"Aaarrgh!" Mahendra terbangun sambil memegang kepalanya yang terasa sakit.
Mata Mahendra terbuka, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Lelaki itu mengira, dirinya sudah berada di alam baka. "Dimana aku? Apakah aku sudah mati?" lirih Mahendra sambil melihat sekeliling. Mahendra langsung terduduk saat sadar, ternyata dia masih berada di rumah sakit. Tepatnya di ruang kerjanya. Lelaki itu melihat tubuhnya. Tidak ada luka bakar. Lalu dia memegang kepalanya, tak ada darah yang mengalir. Tubuhnya... masih utuh. "Ini tidak mungkin! seharusnya aku mati dalam ledakan itu! Aku masih ingat dengan jelas kecelakaan itu!" Mahendra pun melihat kalender yang ada di meja kerjanya "!6 Juni 2024...." Tubuh Mahendra bergetar hebat. "Ohh tidak! Ini... ini satu tahun sebelum aku kecelakaan. Itu artinya... Aku kembali ke masa lalu…?! Aku hidup lagi?!" Mahendra pun panik. Dia langsung berlari keluar seolah tak percaya dengan keadaan ini. Dia melihat perawat asistennya sedang berdiri di mejanya sambil memeriksa data pasien. "Dok, apa sudah bisa dimulai?" tanya Reni, perawat itu. Tubuh Mahendra menegang. Reni bisa melihatnya, itu artinya, dia masih hidup. Dia belum mati. Dia bukan hantu. "Dok?" ulang Reni saat melihat Mahendra hanya terbengong melihatnya. "Ah iya Reni. 15 menit lagi ya!" Mahendra pun akhirnya kembali ke dalam. Lelaki itu terpaku di kursinya. Napasnya memburu, telapak tangannya basah oleh keringat yang mengucur deras. Bayangan mobilnya yang melaju tanpa kendali kembali terngiang dalam pikirannya. Rem mobil yang blong. Suara dentuman keras. Ledakan itu. Tubuhnya yang terbakar. Mahendra memejamkan mata kuat-kuat. “Itu seperti nyata… sangat nyata,” gumamnya lirih. Namun belum selesai ia mencerna semuanya, tiba-tiba suara panik terdengar dari arah pintu masuk UGD “Pasien baru masuk! Sesak napas! Keluhan nyeri dada!” teriak salah satu perawat sambil mendorong ranjang pasien yang tergolek lemas. Mahendra menoleh cepat. Seorang lelaki paruh baya, wajahnya pucat, dadanya naik-turun tak beraturan. Tangannya mencengkeram kuat bagian kiri dadanya. Matanya nyaris terpejam. Namun, sebelum ada yang bertindak, suara asing tiba-tiba terdengar di telinga Mahendra—seolah suara itu berasal dari dalam kepalanya. “Penderita mengalami gagal jantung. Segera lakukan tes darah, EKG, lalu CT scan dan MRI scan jantung. Mahendra menegang seketila. Suara itu… siapa? Tapi tidak ada waktu untuk berpikir panjang. Teriakan Reni dari luar untuk menyuruhnya ke UGD membuat lelaki itu menggerakkan kakinya dengan cepat. Tanpa ragu, Mahendra melangkah ke tengah ruangan UGD dan mengambil alih. “Ayu, pastikan pasien berada dalam kondisi aman,” katanya cepat, tegas. Perawat bernama Ayu, yang berdiri kebingungan, langsung tersentak. “Dok… kita belum—” “Lakukan RJP!” potong Mahendra. “Kompresi dada, kecepatan 100 sampai 120 kali per menit, kedalaman lima hingga enam sentimeter! Jika napasnya belum kembali, bantu dengan ventilasi manual. Siapkan AED!” Reni ternganga. “Dok, kita belum sempat periksa. Kami belum tahu pasti diagnosisnya...." Mahendra menatapnya tajam. “Percayakan padaku. Ini gagal jantung. Cepat lakukan sekarang sebelum kita kehilangannya!” Suara Mahendra begitu meyakinkan. Meski ragu, Ayu segera mengikuti perintahnya. Ia memanggil perawat lain untuk membantu memasang ventilasi dan