Di antara bayangan pepohonan, Sekar berdiri terpaku, wajahnya pucat dan air matanya mengalir tak tertahankan. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya gemetar, bisikan di hatinya memekik seperti bisikan setan, “Maafkan aku, Citra… aku harus memperbaiki ini… aku harus menghentikan semua ini… sebelum dunia terbakar…” Tangannya mengepal erat, jemarinya menancap ke telapak hingga berdarah, dan matanya menyala oleh tekad yang membara, “Rangga… aku akan menuntutmu…”
Tiba-tiba, bumi di bawah kaki mereka berguncang. Tanah bergetar hebat, retakan-retakan kecil menjalar cepat, bercahaya merah seperti urat-urat panas yang meledak dari dalam bumi. Angin memekik, mengguncang pohon-pohon hingga akar-akarnya mencuat, dedaunan beterbangan liar di udara. Petir menghantam, cahayanya menelanjangi dunia, memperlihatkan sejenak wajah-wajah yang diliputi ketakutan.
Atmosfer di atas Batavia menyala merah, seolah membara oleh bara dendam yang tak bisa dipadamkan. Asap tebal membumbung ke langit, menciptakan kabut yang membuat setiap napas terasa seperti menghirup serpihan api. Tanah retak, bangunan runtuh, dan darah membasahi jalanan. Di tengah kobaran api, suara jeritan manusia bercampur dengan dentang baja dan desau angin panas yang mendesis seperti bisikan neraka. Dunia seolah terbelah di hadapan Satrio, jiwanya terombang-ambing di antara amarah dan keputusasaan.Satrio terhuyung, tubuhnya bergetar hebat, matanya merah memancarkan keputusasaan yang membara, wajahnya penuh debu, luka, dan keringat yang bercampur dengan darah. Nafasnya terengah-engah, dada naik turun liar, setiap hembusan seperti dipaksa melewati pisau-pisau tajam yang menghujam paru-parunya. Tubuhnya terasa berat, seperti diseret oleh kekuatan gelap yang menahan langkahnya. Ia melihat ke sekeliling—puing-p
Satrio berdiri di persimpangan, tubuhnya terkunci oleh kekuatan tak kasat mata, matanya terpaku pada Rangga, pria tua itu, dan dunia yang hancur di sekelilingnya. Suara dalam itu—berat, gelap, menusuk seperti paku panas yang menembus tulang—bergema di pikirannya, “Pilihlah, Satrio… dunia sedang menunggu jawabanmu… atau darah semua yang kau cintai akan membanjiri bumi.”Tangannya terangkat perlahan, jari-jarinya gemetar, terbuka, seolah hendak menyentuh langit yang runtuh di atasnya, tubuhnya seperti ditarik oleh gravitasi yang lebih kuat, yang menariknya ke dalam pusaran gelap yang tak bisa ia hindari. Suara-suara dari masa lalu menggedor pikirannya: teriakan Citra yang memecah malam, desah napas Sekar yang tercabik oleh rasa sakit, amarah Tan Ming yang membakar udara—semuanya menyatu menjadi simfoni kesedihan yang menusuk, seperti cambuk besi yang menghantam jiwanya. Dunia
Satrio mengangguk perlahan, rahangnya mengeras, sorot matanya berubah menjadi bara yang membara, bukan lagi hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang telah dikorbankan di medan pertempuran ini. Tangannya mengepal, darah yang mengering di sela jari meleleh kembali, bercampur dengan keringat. “Kita akan keluar. Kita akan mengakhiri ini,” gumamnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, tapi getaran tekadnya menusuk hingga ke tulang, menggema seperti bisikan api yang membakar dunia. Kata-kata itu bukan sekadar janji; itu adalah ikrar seorang pejuang yang telah kehilangan segalanya dan hanya memiliki satu hal tersisa: bertahan, melawan, dan mengakhiri semua ini dengan darah jika perlu.Sementara itu, di balik tembok yang runtuh, Sekar muncul seperti bayangan kelam yang lahir dari kobaran api, matanya menyala dengan cahaya yang bukan hanya kemarahan, tapi juga dendam yang mendidih, menciptakan aura panas yan
Langit di atas Kota Tua memerah oleh kobaran api dan asap mesiu yang menggantung pekat di udara. Jerit pertempuran memekik, denting baja beradu dengan dentuman senjata, menciptakan simfoni kekacauan yang menelan suara manusia. Jalanan dipenuhi bayangan-bayangan bergerak cepat—pasukan Rangga menerobos barikade, menyerbu dengan sorak sorai liar, sementara tentara VOC terpencar, mundur dengan wajah pucat dan darah membekas di dinding-dinding benteng tua. Bau kematian menyelimuti udara, memukul hidung dengan getir, dan di langit, burung-burung hitam beterbangan liar, seolah menari di atas dunia yang runtuh.Di jantung Benteng VOC, Satrio terperangkap di dalam ruang bawah tanah, napasnya memburu, tubuhnya berdebu dan basah oleh keringat dan darah. Suara ledakan bergema dari atas, mengguncang langit-langit batu yang retak. Debu berjatuhan, menciptakan kabut kelabu yang menyesakkan. Bau mesiu terbakar menusuk hidung, d
Satrio terhuyung, tubuhnya gemetar hebat, mulutnya terbuka tanpa suara, matanya membelalak seolah menyaksikan mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam pikirannya, bayangan-bayangan berkelebat liar—Citra yang terbaring lemah dengan mata kosong, Sekar yang berteriak dalam kegelapan, dan wajahnya sendiri, pecah, terbelah, menghilang dalam pusaran api merah. Tan Ming mengguncang Satrio keras, suaranya penuh teriakan dan luka, “Satrio! Jangan biarkan dirimu terseret! Kau harus tetap sadar! Dengarkan aku!”Namun Satrio seperti dihipnotis, matanya terpaku pada mata anak itu yang menyala seperti bara. Anak itu mendekat, langkahnya kecil namun setiap jejak menciptakan riak di tanah, suaranya semakin dingin, menusuk, “Pilihlah… siapa yang akan menjadi tumbal… siapa yang akan kau selamatkan… dan siapa yang akan kau biarkan terbakar bersama dunia ini…”
Di antara bayangan pepohonan, Sekar berdiri terpaku, wajahnya pucat dan air matanya mengalir tak tertahankan. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya gemetar, bisikan di hatinya memekik seperti bisikan setan, “Maafkan aku, Citra… aku harus memperbaiki ini… aku harus menghentikan semua ini… sebelum dunia terbakar…”Tangannya mengepal erat, jemarinya menancap ke telapak hingga berdarah, dan matanya menyala oleh tekad yang membara, “Rangga… aku akan menuntutmu…”Tiba-tiba, bumi di bawah kaki mereka berguncang. Tanah bergetar hebat, retakan-retakan kecil menjalar cepat, bercahaya merah seperti urat-urat panas yang meledak dari dalam bumi. Angin memekik, mengguncang pohon-pohon hingga akar-akarnya mencuat, dedaunan beterbangan liar di udara. Petir menghantam, cahayanya menelanjangi dunia, memperlihatkan sejenak wajah-wajah