Fernanda memejamkan mata, mencoba bersikap tenang. Setelah mengembuskan napas panjang untuk meredakan amarah, ia berkata nyaring.
”Hai semua.” Ia melangkah mendekati kursi dan menyambar tas yang ia bawa. ”Asal tahu saja, aku memang malu dicampakkan. Harga diriku terluka, tapi ada orang tua yang Iebih aku kuatirkan, dari pada harga diriku.” Ia menegakkan tubuh dan tertawa. ”Aku pulang dulu, bye.”
“Nanda, jangan pulangl” teriak Julia
“Nanda, please.” Anis pun ikut merengek.
“Maafkan kami, Nanda. Kami nggak ada maksud rnenghina!"
Kali ini entah siapa ia yang bicara, Fernanda tak peduli. la rnelangkah cepat menembus kerumunan menuju pintu luar kafe. Ia tertegun, saat melihat hujan deras mengguyur. Teras kafe sepi, tidak ada satu orang pun karena semua berteduh di dalam.
Fernanda menyandarkan dirinya di tiang bangunan yang terletak sedikit menyamping dan agak tersembunyi dari pandangan, karena terhalang tanaman perdu. la memejamkan mata, berusaha mengusir rasa sedih di dada. Semua perkataan mereka tentang dia dan Evan, mengusik ketenangan yang telah ia bangun dua tahun ini.
”Bukannya aku sudah bilang, nggak suka lihat kamu nangis?”
Suara Daniel yang terdengar lembut di antara curah hujan mernbuat Fernanda membuka mata. "Kenapa kamu keluar?” tanyanya parau.
Daniel bergeming, tangannya terulur untuk mengusap air mata yang terlihat dalam keremangan. Sementara curah hujan makin lama makin deras, bahkan kini memerciki mereka berdua. la tak peduli, saat ini ia merasa tersiksa, melihat bintik air mata tercetak di wajah Fernanda.
”Mau kuantar pulang? Hujan terlalu deras.”
Fernanda menggeleng. “Aku bawa mobil sendiri.” la tak mengelak saat tangan Daniel meremas pundaknya dan menyebarkan kehangatan di sana.
Daniel mengangguk, memandang intens pada wanita yang masih bersandar di tiang.
“Mereka bermaksud membelamu, hanya saja, caranya salah."
“lya, aku tahu.”
“Kalau kamu marah, harusnya membentak. Jangan lari.”
Fernanda Iagi-Iagi menggeleng. “Aku nggak punya nyali buat itu. Aku yang dulu mungkin akan bertindak seperti itu. Marah, mengamuk, dan tak peduli pada perasaan orang Iain. Sekarang, berbeda.”
”Kenapa kamu jadi tidak percaya diri begini? Ke mana perginya Fernanda yang dulu pernah kukenal?" Daniel mengulurkan tangan, meraih dagu Fernanda dan membuat wanita itu mendongak. “Hapus air matamu, nanti maskaramu luntur.”
Keduanya bertatapan, Fernanda membiarkan Daniel menghapus air matanya. Entah perasaan dari mana, ia ingin sekali mencium laki-laki itu. Tanpa aba-aba, tanpa meminta sebelumnya, ia meraih wajah Daniel dan mencium bibirnya. Tak memedulikan di mana mereka berada sekarang.
“Hei, Nanda. What’s up.” Daniel terengah, saat serbuan bibir Fernanda terasa manis di mulutnya. Ia berusaha menghindar tapi wanita itu kini bahkan mengalungkan tangan ke lehernya dan melumat bibirnya.
Hasrat Daniel naik seketika, ia meraih wajah Fernanda dan mengulum lembut bibir bawah wanita itu. Keduanya saling berangkulan erat dan berbagi kehangatan di sela guyuran hujan. Fernanda terengah, menggesekkan tubuhnva ke tubuh kekar Daniel. Gairahnya naik, dan ada banyak hasrat yang butuh untuk disalurkan. Ia kembali mengulum bibir Daniel, kini bahkan meraba seluruh tubuh laki-laki itu, dari mulai punggung, pinggul, hingga kelelakiannya.
Daniel mendesah, mendesak tubuh Fernanda hingga ke tiang dan meraba dada wanita itu. Dengan mulut mencumbu leher, tangannya turun ke bagian bawah dan menyingkap rok yang dipakai wanita itu. Fernanda mengerang, saat sentuhan lembut bermain di kewanitaannya. Tak peduli akan keadaan sekitar, ia bergerak mendekat. Membuka sedikit pahanya dan membiarkan jari lembut Daniel menyentuhnya.
”Kamu basah?” bisik Daniel parau.
”Aah, kenapa memang,” jawab Fernanda terengah.
”Aku suka."
“Lalu, bisakah kamu membuatku orgasme sekarang?”
