Share

Bab 2

Author: Emka 1979
last update Last Updated: 2025-06-15 10:15:28

"Aaarrgh!" Mahendra terbangun sambil memegang kepalanya yang terasa sakit.

Mata Mahendra terbuka, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Lelaki itu mengira, dirinya sudah berada di alam baka. "Dimana aku? Apakah aku sudah mati?" lirih Mahendra sambil melihat sekeliling.

Mahendra langsung terduduk saat sadar, ternyata dia masih berada di rumah sakit. Tepatnya di ruang kerjanya.

Lelaki itu melihat tubuhnya. Tidak ada luka bakar. Lalu dia memegang kepalanya, tak ada darah yang mengalir. Tubuhnya... masih utuh.

"Ini tidak mungkin! seharusnya aku mati dalam ledakan itu! Aku masih ingat dengan jelas kecelakaan itu!"

Mahendra pun melihat kalender yang ada di meja kerjanya

"!6 Juni 2024...."

Tubuh Mahendra bergetar hebat. "Ohh tidak! Ini... ini satu tahun sebelum aku kecelakaan. Itu artinya... Aku kembali ke masa lalu…?! Aku hidup lagi?!"

Mahendra pun panik. Dia langsung berlari keluar seolah tak percaya dengan keadaan ini. Dia melihat perawat asistennya sedang berdiri di mejanya sambil memeriksa data pasien.

"Dok, apa sudah bisa dimulai?" tanya Reni, perawat itu.

Tubuh Mahendra menegang. Reni bisa melihatnya, itu artinya, dia masih hidup. Dia belum mati. Dia bukan hantu.

"Dok?" ulang Reni saat melihat Mahendra hanya terbengong melihatnya.

"Ah iya Reni. 15 menit lagi ya!" Mahendra pun akhirnya kembali ke dalam.

Lelaki itu terpaku di kursinya. Napasnya memburu, telapak tangannya basah oleh keringat yang mengucur deras. Bayangan mobilnya yang melaju tanpa kendali kembali terngiang dalam pikirannya.

Rem mobil yang blong.

Suara dentuman keras.

Ledakan itu.

Tubuhnya yang terbakar.

Mahendra memejamkan mata kuat-kuat. “Itu seperti nyata… sangat nyata,” gumamnya lirih.

Namun belum selesai ia mencerna semuanya, tiba-tiba suara panik terdengar dari arah pintu masuk UGD

“Pasien baru masuk! Sesak napas! Keluhan nyeri dada!” teriak salah satu perawat sambil mendorong ranjang pasien yang tergolek lemas.

Mahendra menoleh cepat. Seorang lelaki paruh baya, wajahnya pucat, dadanya naik-turun tak beraturan. Tangannya mencengkeram kuat bagian kiri dadanya. Matanya nyaris terpejam.

Namun, sebelum ada yang bertindak, suara asing tiba-tiba terdengar di telinga Mahendra—seolah suara itu berasal dari dalam kepalanya.

“Penderita mengalami gagal jantung. Segera lakukan tes darah, EKG, lalu CT scan dan MRI scan jantung.

Mahendra menegang seketila. Suara itu… siapa? Tapi tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Teriakan Reni dari luar untuk menyuruhnya ke UGD membuat lelaki itu menggerakkan kakinya dengan cepat.

Tanpa ragu, Mahendra melangkah ke tengah ruangan UGD dan mengambil alih.

“Ayu, pastikan pasien berada dalam kondisi aman,” katanya cepat, tegas.

Perawat bernama Ayu, yang berdiri kebingungan, langsung tersentak. “Dok… kita belum—”

“Lakukan RJP!” potong Mahendra. “Kompresi dada, kecepatan 100 sampai 120 kali per menit, kedalaman lima hingga enam sentimeter! Jika napasnya belum kembali, bantu dengan ventilasi manual. Siapkan AED!”

Reni ternganga. “Dok, kita belum sempat periksa. Kami belum tahu pasti diagnosisnya...."

Mahendra menatapnya tajam. “Percayakan padaku. Ini gagal jantung. Cepat lakukan sekarang sebelum kita kehilangannya!”

