Share

Mencari Pertolongan

Lila semakin frustasi melihat keadaan Raka yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Entah sudah berapa banyak air mata yang jatuh setiap kali dia mengompres dahi Raka. Obat warung yang dia beli kemarin sudah tinggal satu butir saja, namun kondisi Raka malah semakin memburuk.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku memang ibu yang nggak becus.”

Isakan demi isakan yang terdengar di kamar sempit itu. Semalaman Lila tak bisa tidur karena terus terjaga demi Raka. Lila tak ingin lengah pada kondisi putranya. Jujur saja, Lila bahkan sering membayangkan Raka kejang-kejang.

Astaga! Berulang kali pula Lila menepis pikiran buruk itu. Tidak! Raka pasti akan sembuh. Kata-kata itu yang terus dikuatkannya dalam hati.

“Mas Ridwan nggak pulang lagi. Udah jam tiga shubuh. Ke mana lagi kamu, Mas?”

“Mama… Mama… sakit…”

Rengekan Raka membuyarkan lamunan Lila. Tangannya yang tadi terhenti saat memeras handuk kecil untuk kompres bergerak cepat. Handuk kompres yang ada di tangannya lantas ditempelkan ke dahi Raka penuh cinta.

“Apanya yang sakit, Sayang? Mama ada di sini. Kamu pasti bakalan cepat sembuh, Sayang. Raka anak yang kuat. Raka pasti bisa cepat sembuh, ya.”

Senyuman yang berusaha diukirnya meski Lila sendiri tak yakin jika Raka bisa melihatnya. Kedua mata Raka masih terus dipejamkan sambil terus merintih nyeri.

Lila pun berbisik perlahan pada Raka untuk menunggunya sebentar. Dia keluar rumah untuk mencari bantuan. Lila harus meminjam ponsel tetangganya untuk menghubungi seseorang. Ponsel miliknya sudah dijual Ridwan entah untuk apa.

“Tolong, Mbak.” Lila menggedor pintu kontrakan yang paling dekat dengannya. “Mbak? Tolong aku, Mbak. Mbak? Ini darurat, Mbak. Tolong, Mbak Ina.”

Tak ada yang menggubris dari dalam rumah kontrakan itu. Lila pun pindah ke pintu lainnya. Dua pintu didatanginya, namun tak ada respon berarti. Hingga dia sampai di kontrakan paling ujung dengan perasaan pasrahnya.

Dengan keyakinan yang sudah luntur, Lila mencoba peruntungannya untuk terakhir kali.

“Mbak Mila? Mbak? Mbak, ini aku Lila, Mbak. Tolong aku, Mbak.”

Suara Lila terdengar sengau karena terus-menerus menangis.

Lila berbalik karena tak ada sahutan apapun dari dalam setelah lama menunggu. Tetapi tepat saat dia hendak pergi seseorang memanggilnya.

“Kamu ngapain shubuh-shubuh begini, La?”

Suara itu seperti angin sejuk yang membawa harapan bagi Lila. Lantas dia pun segera menghampiri Mbak Mila dengan tangannya yang gemetar.

“Tolong, Mbak. Aku mau pinjem handphone Mbak sebentar. Boleh, ya?”

Untuk sesaat Mbak Mila hanya terdiam, namun tak lama dia kembali masuk ke rumahnya. Wanita paruh baya itu pun keluar lagi sambil menyodorkan ponsel pada Lila.

“Ini, pakai aja.”

“Makasih, Mbak. Makasih.”

Tak menunggu lama lagi Lila menekan beberapa digit angka. Butuh sekitar dua menit Lila menunggu hingga ada suara di seberang sana.

Panggilan telepon tadi menjadi satu-satunya harapan Lila saat ini. Dengan cemas Lila menunggui kedatangan seseorang. Jemarinya sudah berkeringat dingin dan gemetar. Setiap kali dia menoleh ke sisi kirinya, berharap orang itu segera datang.

“Lila?”

Ketika Lila hampir saja memejamkan mata saking mengantuknya, suara lembut seseorang menyadarkannya.

“Mas Adam?”

Lila sontak bangkit dengan mata kemerahan, antara mengantuk dan menahan haru karena Adam benar-benar datang.

“Di mana Raka? Kita pergi ke rumah sakit sekarang.” Adam mencari-cari sosok mungil itu dari pintu masuk.

Lila pun memberi isyarat pada Adam untuk masuk. Saat mendekati Raka, mendadak suara Lila terdengar gemetar. Beberapa kali Lila berdeham kecil untuk menjernihkan suaranya yang serak.

