“Citaaa, ya ampun, Cita.” Cita menarik napas tegang. Bangkit perlahan, dan meremas erat selimut yang menutupi tubuhnya. “Ma-mama, di … sini.”Pandu!Pasti pria itu yang menghubungi Tessa, sampai mama mertuanya ada di sini. Jangan sampai wanita itu kembali membawa Cita pulang, karena ia benar-benar bisa gila dibuatnya. Arya spontan berdiri, karena melihat wanita yang lebih tua darinya menghampiri. Arya yakin wanita itu dalah ibu Pandu, karena Arya juga pernah melihat fotonya. Perhatiannya lantas terfokus pada Cita. Wajah gadis itu terlihat tegang, dengan kedua tangan yang mengepal erat. Seolah ketakutan, tetapi intensitasnya tidak seperti ketika disentuh oleh Arya, maupun Pandu.Mengapa Arya curiga, wanita itu tahu semua tentang perbuatan putranya pada Cita. Semoga saja, dugaan Arya salah. Karena bila benar, maka Cita benar-benar ada dalam masalah yang kompleks. Tessa menghampiri Cita dengan cepat, lalu membawa gadis itu ke pelukan. Air matanya menitik begitu saja, dan mulai terisak
Tessa mempercepat langkahnya, saat melihat tirai yang menutup ranjang pasien yang ditempati Cita terbuka, hampir separuhnya. Saat tiba di tempat, napas Tessa terbuang frustrasi. Seharusnya, ia tidak meninggalkan menantunya itu seorang diri. Seharusnya, Tessa membawa Erina atau orang lain bersamanya. Paling tidak, Tessa membawa masuk sopir pribadinya untuk mengawasi Cita.Tessa yakin sekali Cita kembali pergi, karena tas ransel gadis itu juga ikut menghilang dari tempatnya.“Sus!” Tessa menoleh ke sekitar, tetapi tidak ada satu pun perawat yang sedang berada di sana. Lantas, Tessa menghampiri ranjang pasien yang letakkan berdekatan dengan pintu, karena ada seseorang juga yang tengah dirawat di sana.“Maaf, apa ada lihat anak saya pergi dari sini, ya?” tanya Tessa setelah membuka sedikit tirainya. Semua kemungkinan bisa saja terjadi, karena itu Tessa harus bertanya lebih dahulu. “Perempuan, pakai ransel pink, sama jaket warna merah? Ada topinya?”“Maaf, Bu. Saya nggak tahu.”Tessa mengh
Kerutan di dahi Lex semakin bertambah saat melihat Arya dan Cita duduk di ruang tamu. Namun, yang menjadi konsentrasi Lex adalah Cita. Mengapa penampilan gadis itu mendadak berubah drastis?Sejak Kasih mulai sibuk bekerja, Cita memang sudah tidak pernah lagi bertandang ke rumah Lex. Mungkin, karena tidak ada yang mengajak Cita main ke rumah, karena itulah gadis itu tidak lagi menginjakkan kaki di kediaman Anggoro.Bahkan, Lex hanya berdiam diri menatap Cita, saat gadis itu menyalaminya dengan sangat sopan.“Om, pinjam hape!” seru Arya memecah keterdiaman Lex. Ia baru ingat, harus menghubungi seseorang sesegera mungkin. “Hapeku, dari pagi ketinggalan di rumah bunda Asri.”“Duduk,” titah Lex menunjuk sofa dengan dagunya. Entah apa yang terjadi pada Arya dan Cita saat ini. Yang jelas, pria itu harus mempertanggungjawabkan semua hal pada Pras malam nanti. “Datang ke rumah pak Pras jam tujuh nanti malam. Jangan sampai terlambat.”“Pak Pras … marah?” Dari wajah Lex saja, Arya tahu pertanyaa
Alih-alih membicarakannya dengan Abi secara empat mata, Lex justru memiliki ide lain. Semua itu Lex lakukan, agar permasalahan bisa selesai secepatnya. Bila memang tidak bisa membawa ke jalur hukum, maka Lex akan menyelesaikan dengan caranya sendiri. Namun, semuanya tergantung dengan respons semua orang yang diundangnya pada malam itu.Lex memutuskan menyewa sebuah ruang private di sebuah restoran, dan mengundang orang tua dari kedua belah pihak tanpa saling mengetahui. Tentu saja Lex ikut mengundang Abi, kuasa hukum keluarga Atmawijaya agar semua pembahasan bisa tuntas sekaligus.Semua mata, jelas saling pandang dengan terkejut. Terlebih Sandra, yang malam itu datang terpisah dengan Harry.“Mas … Harry?” Sandra berjalan pelan memasuki ruangan private tersebut. Bukankah, Cita yang mengajaknya bertemu di restoran karena ingin makan malam bersama Sandra? Namun, mengapa Harry dan kedua besannya juga ada di ruangan tersebut. Yang paling mengejutkan adalah, Sandra melihat Lex dan Abi yang
