Kening Azham mengerut saat melihat Melisa menatap keluar jendela dengan tatapan tidak biasa. Nafas Melisa juga tidak seperti biasa, ia terlihat seperti orang sesak nafas. Wajah Melisa sudah pucat. Matanya berkaca-kaca, membuat Azham panik. “Melisa, ada apa?” tanya Azham seraya menyentuh pundak gadis itu, tapi Melisa sama sekali tidak bergeming. Tatapannya lurus ke depan dengan tatapan seperti orang yang sangat ketakutan. Tubuh Melisa bergetar, dan Azham baru menyadarinya saat menyentuh pundak istrinya itu. Azham lalu mencoba menarik Melisa menghadapnya. “Hei, kamu kenapa? Ada apa, huh?” Azham mencoba untuk membuat Melisa tersadar, tapi gadis itu malah menangis dengan tubuhnya bergetar hebat. Azham sungguh cemas dibuatnya. Melisa menangis seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Azham mencoba membuka tangan Melisa dari wajahnya dengan terus bertanya ada apa. Akan tetapi, Melisa sama sekali tidak menjawab pertanyaan Azham, dan hanya mengatakan. “Ini tidak mungkin. Tidak mung
Melisa sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah Melisa merengek pada Azham untuk dibawa pergi dari rumah sakit. Meski harus mengeluarkan jurus jitu, Melisa juga mengalami sedikit kendala dalam membujuk Azham. Sebab, Azham bukan orang yang mudah untuk dibujuk. Namun pada akhirnya, Azham pun luluh, tidak tega melihat Melisa yang gerus menangis. Dan terlebih Azham sedang melindungi kesehatan telinganya, mendengar suara teriakan dan rengekan Melisa yang menyakitkan telinga. “Tuan, maaf. Kita akan ke—““Kita cari hotel lain, Aji.” Azham segera menyela saat tahu apa yang akan dikatakan Aji sang sopir. “Baik, Tuan.”Melisa melirik Azham yang memandang ke depan dengan tampang favoritnya. Datar. Melisa mendesah lega saat Azham memilih untuk tidak kembali pada hotel tersebut. Kalau tidak, Melisa pastikan kalau dirinya akan berakhir di rumah sakit lagi. Melisa kemudian kembali menatap keluar jendela, ia tidak menyangka akhirnya ia kembali ke tempat yang telah membuatnya trauma begit
Leon sudah membawa Zera ke ruangan di mana Zera di rawat. Leon membantu membaringkan Zera dengan mengangkat kakak ke atas ranjang rumah sakit. Zera masih dengan raut wajahnya yang datar. Leon menghela nafas kasar. Dia kemudian duduk di kursi di samping tempat tidur Zera. “Leon,” panggil Zera pelan tanpa melirik Leon. “Ya, Kak. Ada apa, apa Kakak membutuhkan sesuatu?” tanya Leon menghampirinya. “Bisa kamu tinggalkan Kakak di sini sendirian?” “Tapi, Kak—““Please, Kakak mohon, Leon.” Leon mengusap wajahnya kasar, lantas dia pun mengangguk mengiyakan. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti keinginan Zera saat ini. Tidak ada juga gunanya untuk melawannya, yang ada Zera akan semakin terguncang. “Baiklah, Kak. Tapi kalau ada sesuatu, silahkan panggil Leon segera, ya.” “Hmm....” Hanya itu yang keluar dari mulut Zera. Leon pun pergi meninggalkan Zera sendirian di dalam kamar. Leon menutup pintu ruangan Zera seraya mendesah kasar. “Aku harus bagaimana?” gumamnya pelan. Sementara, di
POV Azham Astaga ada apa dengan Melisa, kenapa dia keluar dengan hanya memakai handuk saja? Apakah dia ingin menggodaku? Tapi kenapa? Seharusnya kalau memang dia menginginkan kami melakukan malam ini, kenapa dia tidak langsung bilang saja? Tidak perlu melakukan itu, karena aku akan langsung menyanggupinya. Ah, aduh, kenapa otakku bisa terserang virus mesum seperti ini? Aku mendorong kepalaku pelan, agar bisa menghilangkan pikiran kotor itu dari kepalaku. Ini semua karena Melisa. Kenapa juga dia tidak membawa baju ganti, coba?Aku terus saja menggerutu di dalam hati. Aku menghela nafas kasar saat kurasa dibawa ada sesuatu yang terasa sesak dan mengeras. Ah, sial, sepertinya aku harus mandi air dingin. Kemudian aku pun membuka baju dan mulai mandi. Setelah selesai, aku meraih handuk untuk mengeringkan badanku. Kuperhatikan sekitar seraya mencari-cari baju gantiku yang akan kupakai untuk tidur. Aku menepuk keningku pelan, aku baru ingat kalau aku lupa membawanya. Semua itu karena Meli
