Setelah memastikan Heru telah membohonginya, Anya pun meminta Luna untuk menyelidiki semuanya.
Tak percaya, namun itu yang terjadi. Lelaki yang sangat ia percaya kini telah mengkhianatinya. Ia rela meninggalkan rumah, keluarganya, dari kehidupan yang mewah untuk ikut bersama suaminya hidup pas-pasan dan sekarang Anya harus menerima balasan seperti ini dari kesetiaannya selama ini. Tentunya, ia tidak akan tinggal diam.Sepulang dari rumah sakit, Anya bertemu dengan Luna di cafe."Kamu menemukan bukti apa? Secepat itukah?" tanya Anya tak percayalah"Kamu meragukan kemampuanku?" Luna melotot."Bukan begitu maksudku, jelaskan apa saja yang kamu tahu." Anya tak sabarLuna mengeluarkan map yang dibawakannya."Namanya Silvia, dia anak yatim piatu yang datang dari kampung. Dia tinggal di Jakarta sekitar satu tahun yang lalu dan tinggal dikontrakkan kecil." Luna menjeda ucapannya."Terus.""Dia kenal dengan Heru 4 bulan yang lalu, mereka sama-sama bekerja di perusahaan tempat Heru bekerja. Hanya saja Silvia ini hanya cleaning servis dan sekarang dia sudah resign dari perusahaan itu, karena kabarnya dua punya pacar orang kaya."Anya menghela napas, "Apa lagi yang kamu tahu tentangnya?"Luna berpikir sejenak, ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya."Luna, ada yang kamu tutupin dari aku ya?""Bukan begitu Anya, tapi aku bingung, soalnya ini berat buat kamu.""Luna, kamu harus yakin kalau aku kuat, walaupun sekarang kamu nutupin dari aku, suatu saat semuanya pasti akan terbongkar juga." Anya berusaha menyakinkan Luna, ia tahu Luna sangat menyayanginya.Mereka sudah bersahabat dari SMP, kemanapun selalu bersama bahkan saat Anya menikah dan ikut bersama Heru. Ibunya Anya menitipkan Anya pada Luna, ia ingin tahu semua informasi tentang putrinya."Baiklah, Heru membeli sebuah rumah di perumahan elit untuk wanita itu dan sekarang mereka sedang merencanakan pernikahan."Anya terduduk lesu, kabar itu sungguh menyesakkan dadanya.Anya tak habis pikir, suaminya yang sangat ia cintai mampu berkhianat, membagi cinta dengan wanita yang jauh dibawanya.'Ya Tuhan, apa kurangnya diriku? Aku bahkan tidak perna lalai dalam menjalankan tugasku sebagai seorang istri.'Tanpa menunggu persetujuannya air mata pun terjatuh, bagaimanapun rasa sakit itu ada, sejauh ini yang ia lihat suaminya tak berubah, masih sama dengan Heru yang ia kenal.Heru sangat bisa menyembunyikan semua kebohongannya. Sikap perhatian dan kasih sayangnya selama ini ternyata hanyalah topeng untuk menutupi keburukan sikapnya.Melihat situasi ini, Luna langsung memeluk Anya, "Kamu yang sabar ya Anya, aku akan selalu ada untukmu. Jangan tangisi laki-laki b*jat seperti Heru, karena air matamu terlalu berharga."Anya membenarkan ucapan Luna, Karena tidak ada yang perlu ia tangisi, Heru sudah terbukti selingkuh dibelakangnya dan itu artinya Heru tidak tulus lagi mencintainya.Anya menyeka air matanya, "Aku harus pulang sekarang Luna, karena nggak sengaja tadi malam aku melihat gerak-gerik mas Heru mencurigakan. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu di lemarinya bagian bawah."***"Sayang, kok lama?" tanya seorang wanita yang berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Heru."Maaf Sayang, tadi urusan kantor sangat banyak." Heru berbohong, ia tidak mungkin mengatakan kalau pulang dari rumah sakit bersama istrinya.Kebohongan terus Heru gunakan, dari rumah sakit ia berpamitan kepada Anya langsung ke kantor dan tenyata tidak, dia datang kerumah Silvia yang dibelikan olehnya."Aku kangen," Silvia mengerucutkan bibirnyaCup, sebuah kecupan mendarat di bibirnya"Iya aku juga udah kangen banget, makanya aku datang." Heru