Andara tampak duduk di depan ruang UGD. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan kecemasan. Sesekali dia melongok ke dalam. Berharap seorang dokter atau perawat keluar untuk memberitahunya tentang keadaan Galang saat ini.
“Sabar, Ra. Mas Galang pasti baik-baik saja kok,” ujar Anessa menenangkan sahabatnya itu. Andara menoleh dan mencoba untuk tersenyum. Walaupun bibirnya terasa kaku. “Mas Galang pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin dia pasti kuat,” lanjut Anessa. Andara lagi-lagi tersenyum. Namun, dalam hatinya dia merasa tak begitu tenang. Dia takut akan terjadi sesuatu pada Galang. “Keluarga Galang Anugerah!” panggil salah seorang perawat. Andara lantas berdiri. “Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanya Andara beruntun. Perawat itu tampak memperhatikan Andara dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memastikan lagi bahwa yang berdiri di depannya adalah benarBab 20. Kebencian Bunda Setelah kejadian mengerikan di rumah sakit tempo hari, ketika ada seseorang yang tak dikenal menyelinap masuk ke kamar Galang dan mencoba mencelakainya. Andara benar-benar tak bisa lagi mempercayakan keselamatan suaminya kepada siapa pun. Kejadian itu begitu melekat dalam ingatannya. Bunyi alat monitor yang tiba-tiba berbunyi nyaring, teriakan suster yang panik, dan Galang yang menggeliat lemah membuat Andara merasa hampir kehilangan segalanya. Sejak itu, ia memutuskan satu hal, Galang tak boleh lagi sendiri. Maka ia memutuskan membawa Galang pulang ke rumah orang tuanya. Di sana ada dirinya, ada Papa dan mamanya, dan yang terpenting, tempat itu terasa jauh lebih aman dibanding rumah mereka sendiri yang kini terasa begitu asing dan mengancam. Namun, keputusan itu justru menjadi awal dari badai baru. Pagi itu, suara langkah kaki Bunda terdengar menggema di koridor rumah orang tua Andara. Wanita paruh baya itu datang le
Andara berdiri terpaku di depan pintu bangsal. Matanya tak bisa beralih dari pemandangan yang tak ia duga: Galang, suaminya, sedang duduk di ranjang rumah sakit, tertawa kecil bersama Wulan yang duduk di sampingnya. Langkahnya yang semula yakin, kini ragu. Ia mengurungkan niat untuk masuk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, sejak kapan Wulan sedekat itu dengan Galang? Kenapa bukan dirinya yang ada di sisi suaminya saat itu? Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Wulan melangkah keluar, senyum sinis menghiasi wajahnya saat matanya bertemu dengan Andara. “Oh, kamu datang juga rupanya,” ucap Wulan mencibir. “Kupikir kamu lebih memilih ujian daripada menemani suamimu yang sedang terbaring di rumah sakit.” Andara menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah bilang ke Mas Galang, aku akan datang setelah ujian selesai.” “Dan aku menepati janjiku itu. “ Andara berkata sembari menatap tajam ke arah Wulan. Perempuan yang menciptakan jarak antara dirinya dengan sang suami. “Tetap saja, seorang istr
Andara tampak duduk di depan ruang UGD. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan kecemasan. Sesekali dia melongok ke dalam. Berharap seorang dokter atau perawat keluar untuk memberitahunya tentang keadaan Galang saat ini. “Sabar, Ra. Mas Galang pasti baik-baik saja kok,” ujar Anessa menenangkan sahabatnya itu. Andara menoleh dan mencoba untuk tersenyum. Walaupun bibirnya terasa kaku. “Mas Galang pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin dia pasti kuat,” lanjut Anessa. Andara lagi-lagi tersenyum. Namun, dalam hatinya dia merasa tak begitu tenang. Dia takut akan terjadi sesuatu pada Galang. “Keluarga Galang Anugerah!” panggil salah seorang perawat. Andara lantas berdiri. “Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanya Andara beruntun. Perawat itu tampak memperhatikan Andara dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memastikan lagi bahwa yang berdiri di depannya adalah benar
“Foto siapa itu?” tanya Andara. Galang yang hendak duduk pun menghentikan aksinya. Dia menatap Andara dengan tatapan bingung. “Di wallpaper hp kamu. Itu foto siapa?” Andara mengulangi lagi pertanyaannya sembari menatap mata sang suami. Galang menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia butuh sedikit improvisasi agar Andara tak salah paham padanya. “Itu foto … foto …” “Foto pacar kamu?” potong Andara cepat. Matanya masih menatap sang suami. Lelaki yang berstatus menjadi suaminya itu tampak bingung. Dia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan yang mungkin bisa memancing pertengkaran di antara keduanya. “Heh! Lucu ya,” ujar Andara. “Kemarin aja bilang aku sayang kamu, Ra. Aku udah jatuh hati sama kamu. Sekarang …” “Nyimpen foto cewek. Dijadiin wallpaper lagi,” lanjut Andara. Galang menghela napas panjang. Tanpa menjelaskan apa-apa pun pada Andara, dia me
Wajah Andara memerah menahan tawa yang seolah-olah akan meledak. Walpaper yang terpasang di layar laptop milik Galang sukses membuat perutnya terasa kaku. “Narsis banget sih jadi orang!” gumam Andara. Seulas senyum tipis tergambar di wajahnya. Melihat senyum samar itu, Anessa lantas bertanya. “Kenapa, Ra? Senyum-senyum sendiri gitu?” Andara menoleh dan kemudian mengalihkan laptop itu ke arah Anessa. Seketika itu juga tawa Anessa meledak tanpa bisa tertahankan lagi. Bagaimana tidak? Dia melihat foto sang kakak dengan pose yang dibuat sok imut. “Sok cakep banget sih dia!” ujarnya di sela tawanya yang berderai. “Geli banget nggak sih, Ra?” tanya Anessa setelah tawanya reda. Andara menatap sang sahabat lalu tersenyum. “Entahlah! Aku nggak pernah lihat mukanya kalau ….” Belum sempat kalimat itu selesai, terdengar suara seseorang berjalan menuju tempat mereka. Tak lama kemudian munc
“Aku serius dengan ucapanku, Ra!” Galang berkata sembari menatap kedua mata sang istri. Andara mencoba mencerna ucapan yang keluar dari mulut Galang. Dia tak ingin terlalu berharap yang pada akhirnya membuatnya kecewa dan terluka. “Aku … sudah lama jatuh hati … sama … kamu, Andara.” Dengan susah payah Galang menyelesaikan ungkapan dari hatinya yang terdalam. “Aku … ingin selamanya bersamamu,” lanjut lelaki berbadan tegap itu. Dada Andara bergemuruh hebat. Cuping telinganya tak begitu saja bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut seorang Galang. “Apa … kamu … bersedia hidup bersamaku?” tanya Galang. “Memang terdengar konyol dan gombal. Tapi, itulah yang aku rasakan saat ini. Hatiku sudah terpaut di kamu,” lanjut Galang. Andara masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun juga. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu dan otaknya mendadak blank. Hanya jantungnya yang sejak tadi berd