Ibu mana yang tidak tersayat hatinya, bila melihat putri yang ia besarkan dengan segenap jiwa, ternyata hidup menderita di luar sana. Sandra akui, ia bukanlah seorang wanita yang baik. Namun, sebagai seorang ibu, Sandra berusaha mendidik putrinya untuk selalu berada di jalur yang benar.Dengan membuang semua harga dirinya di depan keluarga Lukito, Sandra berusaha keras memenuhi semua kebutuhan Cita, sedari gadis itu kecil. Memberi pendidikan, lingkungan, dan pergaulan yang terbaik, karena Sandra tidak ingin Cita menjadi seperti dirinya dahulu kala. Yang menghalalkan segala cara, untuk mendapatkan apa yang Sandra inginkan.Akan tetapi, Sandra merasa semua perjuangannya sia-sia belaka. Satu-satunya putri yang sudah ia jaga selama ini, akhirnya hancur di tangan keluarga yang sangat Sandra percaya. Andai Tuhan hendak menjatuhkan karmaNya, mengapa tidak Sandra saja yang mendapatkannya. Kenapa harus Cita?“Besok …” Sambil terus mengusap punggung Cita di pelukan, Sandra berujar, “Mami sendir
“Cita, mobilmu ada di mana?” Setelah mengambil semua barang-barang pentingnya di rumah Harry, Sandra kembali ke kosan putrinya. Sandra mendata semua aset dan investasi yang dimilikinya selama ini. Menghitungnya dengan detail, agar bisa merancang masa depan yang masih berada di angan-angan.Cita menoleh dengan bibirnya yang mengerucut. Menarik kedua tangan dari keyboard laptop, lalu memutar tubuh. Menatap Sandra yang duduk di tempat tidur dan bersandar pada dinding. Sang mami tengah memegang sebuah pulpen dan buku catatan milik Cita. “Masih … di rumah Pandu.”Sandra berdecak, dan meletakkan pulpennya di atas buku. “Biar Mami ambil ke sana sore ini.”“Mami mau ke rumah Pandu?” Cita beranjak menghampiri Sandra, duduk di tepi ranjang. Ia ikut prihatin dengan keadaan sang mami, yang terpaksa harus tinggal di kosan sempit milik Cita. Ia berharap Arya segera memberi kabar, sehingga mereka bisa berangkat ke Surabaya secepatnya. Meninggalkan Jakarta, dan mengubur semua masa lalu dalam-dalam.S
“Silakan …” Arya sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu mempersilakan ibu dan anak yang baru saja sampai itu masuk ke dalam mobilnya. Tidak disangka, kedatangan Sandra dan Cita ke Surabaya, ternyata lebih cepat dari perkiraan Arya. Selang dua hari ia memberi kabar tentang rumah kontrakan, keduanya langsung meluncur ke Surabaya.Kendati masih banyak pertanyaan di kepala Arya, tetapi ia tahu diri untuk tidak mempertanyakan itu semua.“Loh, red carpetnya mana?” celetuk Sandra lebih dulu masuk ke dalam mobil. “Dari tadi Tante cariin, nggak ada.”“Lagi dicuci, Tan.” Arya terkekeh sambil menegakkan kembali tubuhnya, saat Cita baru saja melewatinya. “Habis dipake Cannes Film Festival kemarin.”Cita terkekeh sambil menggeleng, mendengar jawaban Arya. Pria itu seolah tidak memiliki beban hidup sama sekali. Padahal, Pras baru saja menskors Arya dan tidak diperkenankan bekerja di Metro Surabaya selama satu bulan.“Sudah siap semua?” tanya Arya setelah masuk mobil, dan memasang sabuk pengamannya. I
“Mi, mas Arya sudah datang.” Cita masuk ke dalam kamar, lalu menyambar tas ransel yang tergeletak di sudut ruang. Karena mereka belum memiliki perabotan apa pun, maka barang yang dibawa sementara masih berada di lantai.Sandra menyalakan layar ponsel, dan melihat jam digital yang tertera di sana. “Kok, cepat banget.”Cita mengendik sambil memakai tas ranselnya. Namun, setelah memikirkan sesuatu, Cita kembali melepas tas tersebut lalu meletakkannya di sudut kasur. “Aku mau ngomong bentar sama mas Arya.”“Hm, Mami ganti baju sebentar.”Cita mengangguk, kemudian keluar dan menutup pintu kamar. Ia keluar, dan menghampiri Arya yang baru saja keluar dari mobil. “Mas, kata Mami, kalau Mas Arya nggak mau dibayar, kami perginya pake taksi yang lain aja.”Rencananya, pria itu akan menemani Cita dan Sandra untuk mencari perabotan rumah. Namun, Cita merasa tidak enak hati karena Arya tidak mau dibayar, atas jasanya menjemput di bandara lalu mengantar sampai rumah kontrakan.Arya menurunkan kacama