mencolek hidung mancung Silvia.Mereka pun masuk kedalam dan duduk di sofa."Bagaimana, kamu suka rumahnya?""Kan sudah ku bilang tadi lewat pesan, aku sangat nyaman berada di rumah ini. Emangnya kamu nggak baca?""Oh, ya?" Heru merogoh ponsel didalam sakunya, melihat pesan yang dikirimkan oleh Silvia."Baguslah, kalau kamu menyukainya Sayang." Heru mengelus lembut pipi Silvia."Iya Sayang, aku sangat menyukainya. Terimakasih ya." Silvia bergelayut manja."Sayang, kamu memang sangat pandai memancingku." Heru pun langsung membopong tubuh Silvia, membawanya masuk ke dalam kamar.Selesai melakukan aktivitas layaknya suami istri, sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta itu, kini berpelukan di atas tempat tidur."Sayang," ucap Silvia sambil mengelus-elus dada bidang Heru."Hmm, kenapa, Sayang.""Kapan kita nikah?""Kamu yang sabar ya, kita pasti akan menikah." Heru mengusap rambut Silvia."Aku mau tahu kapan, aku juga tidak ingin ada istrimu itu." Rengek Silvia."Iya Sayang, kita akan menikah setelah kamu hamil dan saat kamu sudah melahirkan, aku akan ceraikan Anya. Karena semua itu akan memudahkan urusannya.""Itu terlalu lama, Sayang." Silvia memasang wajah cemberut."Aku juga nggak mungkin menceraikan Anya terlalu cepat dan tanpa ada alasan yang kuat.""Kenapa memangnya? Kamu masih menyayanginya?""Bukan begitu Sayang, karena bagaimanapun dia yang menemaniku dari nol, tidak punya apa-apa hingga sekarang ini. Kamu percaya aja kita akan menikah setelah kamu hamil.""Tapi janji nggak akan bohong kan?""Tentu, karena sekarang aku sudah punya segalanya." Heru tersenyum bangga. Seakan ia lupa dari mana asal hartanya.'Aku harus secepatnya hamil, bagaimanapun caranya. Aku sudah sangat bosan berdamai dengan keadaan, hidup dalam kesusahan. Aku juga ingin merasakan menjadi orang kaya. Akan ku singkirkan kamu Anya! Agar aku bisa menjadi satu-satunya dihati mas Heru." Bisiknya Silvia dalam hati sambil tersenyum jahat."Anya mas mohon, beri mas kesempatan lagi. Mas janji akan nurut sama kamu."Belum sempat Anya menjawab, yang ditunggu pun akhirnya tiba. Sepupu Anya datang membawa orang-orang dari pihak kepolisian. Dengan bukti-bukti yang kuat, Heru dinyatakan bersalah."Sayang, kamu tidak mungkin melakukan itu kan."Anya tak menghiraukan ucapan lelaki yang kini sudah menjadi mantan suaminya itu.Heru pun langsung dibawa, dengan sangat terpaksa ia harus menurut. dia tidak punya tanaga dan kuasa untuk melawan.Heru menyesali semua kebodohannya, demi ambisi dia menghancurkan semuanya. Seharusnya ia bersyukur dan berterima kasih derajatnya telah dinaikkan oleh mertuanya. Juga ada istri yang selalu setia dan menghormatinya. Tetapi kini semuanya hanya menjadi kenangan belaka. Nasi telah menjadi bubur.Anya adalah manusia biasa yang juga memiliki perasaan, ia tidak memasukkan Silvia ke penjara karena Silvia sedang hamil."Apalagi yang kamu tunggu? Cepat tinggalkan rumahku.""Tidak, aku tidak mau pergi dar
"Hey, cepat bangun. Jangan pada lemes gitu. Ini belum selesai, masih ada lagi hadiah spesial untuk kalian. Yuk." Luna menarik paksa tangan Silvia.Semuanya pun ikut keluar dan lagi-lagi Heru di buat bingung oleh Anya. Karena di depan sudah banyak tetangga kompleks yang berdatangan. Tak hanya itu, di depan juga sudah berdiri rapi sebuah kain putih lebar. Lebih tepatnya layar tancap."Ternyata dia pelakor." Tetangga mulai membicarakannya"Pantas aja selama ini hidupnya mewah.""Iya, ngaku-ngaku orang kaya, eh ternyata."Silvia mencoba menahan malu, karena selama ini ia merasa sangat bangga dengan apa yang dia miliki."Wow, sepertinya kita akan nonton nih, serasa di bioskop aja," ujar Rianty."Iya Mbak, bahkan ini lebih seru daripada nonton di bioskop," jawab Anya."Anya, jelaskan apa-apaan ini? Kok ada beginian?" tanya Heru tak mengerti."Diam saja kamu disitu, ini adalah kejutan spesial untuk kalian.""Bisa diputar sekarang Pak," titah Anya pada laki-laki yang telah siap dari tadi.Set
