Malam menggantung berat di atas Batavia, menyelimuti kota dengan kabut asin dari laut dan bisikan rahasia yang menari di antara kanal-kanal tua. Pelabuhan Sunda Kalapa, yang dulu menjadi nadi perdagangan rempah-rempah, kini menjadi panggung bayangan bagi transaksi gelap dan persekongkolan yang tak terucapkan. Di balik gudang-gudang tua yang berlumut dan tiang-tiang kapal yang berderit, kehidupan malam berdenyut dalam irama yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup di sisi gelap kota.
Satrio berdiri di balik tumpukan peti kayu yang ditinggalkan, matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik di dermaga. Bayangan tubuhnya menyatu dengan kegelapan, napasnya ditahan, dan telinganya menangkap setiap bisikan angin yang membawa aroma garam dan rahasia. Ia telah mengikuti jejak langkah Sekar, wanita yang telah mengisi pikirannya dengan teka-teki dan perasaan yang tak terdefinisikan, hingga ke tempat ini.
Jantung Satrio berdegup kencang, telinganya dipenuhi suara raungan badai di luar dan detak jantungnya sendiri yang memekakkan. Ia melihat Sekar, matanya penuh luka dan beban, namun juga keyakinan yang menggetarkan. Lalu ia melihat musuh di depannya, simbol penguasa yang menindas, yang dulu dia percaya sebagai penjaga ketertiban.Di detik itu, waktu terasa melambat, seolah semesta menahan napas menunggu jawabannya. Ia tahu bahwa keputusannya akan menentukan segalanya, bukan hanya nasib Sekar, tetapi juga arah hidupnya, masa depannya, dan mungkin… seluruh kota Batavia.Sebelum Satrio bisa membuka mulut, sebuah suara lain—serak, dalam, namun penuh luka lama—memotong keheningan. Dari bayangan belakang sosok militer itu, seorang pria tua muncul, langkahnya pincang, wajahnya penuh bekas luka, rambutnya memutih namun matanya... mata itu sama dengan mata Satrio, pantulan dari masa l
Malam menggantung berat di atas Batavia, menyelimuti kota dengan kabut asin dari laut dan bisikan rahasia yang menari di antara kanal-kanal tua. Pelabuhan Sunda Kalapa, yang dulu menjadi nadi perdagangan rempah-rempah, kini menjadi panggung bayangan bagi transaksi gelap dan persekongkolan yang tak terucapkan. Di balik gudang-gudang tua yang berlumut dan tiang-tiang kapal yang berderit, kehidupan malam berdenyut dalam irama yang hanya dimengerti oleh mereka yang hidup di sisi gelap kota.Satrio berdiri di balik tumpukan peti kayu yang ditinggalkan, matanya tajam mengamati setiap gerak-gerik di dermaga. Bayangan tubuhnya menyatu dengan kegelapan, napasnya ditahan, dan telinganya menangkap setiap bisikan angin yang membawa aroma garam dan rahasia. Ia telah mengikuti jejak langkah Sekar, wanita yang telah mengisi pikirannya dengan teka-teki dan perasaan yang tak terdefinisikan, hingga ke tempat ini.
Kusumo menghela napas berat, lalu membuka bagian dalam jasnya. Di sana, terjepit di antara lipatan kain, ada sebuah buku catatan tua dengan kulit lusuh, berlumuran noda yang sudah mengering. Ia menyerahkannya pada Satrio, yang meraihnya dengan tangan gemetar. Saat membuka halaman pertama, matanya langsung membelalak: di sana, tergores dengan tinta merah, tertulis sebuah nama besar—Keluarga Wiranegara. Dan di bawahnya, sebuah diagram yang rumit, garis-garis yang menghubungkan nama-nama besar, termasuk nama ibunya, Nyai Rahayu, dan... namanya sendiri.“Ini... ini tidak mungkin...” desis Satrio, matanya melebar, tubuhnya mulai berguncang hebat.Sebelum Kusumo sempat menjawab, suara dentuman keras menghantam pintu besi di belakang mereka, menggema di seluruh ruangan seperti palu penghakiman. Pintu itu bergetar, engselnya mencicit menjerit, dan Kusumo langsung
Satrio memeluk Sekar lebih erat, tetapi matanya tak bisa berpaling dari sosok itu. Suatu naluri purba di dalam dirinya memberontak, berteriak bahwa makhluk ini bukan sekadar musuh biasa—ia adalah eksekutor dari skenario yang selama ini tersembunyi di balik layar dunia. Getaran tubuhnya bukan hanya karena takut, tapi karena kemarahan yang terpendam, karena segala kehilangan yang menuntut balas.Sosok itu akhirnya berbicara. Suaranya berat, penuh gema logam yang bergesek, dingin dan menyesakkan. “Sudah cukup pertunjukannya. Sekarang... waktunya menuai hasil dari permainan ini.” Kata-katanya bagaikan kabar kematian yang telah lama ditunda, penuh kepastian dan tanpa belas kasihan.Kusumo yang kini bersandar di dinding dengan darah mengalir dari pelipisnya, berusaha bangkit. Ia menatap siluet itu dengan sorot mata yang mencampur ketakutan dan kebencian mendalam. &ldquo
Satrio terdiam, jantungnya berhenti sejenak, matanya membelalak, menatap ke arah atap sebuah gedung tua di ujung lorong. Di sana, di bawah kilat yang menyambar, sesosok siluet berdiri, tubuhnya tinggi, berselimut mantel panjang yang berkibar di tengah badai, dan di tangannya, sebuah senapan laras panjang masih berasap.Sosok itu menoleh, hanya sebentar, namun cukup bagi Satrio untuk melihatnya. Wajah yang tersembunyi di balik topeng setengah, mata yang dingin, dan tatapan yang menembus kabut malam. Sebelum Satrio sempat memproses apa yang terjadi, sosok itu sudah menghilang ke kegelapan, meninggalkan Satrio tertegun dalam kebingungan yang lebih dalam dari sebelumnya.Dan di dadanya, Sekar masih terbaring lemah, napasnya nyaris tak terdengar, sementara di kejauhan, suara langkah kaki lain mulai bergerak—tanda bahwa permainan ini belum berakhir, dan kebenaran yang lebih kelam m
Malam itu, Batavia seakan menahan napasnya. Langit kelabu menggantung rendah, menyelimuti kota dengan kabut tipis yang menyesakkan. Satrio berdiri di ambang pintu rumah tua peninggalan keluarganya, tubuhnya kaku, matanya menatap kosong ke arah halaman yang basah oleh hujan. Di tangannya, sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang mulai mengelupas tergenggam erat. Buku itu milik ayahnya, Kusumo Adiningrat, yang baru saja ia temukan tersembunyi di balik lantai kayu yang berderit.Ia melangkah masuk ke dalam rumah, setiap langkahnya menimbulkan suara berderak yang menggema di antara dinding-dinding yang mulai lapuk. Di ruang tengah, ia menyalakan lampu minyak yang tergantung di langit-langit, cahayanya yang redup menari-nari di permukaan dinding, menciptakan bayangan yang bergerak seperti hantu masa lalu. Satrio duduk di kursi kayu yang berderit, membuka buku catatan itu dengan hati-hati. Halaman-halaman yang mengu