POV MELISA Kuayunkan langkahku lebih cepat, aku kesal pada Pak Azham. Bisa-bisanya dia begitu menyebalkan. Sikapnya itu tidak bisa apa ditinggal di Makassar saja dulu? Tidak usah dibawa ke Bali. Merusak suasana saja. “Melisa!” seru Pak Azham, tapi aku tidak peduli. “Tunggu aku!” teriaknya. Aku hanya menoleh dan meliriknya sekilas, lantas kembali fokus pada jalanku di depan tanpa berniat menuruti kemauannya. Aku tidak tahu sejak kapan Pak Azham mengganti panggilan Saya menjadi Aku. Apakah aku saja yang tidak memperhatikan atau Pak Azham saja yang keliru? Entahlah, tapi aku baru sadar kalau Pak Azham menyebut dirinya Aku dan bukan Saya. Resto Hotel ini berada di lantai bawa, aku lalu mencari tempat yang enak untuk makan malam. Kalau bisa, tidak usah ada Pak Azham. Agar makanku enak dan tenang. Kalau dia ada bisa dipastikan aku akan kesal saja jadinya. “Kenapa kau tidak menungguiku?” Suara itu, aku mendongak dan benar saja. Pak Azham sudah berdiri bahkan duduk di kursi yang ada di
POV MELISA Aku membuka mataku perlahan saat merasakan matahari menyilaukan mataku. Aku menyipitkan sedikit dan mulai membukanya lebar. Kubawa mataku berkeliling mengenali tempatku terbangun. “Kenapa aku ada di sini?” tanyaku bingung. Aku terbangun di dalam kamar. Berbaring di atas ranjang dengan selimut yang membungkus sebagian tubuhku. Aku bangkit duduk seraya mengernyitkan kening heran. Perasaan semalam aku tertidur di balkon saat lelah bercerita pada bintang semalam. Lalu, kenapa aku bisa ada di sini? Siapa yang memindahkanku ke kamar ini? Apakah mungkin, Pak Azham? Ah, sepertinya memang dia. Siapa lagi? Toh, hanya dia yang akan masuk ke kamar ini. Aku pun mencari-cari keberadaannya. Namun, tidak kudapati dia ada di dalam ruangan tersebut. Kuperhatikan kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. Sepertinya, Pak Azham tidak ada di sana. Tidak mungkin dia di dalam dan tidak menutup rapat pintunya.Lantas, Pak Azham di mana? Kusibak selimut tebal itu, dan turun dari ranjang seraya
POV MELISA Aku menghela napasku kasar. Entah sudah berapa kali aku melakukannya, tetapi sepertinya sudah sangat sering. Semenjak kami duduk di sini. Di tepi pantai tanpa melakukan apapun dan membahas hal penting apapun itu. Sehingga membuatku muak dan bosan saja ada di tempat ini. Aku kembali mengulanginya. Menghela napas seraya menatap jauh di depan sana. Ombak yang sedang bekejaran mendekati tepi pantai. Sungguh, suasana yang indah. Namun, tidak mampu membuat hatimu ikut indah. Pergi dan menyaksikan pemandangan indah ini bersama orang kaku, dingin dan tak memiliki ekspresi sama sekali seperti Pak Azham membuatnya sangat hambar dan tidak berarti. Andai saja aku menghabiskan hariku di dalam kamar hotel. Bersantai atau bermain ponsel. Mungkin akan sangat menyenangkan daripada harus ada di sini. “Ada apa?” tanya Pak Azham saat sekali lagi aku menghela napasku kasar. Aku melirik ke samping kearahnya. “Tidak ada,” jawabku seraya menggeleng. “Lalu?” tanyanya lagi membuatku mengangkat
Pak Azham menempelkan bibirnya di bibirku, ya. Dia menciumku. Ciuman pertamaku yang tanpa sengaja dia ambil. Aku tidak bergeming karena terkejut. Sementara dia menutup matanya seolah sedang menikmati bibirnya yang berdiam di bibirku.Tidak tahu kenapa, tapi rasanya sangat sakit. Apalagi membayangkan wajah Kevin yang cemburu karena melihat kami berciuman dengan posisi yang sangat intim ini. Mataku berkaca-kaca, dengan segala kekuatanku. Aku mendorong Pak Azham saat dia hendak menggerakkan bibirnya untuk melumat bibirku, dia terjatuh ke samping dengan wajah terkejut. Aku membuang muka tidak berani menatapnya. Mataku sudah memanas dan bersiap untuk mengeluarkan bulir bening. Pak Azham masih pada posisinya, berbaring di sampingku. “Maaf,” ujarnya pelan dan bangkit saat mungkin mendengar suaraku terisak. Ya, aku menangis. Menangis karena Pak Azham—suamiku berhasil merebut first kissku. meskipun dia suamiku, tetapi aku tidak rela dia merebutnya dariku tanpa persetujuanku.”"Aku tidak seng