AED. Sementara itu, Mahendra sendiri mulai memompa dada pasien dengan presisi sempurna. Satu… dua… tiga… kompresi dilakukan dengan ritme mantap. AED disiapkan. Dalam hitungan detik, alat itu berbunyi. “Lakukan RJP. Menjauh dari pasien.” “Semua mundur,” perintah Mahendra. Beep! Tubuh pasien terangkat sedikit saat alat itu menempel di dada pasien. Beberapa detik yang menegangkan berlalu. Lalu… monitor jantung menunjukkan garis bergelombang! “Detak jantungnya kembali, Dok!” seru Reni, wajahnya diliputi keterkejutan. Mahendra menarik napas. Tangannya masih di udara. “Segera bawa pasien ke ruang observasi. Lakukan CT scan dan MRI jantung seperti yang saya katakan.” Ayu menatap Mahendra dengan mata membulat. “Dok… Anda belum memeriksanya. Bahkan kami belum sempat mencatat tensi atau EKG. Bagaimana Anda bisa tahu?” Mahendra menatap lurus ke depan. “Aku hanya tahu… tapi aku tak bisa menjelaskan bagaimana.” Ayu mengangguk pelan. “Tapi... Anda menyelamatkannya. Itu yang terpenting.” Mahendra menoleh, menatap pasien yang kini mulai siuman, lalu kembali memandangi tangannya sendiri. “Apa yang sebenarnya terjadi padaku…?” gumamnya lirih. Reni pun menerangkan apa yang terjadi pada pasiennya saat lelaki itu membuka matanya. Lelaki paruh baya itu pun mengangguk pada Mahendra sebagai tanda terima kasih. Mahendra pun pergi setelah memastikan pasien itu dalam keadaan aman. Mahendra kembali menatap kedua tangannya. Tak percaya dengan apa yang dilakukannya barusan. "Aku seperti mendapat kekuatan supranatural!" --- Rumah Sakit Grand Central. Di basement gedung itu, sebuah ruangan forensik tertutup rapat, hanya beberapa orang kepercayaan yang diizinkan masuk. Di dalam, seorang wanita berbalut jas dokter putih tengah berdiri di depan meja autopsi. Parasnya sangat cantik. Kulit putih putih seperti porselen, hidungnya mungil, tetapi matanya tajam kecoklatan. Namun, siapa pun yang mengenalnya tahu, di balik keindahan itu tersirat kekejaman yang mengerikan. "Bagaimana hasilnya?" tanyanya dengan suara lembut namun dingin. Pria setengah baya di sebelahnya—Emir, tangan kanan Fadia—menunduk sopan. "Organ jantung dan ginjalnya sangat baik, Nona. Kematian dinyatakan sebagai gagal jantung mendadak, seperti yang diatur. Pihak keluarga sudah diberi kompensasi." "Bagus. Pastikan pengirimannya malam ini. Klien di Dubai sudah menunggu," ujar Fadia dengan datar. "Siap, Nona," jawab Emir. Fadia berbalik menatap bayangannya di kaca besar ruangan. Wajah malaikat yang sering menipu banyak orang. Di balik profesinya sebagai Dr. Fadia Al Zahra, dokter forensik jenius, ia adalah penguasa Black Mamba, jaringan mafia perdagangan organ manusia terbesar di Asia Tenggara. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Emir, yang merupakan kaki tangan Fadia. "Nona, saya baru mendapat informasi penting soal dokter Dewa Mahendra." Alis Fadia sedikit terangkat. Nama yang familiar. Mahendra. Pewaris Mahendra Group. Dokter muda yang baru saja selamat dari kecelakaan tragis. Dengan gerakan halus, Fadia membalas: "Apa pentingnya bagiku?" Pesan balasan dari Emir muncul beberapa detik kemudian. "Kemungkinan... dia bisa menyembuhkan adik Anda, Fayra." Jantung Fadia berdetak cepat. Matanya langsung menajam. "Beberapa dokter internal rumah sakit mengatakan Mahendra menunjukkan kemampuan medis yang aneh. Dia bisa mendiagnosis