Sesaat Adam mengamati lantas menempelkan telapak tangannya ke dahi Raka. Kedua matanya membulat saat dia merasakan hawa yang sangat panas. Tanpa pikir panjang lagi Adam segera menggendong Raka dan meminta Lila membawa baju ganti untuk Raka.

“Dari hasil tes darah, putra Ibu terkena tipes. Syukurlah dia tidak sampai kejang akibat suhu badannya yang sangat tinggi. Hanya saja, karena ananda Raka mengalami dehidrasi yang cukup parah, jadi sebaiknya dirawat di sini saja.”

Lila tercenung mendengarnya. Bagaimana mungkin dia tidak bisa menyadari kemungkinan penyakit putranya itu. Lila sangat menyesal karena dia kurang memperhatikan kondisi Raka. Seharusnya Lila membawa Raka ke rumah sakit lebih cepat.

“Lakukan saja yang terbaik, Dokter. Saya yang bertanggung jawab atas segalanya. Tolong pastikan Raka bisa mendapatkan perawatan terbaik. Terima kasih, Dok.”

Selepas dokter keluar dari ruangan IGD, Lila tak kuasa lagi menahan perasaannya. Merasa gagal menjadi seorang ibu bagi Raka sungguh mengguncangnya. Hampir saja Lila terjatuh jika Adam tidak segera menahan tubuhnya.

“Kamu juga harus istirahat, La. Tenanglah, Raka sudah ada di tangan yang tepat. Aku udah nelepon Mama tadi. Mungkin pagi ini Mama akan datang.”

“Aku bodoh banget, Mas. Kalau aku bisa menjaga Raka dengan baik, Raka nggak akan seperti ini. Aku memang ibu nggak becus.”

Adam menggelengkan kepalanya, mencoba untuk menenangkan Lila dengan usapan lembut di lengan atas Lila.

“Kamu udah melakukan hal yang tepat dengan menghubungi Mas, La. Raka akan baik-baik saja. Dokter akan melakukan yang terbaik buat kesembuhannya. Sekarang kamu harus menyingkirkan pikiran-pikiran negatif seperti itu. Kamu hanya perlu fokus pada kesembuhan Raka. Juga kesehatan kamu sendiri.”

Pandangan Lila tertuju pada Raka yang sedang diinfus. Anaknya terbaring lemah dengan muka pucatnya. Begitu nyeri hati Lila melihat semua itu. Tanpa bisa dicegahnya lagi, air matanya terus jatuh.

“Ini, minumlah dulu. Teh manis hangat ini mungkin bisa sedikit menyegarkan badan kamu.”

Adam mendekatkan cup berisi minuman hangat itu ke depan Lila. Meja bundar kecil itu juga sekarang diisi oleh beberapa roti dan kue yang tadi dibeli Adam di kantin. Pikirnya, Lila pasti belum makan apapun.

Lila yang masih menundukkan kepalanya malah semakin membuat Adam cemas. Tangannya sudah terulur hendak mengusap pucuk kepala Lila. Tetapi tak jadi karena Lila terlebih dulu mendongak.

“Sebenarnya Mas Ridwan memang benar berniat mau jual aku. Dia… ” Lila menjeda perkataannya, mencari sedikit oksigen yang bisa masuk ke rongga dadanya. Sesak sekali setiap Lila mengingat hal itu. “Dia mau aku menebus semua hutangnya.”

Perkataan Lila itu sontak membuat Adam mengernyitkan dahi, kaget. Tadinya Adam berharap jika semua itu hanyalah kesalahpahaman belaka.

“Selama ini semuanya nggak pernah baik-baik aja. Hampir setiap hari Mas Ridwan nampar atau mukul aku kalau dia kesal. Aku pikir mungkin kebiasaan Mas Ridwan itu nggak akan berlangsung lama. Nyatanya… semua itu aku alami sampai sekarang semenjak kami menikah.”

Kedua tangan Adam di meja mengerat kuat. Amarahnya memuncak saat mendengar sisa cerita Lila tentang kekerasan yang terus dilakukan Ridwan. Jika suami Lila ada di sana juga, mungkin wajah Ridwan sudah babak belur dihantam kepalan demi kepalan tangan Adam.

Dengan tatapan yang penuh air mata itu, Lila bertanya. “Apa aku harus meminta cerai saja, Mas? Aku udah nggak tahan lagi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status