Dito Andreas Dharmasyah keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk di atas betis. Aku menyesal melihatnya seperti itu, ia menjadi titik kulminasi pencapaian seksual ku selama ini.
"Beib, kedip dong!" serunya dengan lantang.
Ah, aku menunduk dan menelengkan kepalaku. Harusnya aku sudah biasa melihatnya seperti ini. Segar, basah sekaligus menggoda.
"Kenapa?" Dito menangkup wajahku yang tersipu malu.
"Biasa! Hanya satu yang kurang dengan hubungan kita." Aku tersenyum masam.
Dito yang paham dengan maksudku, langsung mencium keningku lembut.
"Sabar, Anna! Biarkan aku berpakaian dulu."
***
Aku menggoyangkan lengan Dito. Laki-laki ini pasti paham dengan wajahku yang pias dan takut. Bu Susanti tidak pernah menyukaiku sementara putranya begitu memujaku. Keadaan ini benar-benar memusingkan kepala. Aku gamang.
Dito mengulum senyum, tangannya menggandengku sebelum masuk ke dalam rumah orang tuanya.
Aku gelisah, kerap kali aku mendapati tatapan sinis dari ibunya. Kadang pula aku juga di kira hanya memanfaatkan Dito.
Namun tidak begitu, aku mencintai Dito dengan segenap hatiku. Aku rela memenuhi keinginannya, hasratnya dan obsesinya. Hanya saja memang ada yang kurang dariku. Attitudeku sudah rusak di mata 'calon' mertua ku akibat ciuman panas di kursi tamu saat 'kami kira' rumah ini sepi. Dulu."Itu udah lama, Anna. Mama udah lupa!" Dito menginterupsi. Aku menatapnya dalam sebelum membuang napas panjang.
"Tapi sampai kapan, Dit?"
Aku menginginkan pernikahan. Sangat. Bukan karena aku sudah bobrok karena ulah kenakalan kami berdua. Namun aku benar-benar menginginkan pernikahan sekali seumur hidup bersama Dito untuk menjalani hubungan ini dengan tenang.
"Sampai aku bisa meyakinkan mama, Anna!" Dito mencium pelipisku seraya tersenyum maklum. "It's oke, Beib. Ada aku yang menjagamu!"
Aku memanyunkan bibir. Itu omong kosong belaka. Dito berlebihan, ia bahkan terlihat skeptis saat mengucapkannya. Mana ada anak ngelawan ibunya sendiri untuk mendapatkan restu darinya? Yang ada ia akan menjadi anak durhaka!
"Dito... Udah pulang?"
Suara itu. Aku melepas tanganku dan menggigit pipi bagian dalamku untuk menahan rasa gugup yang menjalari tubuhku. Mungkin Dito benar, aku hanya perlu bersikap tidak pernah terjadi apa-apa. Bersikap tenang dan melupakan kejadian waktu itu. Tapi belum juga aku mengatur mimik wajahku dengan baik. Dito menjauhiku untuk mencium punggung tangan ibunya. Ingin sekali aku berharap ia membisikkan kata-kata yang membuatku tenang. Seperti, 'Percayalah padaku, Anna. Semua baik-baik saja."
Aku bergeming sesaat dengan kening yang mengerut sebelum mendekati Bu Susanti.
"Sore, Tante." Aku tersenyum ramah seraya mengecup punggung tangannya.
"Sore!" balasnya ketus dengan buru-buru menarik tangannya.
Aku menghirup napas dalam-dalam saat kecanggungan menguar.
Ku tatap Dito yang menatapku sendu. Berapa kali aku bertanya pada dirinya dan diriku sendiri, apa aku benar-benar tidak memiliki restu dari ibunya? Kenapa Dito slalu saja menganggap ini baik-baik saja.
Dito bilang, "Hanya perlu waktu, Anna! Mama akan merestui kita. Sabar." Begitu terus sampai aku seperti pengemis cinta.
"Darimana saja kalian berdua?" tanya Bu Susanti setalah kami masuk ke dalam rumah.
Aku terkesiap seraya tersenyum tipis. Dito seringkali menghilang saat aku dan Bu Susanti bertemu membuatku resah. Ingin duduk tapi belum diizinkan, ingin basa-basi namun juga pemilik rumah tak acuh.