"Anya plis ...." Heru menggeleng kepalanya agar Anya tidak memberitahu kebenarannya pada Silvia."Ternyata benar, wawasanmu hanya selebar selangkangan, Silvia. Seharusnya kamu mencari tahu dulu siapa sebenarnya mangsamu sebelum kau menaklukkannya. Agar kami tidak merasa dirugikan dikemudian hari.""Jelas mas Heru orang kaya, kamunya aja yang sok berkuasa," celetuk Silvia."Mas Heru sama sepertimu. Benalu! Manusia yang bisanya hanya menumpang hidup dirumah mertua. Jika bukan aku yang meminta, dia tidak akan perna merasakan empuknya kursi direktur. Kamu pikir dia siapa tanpa keluarga Wijaya. Hah," jelas Anya lantang.Terlihat jelas raut wajah Silvia berubah."Kenapa kamu? Keget?" tanya Anya. Berusaha untuk menahan tawanya."Jelaslah dia kaget, Heru bukan siapa-siapa tanpa keluargamu." Luna menimpali sambil berkutat terus dengan ponselnya."Nggak kalian bohong. Perusahaan itu milik mas Heru!" Silvia tetap kekeuh."Bodoh, itu adalah perusahaan cabang milik keluarga kami dan aku yang memin
"Bagaimana suamiku dan maduku, sudah percaya?" tanya Anya menatap sekilas Silvia yang masih terpaku."Jadi bagaimana honeymoon kalian, Menyenangkan bukan?" tanya Anya sambil mengulum senyumnya."Jadi selama ini kamu memata-matai kami.""Bukan mematai, lebih tepatnya mengumpulkan bukti untuk menghancurkan kalian berdua dan sedikit bermain-main.'Dengan bersusah payah Heru berusaha berdiri," Sayang. Maafin mas, ini semua salah paham, mas khilaf.""Mas!" Bentak Silvia protes.Anya pun tertawa dibuat-buat, "Khilaf? Aduh Mas, jangan samakan aku dengan wanita bodoh ini yang bisa dikelabui olehmu. Khilaf itu cuma sekali bukan berulang kali dan lihatlah gundikmu protes tidak terima," ujar Anya disambut dengan tatapan tak suka dari Silvia."Aku bukan wanita bodoh," sergah Silvia."Terus? Apa aku harus mengatakan dengan jelas kalau kamu itu wanita murahan?""Aku bukan wanita murahan, brengsek!"Bagai api yang disiram bensin, amarah Anya langsung mengkilat. Dicengkeramnya wajah Silvia dengan kua
"Jika kalian bukan keluarga mas Heru, sebenarnya kalian siapa? Mengapa mengeroyok kami di rumah kami sendiri. Kalian akan ku adukan ke polisi." Ancam Silvia."Wow, silahkan saja namun sebelum itu terjadi maka kalianlah yang lebih dahulu merasakan dinginnya tidur dalam penjara. Atau kamu ingin merasakan bagaimana melahirkan dalam jeruji besi? Hah," ucap Rianty tersenyum sinis.Heru benar-benar kaget, Rianty yang terkenal sangat lemah lembut bisa bersikap seperti monster yang mengerikan."Lepaskan istriku, jangan sakiti dia. Ini semua salahku," ucap Heru lirih. Dia tak berdaya untuk menolong Silvia."Diam lo brengsek!" Angga memberi satu bogem lagi untuk Heru.Keadaan Heru saat ini sangat mengenaskan, wajah tampan yang ia banggakan kini lebam dan penuh luka. Angga tidak ada sedikit pun rasa kasihan nya, malah itu saja belum cukup untuk membalas sakit hati adik tercintanya."Kamu ingin melindungi sampah ini kan, sama seperti kami yang juga akan melindungi permata kami dari manusia biadab