Suara Mahendra begitu meyakinkan. Meski ragu, Ayu segera mengikuti perintahnya. Ia memanggil perawat lain untuk membantu memasang ventilasi dan AED. Sementara itu, Mahendra sendiri mulai memompa dada pasien dengan presisi sempurna.

Satu… dua… tiga… kompresi dilakukan dengan ritme mantap. AED disiapkan. Dalam hitungan detik, alat itu berbunyi.

“Lakukan RJP. Menjauh dari pasien.”

“Semua mundur,” perintah Mahendra.

Beep!

Tubuh pasien terangkat sedikit saat alat itu menempel di dada pasien.

Beberapa detik yang menegangkan berlalu. Lalu… monitor jantung menunjukkan garis bergelombang!

“Detak jantungnya kembali, Dok!” seru Reni, wajahnya diliputi keterkejutan.

Mahendra menarik napas. Tangannya masih di udara. “Segera bawa pasien ke ruang observasi. Lakukan CT scan dan MRI jantung seperti yang saya katakan.”

Ayu menatap Mahendra dengan mata membulat. “Dok… Anda belum memeriksanya. Bahkan kami belum sempat mencatat tensi atau EKG. Bagaimana Anda bisa tahu?”

Mahendra menatap lurus ke depan. “Aku hanya tahu… tapi aku tak bisa menjelaskan bagaimana.”

Ayu mengangguk pelan. “Tapi... Anda menyelamatkannya. Itu yang terpenting.”

Mahendra menoleh, menatap pasien yang kini mulai siuman, lalu kembali memandangi tangannya sendiri.

“Apa yang sebenarnya terjadi padaku…?” gumamnya lirih.

Reni pun menerangkan apa yang terjadi pada pasiennya saat lelaki itu membuka matanya. Lelaki paruh baya itu pun mengangguk pada Mahendra sebagai tanda terima kasih. Mahendra pun pergi setelah memastikan pasien itu dalam keadaan aman.

Mahendra kembali menatap kedua tangannya. Tak percaya dengan apa yang dilakukannya barusan. "Aku seperti mendapat kekuatan supranatural!"

---

Rumah Sakit Grand Central.

Di basement gedung itu, sebuah ruangan forensik tertutup rapat, hanya beberapa orang kepercayaan yang diizinkan masuk.

Di dalam, seorang wanita berbalut jas dokter putih tengah berdiri di depan meja autopsi. Parasnya sangat cantik. Kulit putih putih seperti porselen, hidungnya mungil, tetapi matanya tajam kecoklatan.

Namun, siapa pun yang mengenalnya tahu, di balik keindahan itu tersirat kekejaman yang mengerikan.

"Bagaimana hasilnya?" tanyanya dengan suara lembut namun dingin.

Pria setengah baya di sebelahnya—Emir, tangan kanan Fadia—menunduk sopan.

"Organ jantung dan ginjalnya sangat baik, Nona. Kematian dinyatakan sebagai gagal jantung mendadak, seperti yang diatur. Pihak keluarga sudah diberi kompensasi."

"Bagus. Pastikan pengirimannya malam ini. Klien di Dubai sudah menunggu," ujar Fadia dengan datar.

"Siap, Nona," jawab Emir.

Fadia berbalik menatap bayangannya di kaca besar ruangan.

Wajah malaikat yang sering menipu banyak orang. Di balik profesinya sebagai Dr. Fadia Al Zahra, dokter forensik jenius, ia adalah penguasa Black Mamba, jaringan mafia perdagangan organ manusia terbesar di Asia Tenggara.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Emir, yang merupakan kaki tangan Fadia.

"Nona, saya baru mendapat informasi penting soal dokter Dewa Mahendra."

Alis Fadia sedikit terangkat. Nama yang familiar.

Mahendra. Pewaris Mahendra Group. Dokter muda yang baru saja selamat dari kecelakaan tragis.

Dengan gerakan halus, Fadia membalas:

"Apa pentingnya bagiku?"

Pesan balasan dari Emir muncul beberapa detik kemudian.

"Kemungkinan... dia bisa menyembuhkan adik Anda, Fayra."

Jantung Fadia berdetak cepat. Matanya langsung menajam.

"Beberapa dokter internal rumah sakit mengatakan Mahendra menunjukkan kemampuan medis yang aneh. Dia bisa mendiagnosis penyakit langka secara instan. Bahkan operasi darurat yang mustahil dia selesaikan dalam hitungan menit," lanjut Emir

"Benarkah?" gumam Fadia pelan.

