Share

Bab 3

Aku terus terisak saat Dito memakiku dengan kata-kata kasar di dalam mobil.

Dia bukan Dito yang ku kenal. Bukan pula ini yang harus ia lakukan, ia hanya perlu menenangkan diri ku sebentar agar aku bisa tenang. Dito dengan ringannya malah membuatku semakin sadar bahwa ini semua percuma.

Kepalaku dipenuhi riuh yang begitu ribut. Amarahku menyalak begitu saja saat Dito masih saja mencibirku bahwa aku orang yang tidak sabaran. 

Aku memaki diri ku sendiri dalam hati untuk memberanikan diri mengatakan unek-unekku selama berhubungan dengannya.

"Terus mau sampai kapan hubungan kita akan seperti ini? Sampai aku tua, dan kamu akan meninggalkanku saat sariku sudah habis?" kataku sambil menusuk-nusuk dadanya. 

"Apa kamu gak mikirin aku, mikirin kondisiku! Setiap hari kamu menjejaliku dengan semua keinginanmu. Apa kamu hanya akan terus begini dengan obsesimu sendiri , Dit!" 

Dito membuang muka, seakan tak acuh denganku.

"Lihat aku, Dit! Lihat aku! Betapapun aku mengharapkan pernikahan bersamamu, aku yakin kamu tetap tidak mengindahkan keinginanku! Kamu, tetap akan begini. Menaruh aku dalam kesalahan yang kamu buat!" cercaku tanpa ampun. Emosiku meluap, ku pukul dasbor seraya bersedekap.

Sunyi sampai indekost, aku keluar dengan buru-buru untuk menghindari Dito.

Dito menahan tanganku seraya memelukku dengan tiba-tiba. "Maaf, Beib! Maaf." katanya sambil mengusap punggungku dengan pelan. 

Aku bergeming, tanganku sama sekali tidak membalas pelukannya seperti biasa. 

"Pulang! Aku gak mau kamu di sini dan ibumu terus menganggapku racun yang merusakmu!" kataku dingin. 

Dito menangkup wajahku seraya mengusap air mata. Mimik wajahnya penuh sesal.

"Aku gak bermaksud untuk menyakitimu, meragukanmu, atau hal-hal lain yang membuatmu terluka karena sikap mama, Anna Aku hanya butuh waktu untuk melunakkan mama. Bukan seperti yang kamu lakukan tadi, itu bukan menyelesaikan masalah tapi menambah semuanya jadi rumit!" Dito membuang napas panjang seraya mengusap wajahnya. 

"Sampai kapan?" tanyaku. Ku tatap mata Dito yang memantulkan diriku. Diriku yang benar-benar kacau. 

Dito mencondongkan wajahnya, ia menempelkan keningnya dengan mata terpejam. Napasnya hangat, tapi tak seperti biasanya. Ada senggalan napas yang tertahan saat ia mencium bibirku lembut. Satu kecupan membasahi bibirku yang kelu sebelum ia merapikan rambutku. 

"Beri aku waktu!" katanya. Klise. 

*** 

Aku meringkuk sedih sambil melirik tangan yang melingkari pinggangku. Menghangatkan tapi terasa menyiksa.

"Anna, aku tahu kamu belum tidur!" tukas Dito.

Aku berdehem. Dito memilih tidak pulang dan menemaniku malam ini. Dia khawatir dengan kondisiku, tapi aku lebih khawatir kalau-kalau ibunya datang dan membuat keributan di sini. Aku lebih khawatir itu akan terjadi ketimbang meratapi nasibku sendiri. 

"Aku gak bisa tidur!" jawabku, "sampai kapan juga kamu akan memelukku seperti ini? Kamu tidak bosan?" sindirku, jujur aku engap. Semakin engap saat Dito mengetatkan pelukannya. Lalu berbisik ditelingaku. "Sampai kamu benar-benar tidur dalam pelukanku!" 

Aku mengembuskan napas. "Kalau aku minta kamu buat ke apotek dan membelikan obat tidur, apa kamu bisa melakukannya Beib?" tanyaku sengaja, menguji Dito apakah ia masih segila itu dalam memenuhi keinginanku setelah kejadian tadi siang. Well, jika iya. Mungkin Dito memang merasa benar-benar bersalah atas kejadian tadi. Tapi jika tidak. Ya, mungkin ini sudah terlalu malam untuk keluar kamar. 

"Kamu masih memikirkan masalah tadi, Anna? Maafkan mama." bisiknya seraya menindih kakiku dengan kakinya yang berotot. Tidak terlalu berotot seperti pemain bola, namun cukup kuat jika menendangku sekarang. 

"Aku hanya perlu kepastian, Dit! Aku juga ingin menyebarkan undangan pernikahan. Tidak hanya datang ke kondangan, ngasih sumbangan. Aku ingin timbal balik!" balasku seraya tersenyum kecut.

"Kamu terlalu jujur dan innocent, walau gak benar-benar polos!" cibir Dito seraya menguap.

"Dan kamu menyukainya."  Dito berdehem.

***

Aku mengerjap-ngerjap saat Dito mencubit hidungku, meniupnya pelan dengan aroma pasta gigi yang terasa segar.

"Bangun, Anna. Sudah pagi."

Aku menegakkan tubuh dengan malas. Dito yang memilih tidur lebih awal sudah mandi dan terlihat rapi dengan setelan necis jas kantoran. Namun tetap saja aku merasa ada was-was. Bu Susanti pasti tidak akan tinggal diam melihat hubungan kami berdua. Bisa jadi akan ada marabahaya, dan celakanya lagi marabahaya itu pasti hanya akan berimbas pada keadaanku. Dito pergi dan aku sendiri. 

Aku menoleh. Dito meregangkan otot-otot tubuhnya, lalu mengecup bahuku. "Pagi, Dito." ucapku.

"Pagi, Beib." balasnya sambil menyisir rambut. Aku menguap sebelum mendekatinya lebih dekat.

"Aku mandi dulu, kita berangkat bareng!" kataku dengan nada serakk khas orang bangun tidur.

"Sarapan dulu, vitaminnya juga diminum!"

Aku mengangguk. Kerap kali aku pikir Dito ini adalah dokter spesialis ahli gizi, karena setiap hari setiap saat yang ia ingatkan hanyalah makan yang banyak dan minum vitaminnya. Tapi ia lupa, tidak menyarankan aku untuk olahraga karena hidup adalah men sana in corpore sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Ku pegang tangannya untuk mengisi sela-sela jemarinya dengan jari-jariku. "Kamu juga." balasku.

Dito mengecup bahuku lagi seraya memelukku lebih erat.

"Nanti aku pulang ke rumah. Andaikan aku tidak datang ke sini atau menjemputmu kerja, jangan marah. Aku perlu menjinakkan mama, tidak bisa satu hari atau dua harian!" 

Sudah kuduga. Tidak ada anak yang berani melawan wanita yang melahirkannya, bahkan jika ada pilihan besar yang harus ia pilih, mungkin Dito benar-benar tidak memilihku. 

Aku mengangguk. "Kabari aku sebisamu!" balasku seraya mandi--- meski dalam benakku aku mengharapkan dia datang ke kamarku malam nanti.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Yuni Riana
Nungguin keputusan dito jadi deg deg an
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
palingan ujung nya manut aja kata mama
goodnovel comment avatar
Rangga Dewi
aku kog ragu juga sama dito
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status