"Dari kos-kosan, Tante." jawabku jujur, setengah gemetar. Aku tidak pandai berbohong, kalau pun berbohong citraku semakin buruk dan takutnya tidak sinkron dengan pernyataan Dito nanti.
Bu Susanti membuang wajah dan berdecak kesal. Raut wajahnya semakin terlihat angker.
"Kos-kostan terus! Kalian gak malu kalau sampai di grebek warga? Memalukan keluarga besar saya kalau ini sampai terjadi!" sergah bu Susanti, beliau membuang napas kasar dengan kentara seraya menyilangkan kakinya dengan gaya angkuh.
"Mama gak suka Dito sering tidur di kosmu! Mau jadi apa anakku kalau kerjaannya cuma kumpul kebo bareng kamu!" imbuhnya lagi galak.
Aku menyamankan diri di kursi yang empuk namun terasa tidak nyaman. Tenggorokanku terasa perih saat menjawab ucapan sarkasme dari Bu Susanti. "Restui saya untuk mendampingi Dito, Tante!" kataku demikian skeptis. Lagipula itukan hanya ketakutan Bu Susanti karena putranya sering mengunjungiku dan menikah adalah jawaban yang tepat untuk masalah ini, pikirku kemudian.
Sejurus kemudian Bu Susanti langsung berdiri, memandangku dengan tatapan mencemooh. Aku menelan salivaku yang terasa bergetah dengan susah.
"Sampai kapanpun hubungan kalian tidak akan pernah mendapat restu dari saya. Kamu tahu alasannya, Anna! Kamu tidak pantas menjadi istri Dito." Bu Susanti menudingku.
Aku menggelengkan kepala searah beranjak untuk mendekati Bu Susanti. Ku raih tangannya dengan pandangan memohon.
Bu Susanti terperangah, nyaris menarik tangannya dengan paksa jika aku tak mengenggamnya dengan erat.
"Kami berdua sudah melakukan hubungan suami-istri, Tante! Jadi saya mohon restui saya dengan Dito untuk menikah."
Mulut Bu Susanti menganga begitu dramatis. Tubuhku langsung terhempas ke atas lantai saat bu Susanti mendorongku dengan murka.
Aku menjerit sakit. Jeritan itu membuat Dito menghampiri kami dengan pandangan bertanya.
Bu Susanti membungkuk dan menudingku dengan jijik sekaligus marah. Beliau menelengkan kepala untuk menatap Dito yang masih terkejut.
"Kalau kamu masih mau mama anggap sebagai anak, kamu putusin Anna, Dit! Mama gak sudi punya mantu murahan seperti dia! Kamu juga, mama jijik sama kelakuanmu!" Bu Susanti berdecih seolah ingin meludahiku.
PRANG!
Aku menjerit histeris. Bu Susanti memecah satu jambangan kristal. Pecahan kaca itu tak ubahnya seperti hati kami bertiga. Hancur.
"Mama cukup!" teriak Dito, ia berjongkok untuk membersihkan pecahan kaca di kakiku.
Semua tubuhku terasa sakit sekali, bertambah lagi saat tamparan keras mendarat di pipiku dan Dito secara bergantian.
Aku terisak, aku takut, aku bingung harus berlari kepada siapa setelah ini. Hanya Dito yang aku miliki sekarang, sementara ia juga frustasi.
"Antar aku pulang, Dit!"
Dito memegang kedua bahu dan meremasnya. "Kamu ngomong apa sama mama? Kenapa mama begitu marah sama kamu, bahkan aku, Anna?" tanyanya dengan kesabaran yang menipis.
Dito mengguncang bahuku sesaat sebelum aku mendongakkan kepala.
"Aku bilang kita sudah berhubungan seks. Aku bilang seperti itu agar ibumu merestuiku, tapi nyatanya tidak. Aku semakin di perlakukan seperti orang rendahan!" kataku dengan berani diiringi cucuran air mata yang terus berlinang di wajahku.
Aku lelah. Sangat. Apalagi jika hubungan ini hanya terus seperti ini. Dengan sadar aku hanya akan membuang-buang waktu suburku atau jodohku yang menunggu di lain tempat. Aku tidak mau semua itu lewat begitu saja karena penantian restu dan apalah itu namanya.
Dito menggeram kesal, ia menarik tanganku dengan kasar seraya mendorongku ke dalam mobil.
"Gegabah!" makinya.
Dito menutup pintu mobil dengan kencang, membuatku semakin gemetar ketakutan.
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me