Sejenak ia membisu, pikirannya bekerja cepat.

Selama ini, puluhan dokter spesialis tak bisa berbuat banyak untuk Fayra, adik kandungnya yang mengidap penyakit langka. Sekarang, muncul harapan baru.

"Siapkan semua data tentang Mahendra," perintahnya tegas.

"Baik, Nona."

Fadia tersenyum tipis, sangat tipis, hampir seperti tidak tersenyum.

"Jika dia benar-benar memiliki kemampuan itu... maka aku akan pastikan dia jadi milikku, dengan cara apa pun."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dokter Jenius Milik Ratu Mafia   Bab 35

    "Kemana aku harus mencari pekerjaan. Tak ada rumah sakit yang mau menerimaku selain rumah sakit milik Fadia." Pikirannya yang kacau membuat langkah Mahendra terasa berat. “Aku ini lelaki … mana mungkin aku menerima bantuan Fadia, apalagi Angel. Bahkan Sifa. Aku harus berusaha sendiri,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru lalu lintas. “Tapi … bagaimana caranya aku bisa membuktikan kalau aku masih layak bekerja sebagai dokter? Bagaimana aku membuktikan, kalau semua tuduhan itu salah?”Ia mengembuskan na pas panjang, menatap kosong ke arah lampu lalu lintas yang berkedip merah. Saat ia bersiap melangkah ke zebra cross, suara bentakan seorang pengendara motor memecah lamunannya.“Oi! Minggir!”Mahendra menoleh cepat. Matanya membelalak. Seorang wanita paruh baya di kursi roda berada tepat di jalur motor yang melaju kencang. Wanita itu tampak panik, tangannya berusaha memutar roda, tapi tubuhnya seperti kehilangan tenaga.Tanpa pikir panjang, Mahendra berlari. Ia mendorong

  • Dokter Jenius Milik Ratu Mafia   Bab 34

    "Kita lihat, bagaimana tanggapan ayah tercintamu saat melihat anak kesayangannya ada padaku?" kata Fadia saat wanita itu baru saja tiba di markas setelah memenuhi panggilan dari rumah sakit. Angel duduk terikat di kursi besi. Wajahnya lebam, darah mengalir dari pelipisnya. Di sampingnya, salah satu anak buah Fadia memegang senjata.Fadia berdiri tegak di hadapan Angel. Wajahnya dingin. Dia mengangkat ponselnya, menekan nomor Rocky.“Angkat, Rocky. Lihat siapa yang sedang gelisah di depanku.”Panggilan pun tersambung. Suara Rocky terdengar santai dan sinis dari seberang. “Fadia ... Kau masih hidup rupanya. Apa kabar gadis nakal itu?”“Anakmu sedang menjerit minta tolong. Aku hanya perlu satu peluru untuk mengakhirinya," kata Fadia sambil mengarahkan kamera ponselnya pada wajah Angel.“Papa! Tolong aku! Aku nggak sanggup! Aku salah, aku mohon …” jerit Angel dengan air mata yang bercucuran di wajahnya.“Dan kau pikir aku peduli?" sahut Rocy dengan nada datar dan dingjn.Fadia mengerutka

  • Dokter Jenius Milik Ratu Mafia   Bab 33

    "Mmpphhh!" Seseorang tiba-tiba membekap mulut Fadia saat wanita itu berjalan ke arah mobil.Lelaki itu menyeretnya masuk ke dalam mobil. Disana, ada empat pria bertopeng dan bersenjata. Fadia bisa saja menarik pistol di balik jaket kulitnya dan menghabisi mereka semua. Namun, matanya sempat menangkap sesuatu. Logo kecil yang ada di jaket salah satu pria itu. Mata Fadia menyipit, mencoba mengingat-ingat, dimana dia pernah melihat logo itu. Namun, hingga beberapa menit, Fadia beli bisa mengingatnya.“Cepat! Buruan jalan! Bos sudah menunggu kita di markas!” teriak salah satu pria bertubuh besar.Fadia tak melawan. Dia membiarkan mereka membawanya. Sudut bibirnya tersenyum tipis. “Jadi ini permainan kalian …”---mereka pun sampai di sebuah gudang kosong, Fadia diikat di kursi dengan kedua tangan di taruh di belakang. Di sekelilingnya, lima pria berjaga, lengkap dengan senjata.Seorang wanita berambut pirang masuk dengan langkah tegas. Angel."Seharusnya kamu tidak mengusik kebersamaanku