penyakit langka secara instan. Bahkan operasi darurat yang mustahil dia selesaikan dalam hitungan menit," lanjut Emir "Benarkah?" gumam Fadia pelan. Sejenak ia membisu, pikirannya bekerja cepat. Selama ini, puluhan dokter spesialis tak bisa berbuat banyak untuk Fayra, adik kandungnya yang mengidap penyakit langka. Sekarang, muncul harapan baru. "Siapkan semua data tentang Mahendra," perintahnya tegas. "Baik, Nona." Fadia tersenyum tipis, sangat tipis, hampir seperti tidak tersenyum. "Jika dia benar-benar memiliki kemampuan itu... maka aku akan pastikan dia jadi milikku, dengan cara apa pun."Ruangan ICU yang tadi penuh dengan tegang kini perlahan mereda. Setelah kejut jantung berkali-kali tak membuahkan hasil, Mahendra nekat menyuntikkan dosis kedua dari ramuan yang ia racik sendiri. Tangannya masih gemetar ketika jarum menembus selang infus.“Ini yang terakhir, Nyonya… kalau kau tidak kembali juga, aku tak akan pernah memaafkan diriku,” bisik Mahendra dengan suara bergetar.Beberapa menit terasa seperti jam. Monitor yang semula menunjukkan garis lurus tiba-tiba berbunyi beep… beep… beep. Detak jantung Sofia kembali terpantau, lambat namun stabil.“Dia kembali!” perawat berteriak dengan lega.Mahendra langsung menunduk, air matanya tumpah deras. “Terima kasih… Tuhan… dia kembali.”Kelopak mata Sofia bergerak pelan. Nafasnya membaik. Meski belum sepenuhnya sadar, wajahnya terlihat jauh lebih tenang daripada sebelumnya.“Obat ini… berhasil,” gumam Mahendra, nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.---Beberapa hari kemudian, Sofia benar-benar sadar. Tubuhnya memang masi
Laboratorium kecil di rumah sakit itu dipenuhi aroma tajam dari bahan-bahan herbal yang Mahendra kumpulkan dari hutan. Di meja, alat medis modern bercampur dengan botol kaca berisi cairan berwarna hijau tua, akar kering, dan serbuk tumbukan tanaman.Mahendra berdiri dengan wajah tegang. Tangannya bergetar saat mencampur ekstrak tumbuhan itu dengan obat herbal lain yamg bisa mendukung pwngobatan Sofia.."Harus berhasil kali ini ... aku tidak boleh gagal lagi," gumamnya lirih.Fadia masuk, membawa segelas air. “Mahen, kamu belum istirahat sama sekali sejak tadi malam. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan merawat Nyonya Sofia?”Mahendra menoleh sekilas, matanya memerah. “Aku tidak bisa berhenti, Fadia. Obat pertama justru membuat kondisi Sofia semakin parah. Kalau aku menyerah sekarang, dia bisa—” suaranya tercekat. “Aku tidak akan biarkan itu terjadi.”Fadia mendesah, namun tidak melarang lagi. Dia hanya menatap suaminya yang begitu keras kepala.Beberapa jam kemudian, racikan itu se
Mahendra menatap cairan bening dalam tabung kecil itu. Jemarinya gemetar saat memegang pipet, seakan beban dunia bertumpu di tangannya. Obat hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan kini siap diuji. Tapi bukan di pasien lain—melainkan langsung pada Sofia, wanita yang sangat perhatian padanya meski tak ada hubungan apapun diantara keduanya.“Ini terlalu berisiko, Nyonya,” ucap Mahendra dengan suara berat, matanya tak lepas dari tabung kaca itu. “Saya belum menguji efek sampingnya, belum tahu dosis pastinya.”Sofia duduk tegak di kursi rodanya, sorot matanya begitu tenang. Dia menggeleng pelan. “Jangan buang waktu, Mahendra. Penyakit ini tak akan memberiku kesempatan hidup lebih lama. Kalau aku menunggu kamu menguji pada pasien lainnya, mungkin besok aku sudah tak bisa lagi berbicara denganmu.”Mahendra memejamkan mata, lalu mendesah panjang. “Tapi reputasi saya … kalau ini gagal, nama saya benar-benar akan hancur. Semua kerja keras saya selama ini tak akan ada artinya.”Sofia terseny