Sedangkan Silvia kebingungan sendiri."Siapa dia?" tanya Silvia heran. Orang asing keluar dari rumahnya.'Honeymoon? Apa mereka tahu, tamatlah riwayatku,' batin Heru ketakutan."Ayo masuk, kalian pasti lelah bukan habis jalan-jalan jauh. Mama sudah masak makanan enak dan banyak untuk menyambut kalian." Matanya yang memandang tajam tadi kini melembut begitu pun tutur katanya.Silvia terpesona melihat sosok Angga, matanya sampai tak berkedip."Dia lebih tampan dari mas Heru, gagah lagi," batinnya. Tanpa sadar dia mengigit bibir bawahnya. Menjijikkan.Heru terpaku dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kakak iparnya menyambutnya? Seharusnya dia marah.Heru dan Silvia mengikuti langkah Angga memasuki kediaman Silvia. Semua telah berkumpul dan menyambut mereka dengan ramah."Wah menantu mama sudah pulang. Bagaimana perasaan kalian Sayang? Apakah menyenangkan.""Menyenangkan Ma." Bukan Heru yang menjawab tetapi Silvia dengan senyuman yang manisnya."Ayo kita langsung keruang makan, mam
"Nol lagi!" teriak keduanya bersamaan.Kerongkongan Heru terasa tercekat, menatap nanar pada layar. Uang yang sudah bertahun-tahun dikumpulkan kini hilang tampa bekas.Napas Silvia memburu, tak menyangka kesialan akan menimpanya hari ini.Tanpa menunggu lama lagi, Heru merogoh benda pipi di saku celananya untuk menghubungi istrinya.Tersambung, tetapi tidak di angkat."Sial!" Teriak Heru, lalu mencoba lagi tanpa menyerah."Lihat, ini semua pasti ulahnya. Siapa coba yang bisa melakukan semuanya kecuali dia." Silvia menambah keruh suasana hati Heru."Ini istri kemana lagi, nggak tahu apa suaminya sedang kesusahan." Celoteh Heru tak menghiraukan Silvia."Hallo." Suara lemah lembut terdengar dari ujung telepon, Heru langsung mengisyaratkan agar Silvia tak bersuara."Kemana aja sih, kok lama banget angkat telponnya?""Ponselnya tersilent Mas, jadi aku nggak tahu kalau ada panggilan masuk. Aku juga sedang dirumah mama, kumpul keluarga, soalnya ada keluarga Om Randi juga.""Kumpul keluarga?
Pagi ini Heru bangun seperti biasa. Dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku. Semalam dia pulang dari rumah Silvia sudah sangat larut malam karena ia membantu packing barang bawaan Silvia agar tidak terlalu lelah, mengingat dia sedang hamil.Mendapati Anya sudah tidak ada lagi di atas ranjang, bukanlah hal yang di herankan pasti ia sudah berkutat di dapur.Mengingat tujuannya hari ini, Heru bergegas menuju ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri lantas ia menurunkan koper yang ada di atas lemari memasukkan beberapa pakaian yang akan dia kenakan di Bali nanti dan tak lupa surat penting turut dibawanya, karena usahanya tidak mudah untuk mendapatkannya."Loh, kamu mau kemana mas?" tanya Anya saat ia memasuki kamar, terlihat suaminya sudah sangat rapi."Mau pergi!" Ucapnya datar."Kemana?"Cerewet banget, mau keluar kota urusan pekerjaan."Anya terkejut, tak biasanya sang suami ketus begitu, "Setahuku, tidak ada urusan kantor yang mengharuskan ke luar kota Mas.""Sudahlah Anya, aku
"Sayang," ucap Heru setelah pintu dibuka oleh Silvia.Silvia hanya diam, mundur beberapa langkah saat Heru ingin memeluknya. Walau bagaimanapun ia tetap merasa sakit hati sama Heru."Sayang aku minta maaf." Heru memohon, Silvia hanya terdiam membisu."Aku mohon marahi aku Sayang, jangan kau diami aku seperti ini." Heru merasa sangat bersalah melihat Silvia tetap terdiam, ditambah dengan seisi rumah yang terlihat hancur.Heru hendak memegang tangan Silvia namun dengan cepat ditepis kasar oleh Silvia."Sudah puas kamu mempermainkan perasaanku?" Silvia buka suara."Semua bukan keinginanku, percayalah semua ku lakukan demi kita.""Demi kita? Selama di luar kota kamu bahkan tidak menghubungiku, setelah pulang dari sana kamu berjanji akan kemari dan liontin yang kamu janjikan untukku pun tak sampai ke tanganku. Kamu pembohong. Apa yang kamu lakukan bukan buat kita tapi buat wanita jalang itu!" teriak Silvia meluapkan kemarahannya yang telah berhari-hari ia pendam.Sebuah tamparan mendarat d