Kalimat spontan yang diucapkan Fernanda dengan tegas dan lugas cukup mengajutkan lawan bicaranya. Kali ini, bukan hanya Mei Ling yang kaget, Daniel pun sama. Laki-laki itu memandang Fernanda dengan ekpresi tidak percaya. Seribu tanya ada di dalam isi kepalanya, namun dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk bertanya atau mendebat Fernanda.“Apa?” tanya Mei Ling sekali lagi. ”kamu mengaku-aku tunangan Daniel?"”Hah, aku memang tunangannya. Kami akan menikah bulan depan. Sudah sewajarnya kalau aku membelanya. Jangan lagi menuduhnya macam-macam!"Mei Ling mendengkus marah, memandang penuh dendam pada Daniel dan Fernanda. Lalu membalikkan tubuh tanpa mengatakan apa pun lagi.Fernanda memandang kepergian wanita itu dengan kelegaan. Tadinya, ia berpikir akan mencakar dan memukul wanita itu di sini, untunglah semua ketakutannya tak terjadi.“Nanda.”la mendongak, menatap Daniel yang tertegun."Iya, ada apa
Atmosfer tegang masih tercipta dalam ruangan itu, Ketiga anak perempuan Chen beserta suami mereka masih menatap Daniel dengan sinis. Chen mengangguk, menerima dokumen yang diulurkan padanya dan membawanya ke meja kayu. la membuka satu per satu lembaran dan tekun membaca.“Apa para kakakmu itu ada dendam padamu?” bisik Fernanda pada Daniel.“Nggak ada, kenapa?” tanya Daniel balik.“Entahlah, sikap mereka seakaan dengan senang hati akan mencincang tubuhmu jika diberi kesempatan. Terutama, Si Kurus yang sepertinya Kakak tertua.”Daniel tertawa Iirih. “Kalau begitu, kamu harus melindungiku. Karena, aku tak yakin bisa melawan mereka bertiga sendirian.”Fernanda terkikik sambil menutup mulut. Diam-diam mencuri pandang pada wanita- wnaita yang duduk di seberangnya. Mereka terlihat angkuh dan sombong. Sementara para laki-laki, hanya duduk tak peduli. la memandang tak suka pada suami Anaa, karena laki-laki itu
“Apa kamu siap?”“Apa, sih? Kayak mau diintrograsi polisi.”“Bukan memang tapi masuk tiang gantungan.”Fernanda tertawa. Meraih Iengan Daniel dan keduanya melangkah menyusuri jalan setapak menuju rumah besar di hadapan mereka. Rumah yang terasa sunyi meski ia tahu di dalam ada banyak penghuni sedang berkurnpul. Daniel memohon padanya, agar Fernanda menemani ke rumah orang tuanya. lni pertama kali baginya, menginjak rumah keluarga laki-laki itu.Setelah pembicaraan intens yang ditutup dengan dua sesi bercinta yang menggebu-gebu, keduanya sepakat untuk saling menjajaki dalam satu hubungan yang serius.“Aku nggak mungkin sesempurna Evan, tapi aku bisa pastikan kalau aku cinta sama kamu.”Fernanda menjawab lembut. “Aku bukan Renata. Aku hanya mengharap Daniel apa adanya, bukan Iaki-laki yang ingin menjadi seperti Evan.”Dengan tubuh berpeluh dan hati yang bertaut, keduanya berpel
“Ooh, begitu. Kamu menganggap aku kekanak-kanakan? Baiklah, kalau itu maumu.”Daniel merentangkan lengan, menunjuk ke arah pintu. “Silakan keluar, aku sibuk!”“Daniel, bukan begitu. Kamu salah paham.”“Bagian mana dari ucapanmu yang membuatku salah paham. Nanda,” ucap Daniel sedikit emosi. ”Kamu mengatakan aku kenak-kanakkan karena aku cemburu. Kamu nggak suka aku cemburu karena memang dari awal hubungan ita hanya sekadar sex! Baiklah, aku mengerti. Sekarang, tinggalkan aku sendiri!”Daniel berbalik, kembali menghadap meja. Mengabaikan wanita yang terlihat salah tingkah.”Aku tidak ada maksud seperti itu.” Fernanda memijat kepalanya. ”Aku mau minta maaf karena sudah membuatmu marah. Aku--,”“Aku mengerti, pergilah Nanda!” sela Daniel dingin.Fernanda mengerjap, matanya memanas. Titik air mata mulai menetes di ujung pelupuk. la merasa sakit
Malam kian larut, udara sejuk dari pendingin ruangan di kamar Fernanda membuat sesi curhat antara Mama dan anak malam itu semakin serius. Fernanda sudah menyamankan posisi setengah merebahnya dengan tumpukan bantal menopang punggungnya yang lelah. Sementara sang Mama masih setia dengan duduk di pinggir ranjang, dekat dengan posisi Fernanda berbaring.“Harusnya, kalau memang kamu nggak siap untuk menjalin hubungan serius dengan siapa pun, jauhi. Jangan clatangi dia saat kamu sedih, dan berpaling saat kamu bahagia.”“Nanda nggak berpaling, Ma. Kama hanya teman biasa.”“Jelaskan pada Daniel kalau begitu.”“Sudah, dia nggak mau dengar.”“Karena kamu melakukannya setengah hati.” Jihan mendatangi anaknya, mengelus rambut lembut milik Fernanda. "Mama ingat dulu kalian bertiga selalu bersama. Kamu, Evan, dan Daniel. Keduanya sama baik dan menawan. Tapi, dari dulu Daniel memang menunjukkan rasa cin
Kamar yang sepi, hanya terdengar dengung pelan dari pendingin ruangan. Fernanda yang baru saja pulang dari kantor, tanpa mengganti baju lebih dulu, merebahkan diri di ranjang, Menatap nanar pada langit-Iangit kamar yang dilukis bunga-bunga warna krem lembut. Ada lampu kristal kecil tergantung di tengah-tengah.Tangannya terulur ke dahi, memijat lembut di sekitar kepala. Migrain yang ia rasakan dari tadi sore tak jua sirna meski ia sudah meminum obat. Segelas Teh Camomile hangat pun sudah diteguknya hingga tandas, namun peningnya tak kunjung mereda.Benaknya berpikir cepat tentang rapat tak berkesudahan, penyelesaian cepat dari satu masalah ke masalah lain, memastikan produksi lancar, hingga memikirkan tentang Daniel.Desahan resah keluar dari mulutnya saat pikirannya tertuju pada Daniel. Laki-laki yang selama dua tahun ini selalu berada di sisinya. Dia masih tak mengerti salahnya di mana, dan kenapa Daniel begitu emosi saat melihatnya bersama Kama. Padahal, itu