Mahendra duduk termenung di ruang kerjanya. Laptop di depannya masih terbuka, namun pikirannya jauh melayang ke arah wanita tua yang akhir-akhir ini terlalu sering mengatur dan memperhatikannya—Sofia.Sudah beberapa hari ia meminta anak buahnya mencari informasi tentang wanita itu. Namun hasilnya nihil. Yang mereka temukan hanya hal-hal umum: Sofia adalah seorang janda, ditinggal mati oleh suaminya bertahun-tahun lalu. Pekerjaannya sederhana, kadang menyanyi di sebuah konser amal, kadang juga ikut kegiatan sosial di lingkungannya. Tidak ada catatan mencurigakan, tidak ada masa lalu yang bisa menjelaskan kenapa ia begitu melekat padanya.Mahendra mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. "Aneh," gumamnya lirih. "Kalau hanya seorang janda biasa, kenapa pedulinya berlebihan sekali?"Pikirannya kacau. Setiap kali ia sakit atau terluka, Sofia selalu berada di sana. Bahkan kadang lebih duluan dari Fadia. Perhatian itu terasa hangat, tapi sekaligus menimbulkan rasa curiga.Sore itu, ketika Sofi
Kedatangan Fadia bukannya membawa kebahagiaan bagi Mahendra, dengan hadirnya Fadia, justru membuatnya pusing kepala karena kedua wanita itu terus saja berseteru. Di sisi kiri, Fadia dengan gesit menyiapkan kotak makanan yang dibawanya, sementara di sisi kanan, Sofia tak mau kalah, menatap Fadia dengan tatapan yang menusuk.“Sayang, aku belikan bubur kesukaanmu,” ujar Fadia lembut sambil membuka wadah makanan. Tangannya sigap menyendok bubur itu ke sendok kecil. “Ayo, aku suapin, biar cepat pulih.”Namun sebelum sendok itu sampai ke bibir Mahendra, Sofia mendesah keras, tangannya yang gemetar meraih lengan anaknya. “Nak, jangan asal makan. Ibu sudah bawakan sup ayam hangat yang lebih bergizi dari bubur instan itu.” Tatapan Sofia bergeser pada Fadia, penuh sindiran. “Apalagi kalau dibuat asal-asalan, bagaimana bisa menyembuhkan?”Fadia menahan senyum, berusaha tetap tenang meski hatinya sudah mendidih. “Bu, saya tahu apa yang terbaik untuk suami saya. Dokter juga sudah bilang bubur ini
"Nyonya, Tuan Mahendra saat ini ada di rumah sakit daerah," lapor anak buah Fadia pada majikannya. Fadia yang saat itu tengah fokus mengotopsi mayat langsung mendongakkan kepalanya. "Rumah sakit daerah? Kenapa?" "Sepertinya, beliau mengalami kecelakaan saat mengambil obat untuk salah satu pasiennya. Dan sekarang dirawat disana," jawab sang anak buah. Fadia segera menghentikan kegiatannya kemudian pergi menuju ke rumah sakit daerah. Sesampainya di sana, wanita itu sedikit berlari menuju ke ruang perawatan Mahendra. Rasa panik bercampur cemas yang mendera sejak ia menerima kabar suaminya dirawat, membuatnya tak sabar ingin segera melihat keadaan sang suami. Namun, langkahnya mendadak terhenti begitu pintu terbuka lebar. Mahendra dengan wajahnya yang masih lebam dan penuh perban tampak duduk bersandar di ranjang. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya dengan rambut sebagian beruban sedang menyuapkan bubur ke mulutnya. Wanita itu duduk di kursi roda, tubuhnya terlihat rapuh, tapi t