Masuk"Jaga ucapanmu, Bas!" sentakku pada pemuda yang mulutnya lancang itu. Saking kesalnya, aku sampai lupa jika ada Aiza. Segera kunormalkan kembali ekspresi ini seperti biasa.Aku dan Bas saling diam. Pemuda itu tak lagi mengucap sepatah kata pun setelah kusentak. "Ayo, Aiz." Aku segera menuntun tangan Aiza untuk pergi dari sana. Namun, baru beberapa langkah, suara Bas terdengar memanggil dari belakang."Mbak, tunggu, Mbak!"Aku tak peduli pada teriakan Bas. Terus saja aku melangkah hingga tiba di pinggir jalan raya. Sambil menunggu taksi pesanan lewat, kulirik Aiza yang tengah menatap ke belakang. Menatap Bas lebih tepatnya."Mama ... itu mobil Om Bas ke sini," ujarnya sembari menarik-narik tanganku agar melihat mobil Bas yang kini sudah tiba di samping tubuhku.Aku hanya diam, tak menyahuti ucapan Aiza. Mau bagaimanapun aku menjelaskan, tak akan masuk ke kepala Aiza karena masih anak-anak. "Ayo, naik! Biar aku antar, Mbak."Suara Bas terdengar. Namun, aku sama sekali tak mau menoleh
Mataku langsung melotot saat Bas berucap yang terdengar tidak sopan. Memang dia hanya bercanda. Tapi, tetap saja aku tak suka."Jangan macam-macam, Bas!" peringatku.Laki-laki itu hanya menyengir tanpa beban, lalu kembali menghampiri Aiza dan Devin.Kubiarkan saja mereka terus bermain di halaman rumah Desi. Sedangkan aku sendiri memilih untuk memasuki kamar sekalian bersiap untuk pergi.Hari pertama di rumah baru tak menyurutkan semangatku untuk mencari daster-daster yang nantinya akan kujual. Stok yang kupunya hanya tersisa beberapa saja. Karena itulah aku harus belanja hari ini agar bisa berjualan lagi secepatnya. Para pelanggan setia pun sudah banyak yang bertanya lewat pesan. Sayang sekali jika kuabaikan dan berakhir kehilangan pelanggan."Mama!" Suara Aiza terdengar lantang memasuki kamar, tepat setelah aku baru saja keluar dari kamar mandi. Kutatap wajah cerah yang kini terpancar di wajah manisnya."Wah, Aiz kelihatan seneng banget. Apa sih, yang buat putri mama ini seneng?" ta
"Jangan lancang kamu, bocah!" Mas Bagus berteriak sambil mengacungkan telunjuknya di depan wajah Bas. Begitu juga Bas yang menatap Mas Bagus tak kalah nyalang.Seketika kepalaku jadi pusing. Aroma-aroma pertikaian sudah tercium dan sebentar lagi akan dimulai. Apa yang harus kulakukan sekarang?"Heh, asal kamu tahu, ya! Aku nggak akan lancang kalau kamu nggak brengsek! Kamu sudah berani mengusir anak dan istrimu dari rumah, maka kamu harus berhadapan denganku!" Bas menantang Mas Bagus dengan suara lantang."Hei, bocah! Tahu apa kamu tentang rumah tanggaku? Kamu cuma orang asing yang nggak tahu apa-apa soal aku dan Yuni!"Bas langsung berkacak pinggang setelah mendengar ucapan Mas Bagus. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman yang meremehkan. "Kamu menantangku, hah? Mau tahu sepaham apa aku tentang—""Bas!" pekikku yang langsung menghentikan ucapan laki-laki itu. Kugelengkan kepala ini dengan pelan agar Bas paham jika aku tak mau dia melanjutkan ucapan. Bukan aku takut
Aku benar-benar terkejut atas pengakuan Bas. Sumpah demi apa pun, aku tak menyangka jika sejak dulu dia menyimpan rasa cinta. Bahkan, dia sampai tahu seluruh kehidupanku meski entahlah bagaimana caranya. Dan yang paling mengejutkan adalah ketika aku tahu jika Bas belum pernah menjalin kasih dengan gadis mana pun.Bayangkan saja, bertahun-tahun dia menyandang status jomblo hanya karena menungguku? Oh, Tuhan ... sungguh gila pemuda itu!Hingga hari berganti, pikiranku belum juga tenang karena masih teringat ucapan Bas. Aku jadi merasa canggung dan waspada karena kami tinggal bertetangga. Apalagi statusku sebentar lagi akan menjadi janda.Bagaimana tatapan orang-orang tentang seorang janda beranak satu yang didekati oleh seorang berondong? Hah, aku jadi ngeri sendiri membayangkannya.Sudahlah, daripada terus pusing karena ucapan Bas, lebih baik aku keluar sebentar untuk mencari sarapan. Kutatap sebentar Aiza yang masih belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Putriku itu baru bisa tidu
Sudah beberapa kali kucoba putar ingatan ini ke belakang. Namun, tak satu pun ingatanku tentang Bas keluar. Desi bilang, Bas adalah orang yang pernah mengirim surat padaku. Tapi surat yang mana?Seperti yang pernah Bas bilang jika dulu aku cukup populer di kampus. Karena itu tak heran lagi jika banyak laki-laki yang memberi surat untukku. Ada yang sekedar iseng, ada juga yang sampai mencurahkan isi hatinya. Tapi, saat itu hatiku tetap diisi oleh nama Mas Bagus. Bagus Dewantoro, pria yang paling kucintai. Namun, kini hampir menjadi pria yang kubenci.Tring!Bak memiliki firasat kuat, pria itu tiba-tiba mengirim sebuah pesan. Gegas kuperiksa pesan tersebut dengan malas.[Cepat kirim alamatmu! Kamu sengaja mengabaikanku?!]Kuhembuskan napas kasar setelah membaca pesan itu. Dengan malas jari ini bergerak di atas layar untuk mengetik balasan.[Jalan mawar, gang pelangi. Kos Desi.]Dia hanya butuh alamat, kan? Kurasa itu sudah cukup.Tak mau menghabiskan waktu hanya dengan menunggu balasan
"Om Bas nakal! Om Bas bohong! Katanya mau ada badut, tapi nggak ada! Aiz nggak suka sama Om Bas!"Entah berapa kali putriku menyerukan kekesalannya pada Bas. Aku sampai bosan mendengarnya. Namun, sengaja tak kularang atau kuminta untuk diam.Jujur saja, melihat Aiza yang seperti ini merupakan pemandangan yang langka sekali. Di rumah, jika dia merasa kesal pada Mas Bagus pun paling hanya diam. Tak pernah kulihat Aiza berseru dengan lantang menyuarakan kekesalan. Putri kecilku itu nyaris tanpa ekspresi jika sedang berhadapan dengan ayah kandungnya sendiri.Tapi, ajaibnya Aiza benar-benar berani bersuara di depan Bas. Meskipun terlihat belum akur, tapi aku cukup senang karena Aiza sudah mengalami perubahan."Iya, iya. Om Bas minta maaf. Nanti janji deh, nggak bohong lagi," sesal Bas yang sejak tadi berjalan sambil merayu Aiza. Namun, putriku itu tetap kesal dan tak mau memaafkannya."Bohong! Om Bas kan, tukang bohong! Aiz nggak percaya sama Om Bas!" Setelah tiba di dekat kosan, Aiza lan







