dari hotel tempatnya bekerja.

“Ada apa?”

“Bu Embun, ada yang mencari anda di hotel,” jawab resepsionis yang menghubungi.

“Siapa?” tanya Embun ragu, mungkinkah kakek atau neneknya. Karena selain keluarganya tidak ada yang tahu dia sudah kembali ke Indonesia.

“Di-dia seorang model.”

“Model?” Embun malah semakin heran, sejak kapan dia memiliki kenalan seorang model.

Meski sedikit kebingungan, Embun tetap berkemas. Ia bahkan tidak jadi meminum kopi yang baru saja dipesannya karena penasaran dengan sosok model yang mencarinya di hotel.

“Apa yang kamu bilang ke dia saat mencariku?” Embun mengingat pertanyaannya ke resepsionis yang menghubunginya tadi.

“Seperti yang Anda minta, saya bilang Anda hanya sedang liburan dan menginap di hotel ini.”

Sesampainya di hotel Embun langsung masuk ke dalam. Ia menertawai dirinya sendiri karena hampir lupa bahwa neneknya adalah seorang mantan artis dan juga model.

Embun sudah berpikir bahwa sang nenek lah yang datang menemuinya ke sana. Hingga keningnya mengernyit mendapati seorang pria duduk di sofa yang berada di lobi dengan mengenakan kacamata hitam. Pria itu bahkan langsung duduk tegak saat melihatnya datang.

“Dia yang mencari Anda,” ucap si resepsionis kepadany tadi.

Gadis itu mendekat dengan langkah ragu-ragu, Embun ingin memastikan siapa pria yang mencarinya itu. Mulutnya seketika membentuk huruf O besar saat pria itu melapas kacamatanya.

“Bubu,” sapa pria itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status