  • Dokter Jenius Milik Ratu Mafia   Bab 32

    "Apa yang kamu lakukan di apartemen suamiku?" suaranya terdengar tegas, datar, tapi tajam seperti pisau. Namun hal itu tak membuat Angel takut. Wanita ituhanya mengangkat bahunya santai, lalu mengibaskan rambutnya ke belakang. Tak lupa, dia tampilkan senyum sinis penuh ejekan."Aku hanya ke kamar kecil. Memangnya tidak boleh? Kamu tahu kan, setelah kita melakukan kegiatan intim, pastinya kita merasa tidak nyaman di bagian 'itu' kalau tidak segera mencucinya," jawab Angel sengaja menyelipkan provokasi dalam setiap katanya.Mahendra langsung tersentak, wajahnya pucat pasi.“Fadia, itu tidak benar!” serunya, sambil menggelengkan kepala. “Jangan percaya ucapannya. Kami tidak melakukan apa-apa. Dia hanya numpang ke kamar mandi tadi, aku bersumpah!”Fadia menoleh menatap suaminya, matanya mencari dan menggali—apakah ada kebohongan tersembunyi di wajah Mahendra. Tapi sejauh matanya menatap, dia hanya menemukan kejujuran … dan rasa bersalah. Tanpa berkata apa-apa, Fadia melangkah mendekat,

  • Dokter Jenius Milik Ratu Mafia   Bab 31

    “Mahendra, jangan sok setia. Fadia itu hanya memperalatmu!” Mahendra menunduk, menahan emosi. “Mungkin. Tapi aku akan tetap menepati janjiku.” Angel memicingkan mata saat Mahendra berdiri dari kursi dan bersiap pergi. Dalam satu gerakan cepat, dia meraih lengan pria itu dan menahannya. “Mahendra … jangan bodoh.” Suaranya terdengar pelan, tapi penuh tekanan. “Kau tahu dia hanya memperalatmu, kan?” Mahendra menatap Angel tajam, namun tak langsung menarik lengannya. Angel melangkah lebih dekat, mempersempit jarak di antara mereka. “Dia hanya ingin kamu menyembuhkan adiknya yang sekarat,” lanjut Angel. “Setelah itu, apa yang dia lakukan untukmu? Tidak ada, Mahendra. Bahkan adik tirimu, Reza—bisa menjual semua aset warisan ayahmu, dan dia … wanita yang kau bela itu, bahkan tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya.” “Cukup, Angel.” Mahendra menegakkan badan. Suaranya terdengar tegas. “Tunggu dulu,” Angel menarik napas dalam. “Apa dia pernah membantu mengungkap pengkhianata

  • Dokter Jenius Milik Ratu Mafia   Bab 30

    "Bisa kita bertemu? Kudengar, kamu sedang tersandung masalah hukum. Mungkin, aku bisa memberimu solusi. Tanpa syarat apa pun." Mahendra mengernyitkan dahinya saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Angel terlihat disana. Meski sebenarnya Mahendra malas menanggapinya, tapi, rasa penasaran akan maksud gadis itu membuat Mahendra membuka aplikasi berlogo hijau itu. Matanya menyipit saat membaca pesan itu. Tangannya bergerak, jari-jarinya mengetik jawaban tanpa berpikir panjang: "Di kafe Pemuda. Besok jam 9 pagi." Tak lama, di tempat lain, Angel tersenyum menyeringai saat membaca balasan itu. Duduk di depan meja riasnya, dia menatap bayangannya di cermin. “Akan aku pastikan, kamu menjadi milikku, Mahendra,” bisiknya penuh kemenangan. “Fadia takkan bisa memberimu apa-apa, selain cinta bodoh dan air mata. Sedangkan aku? Aku punya segalanya.” --- Esok paginya, pukul 09.00 di Kafe Pemuda Mahendra datang dengan setelan kasual abu-abu, wajahnya letih namun tetap tampak tegas. Angel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status