Aku terus terisak saat Dito memakiku dengan kata-kata kasar di dalam mobil.
Dia bukan Dito yang ku kenal. Bukan pula ini yang harus ia lakukan, ia hanya perlu menenangkan diri ku sebentar agar aku bisa tenang. Dito dengan ringannya malah membuatku semakin sadar bahwa ini semua percuma.Kepalaku dipenuhi riuh yang begitu ribut. Amarahku menyalak begitu saja saat Dito masih saja mencibirku bahwa aku orang yang tidak sabaran. Aku memaki diri ku sendiri dalam hati untuk memberanikan diri mengatakan unek-unekku selama berhubungan dengannya."Terus mau sampai kapan hubungan kita akan seperti ini? Sampai aku tua, dan kamu akan meninggalkanku saat sariku sudah habis?" kataku sambil menusuk-nusuk dadanya. "Apa kamu gak mikirin aku, mikirin kondisiku! Setiap hari kamu menjejaliku dengan semua keinginanmu. Apa kamu hanya akan terus begini dengan obsesimu sendiri , Dit!" Dito membuang muka, seakan tak acuh denganku."Lihat aku, Dit! Lihat aku! Betapapun aku mengharapkan pernikahan bersamamu, aku yakin kamu tetap tidak mengindahkan keinginanku! Kamu, tetap akan begini. Menaruh aku dalam kesalahan yang kamu buat!" cercaku tanpa ampun. Emosiku meluap, ku pukul dasbor seraya bersedekap.Sunyi sampai indekost, aku keluar dengan buru-buru untuk menghindari Dito.Dito menahan tanganku seraya memelukku dengan tiba-tiba. "Maaf, Beib! Maaf." katanya sambil mengusap punggungku dengan pelan. Aku bergeming, tanganku sama sekali tidak membalas pelukannya seperti biasa. "Pulang! Aku gak mau kamu di sini dan ibumu terus menganggapku racun yang merusakmu!" kataku dingin. Dito menangkup wajahku seraya mengusap air mata. Mimik wajahnya penuh sesal."Aku gak bermaksud untuk menyakitimu, meragukanmu, atau hal-hal lain yang membuatmu terluka karena sikap mama, Anna Aku hanya butuh waktu untuk melunakkan mama. Bukan seperti yang kamu lakukan tadi, itu bukan menyelesaikan masalah tapi menambah semuanya jadi rumit!" Dito membuang napas panjang seraya mengusap wajahnya. "Sampai kapan?" tanyaku. Ku tatap mata Dito yang memantulkan diriku. Diriku yang benar-benar kacau. Dito mencondongkan wajahnya, ia menempelkan keningnya dengan mata terpejam. Napasnya hangat, tapi tak seperti biasanya. Ada senggalan napas yang tertahan saat ia mencium bibirku lembut. Satu kecupan membasahi bibirku yang kelu sebelum ia merapikan rambutku. "Beri aku waktu!" katanya. Klise. *** Aku meringkuk sedih sambil melirik tangan yang melingkari pinggangku. Menghangatkan tapi terasa menyiksa."Anna, aku tahu kamu belum tidur!" tukas Dito.Aku berdehem. Dito memilih tidak pulang dan menemaniku malam ini. Dia khawatir dengan kondisiku, tapi aku lebih khawatir kalau-kalau ibunya datang dan membuat keributan di sini. Aku lebih khawatir itu akan terjadi ketimbang meratapi nasibku sendiri. "Aku gak bisa tidur!" jawabku, "sampai kapan juga kamu akan memelukku seperti ini? Kamu tidak bosan?" sindirku, jujur aku engap. Semakin engap saat Dito mengetatkan pelukannya. Lalu berbisik ditelingaku. "Sampai kamu benar-benar tidur dalam pelukanku!" Aku mengembuskan napas. "Kalau aku minta kamu buat ke apotek dan membelikan obat tidur, apa kamu bisa melakukannya Beib?" tanyaku sengaja, menguji Dito apakah ia masih segila itu dalam memenuhi keinginanku setelah kejadian tadi siang. Well, jika iya. Mungkin Dito memang merasa benar-benar bersalah atas kejadian tadi. Tapi jika tidak. Ya, mungkin ini sudah terlalu malam untuk keluar kamar. "Kamu masih memikirkan masalah tadi, Anna? Maafkan mama." bisiknya seraya menindih kakiku dengan kakinya yang berotot. Tidak terlalu berotot seperti pemain bola, namun cukup kuat jika menendangku sekarang. "Aku hanya perlu kepastian, Dit! Aku juga ingin menyebarkan undangan pernikahan. Tidak hanya datang ke kondangan, ngasih sumbangan. Aku ingin timbal balik!" balasku seraya tersenyum kecut."Kamu terlalu jujur dan innocent, walau gak benar-benar polos!" cibir Dito seraya menguap."Dan kamu menyukainya." Dito berdehem.***Aku mengerjap-ngerjap saat Dito mencubit hidungku, meniupnya pelan dengan aroma pasta gigi yang terasa segar."Bangun, Anna. Sudah pagi."Aku menegakkan tubuh dengan malas. Dito yang memilih tidur lebih awal sudah mandi dan terlihat rapi dengan setelan necis jas kantoran. Namun tetap saja aku merasa ada was-was. Bu Susanti pasti tidak akan tinggal diam melihat hubungan kami berdua. Bisa jadi akan ada marabahaya, dan celakanya lagi marabahaya itu pasti hanya akan berimbas pada keadaanku. Dito pergi dan aku sendiri. Aku menoleh. Dito meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu mengecup bahuku. "Pagi, Dito." ucapku."Pagi, Beib." balasnya sambil menyisir rambut. Aku menguap sebelum mendekatinya lebih dekat."Aku mandi dulu, kita berangkat bareng!" kataku dengan nada serakk khas orang bangun tidur."Sarapan dulu, vitaminnya juga diminum!"Aku mengangguk. Kerap kali aku pikir Dito ini adalah dokter spesialis ahli gizi, karena setiap hari setiap saat yang ia ingatkan hanyalah makan yang banyak dan minum vitaminnya. Tapi ia lupa, tidak menyarankan aku untuk olahraga karena hidup adalah men sana in corpore sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.Ku pegang tangannya untuk mengisi sela-sela jemarinya dengan jari-jariku. "Kamu juga." balasku.Dito mengecup bahuku lagi seraya memelukku lebih erat."Nanti aku pulang ke rumah. Andaikan aku tidak datang ke sini atau menjemputmu kerja, jangan marah. Aku perlu menjinakkan mama, tidak bisa satu hari atau dua harian!" Sudah kuduga. Tidak ada anak yang berani melawan wanita yang melahirkannya, bahkan jika ada pilihan besar yang harus ia pilih, mungkin Dito benar-benar tidak memilihku. Aku mengangguk. "Kabari aku sebisamu!" balasku seraya mandi--- meski dalam benakku aku mengharapkan dia datang ke kamarku malam nanti.Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me