Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.
“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.
“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.
Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.
Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama .
Jika mengingat waktu itu, Selene pikir Dirian akan membiarkannya dimalam pertama mereka untuk mempermalukannya. Namun saat itu dia datang dan mengatakan dengan jelas jika membutuhkannya untuk ini. Selene sudah lama tahu jika Dirian itu maniak, bahkan jika jadwal malam intim maka dia tidak akan melupakanya walaupun dia melupakan banyak malam lainnya ketika bersama Selene.“Aku menginginkanmu,” suara Dirian terdengar berat di telinganya. Itu membuat Selene tersadar Dari lamunanya.
Selene tidak menjawab. Ia hanya menoleh, berhadapan langsung dengan mata merah itu. Senyum tipis terukir di bibirnya. Dalam hati, ia berbisik: Untuk terakhir kalinya. Dan aku bersumpah, kau tidak akan pernah melupakannya.
Ia mendekat, mencium bibir Dirian lembut. Wine membuat bibir lelaki itu manis, dan rasa itu membakar sesuatu di dada Selene. Ciuman itu menjalar menjadi api. Tubuh mereka, yang semula dingin, perlahan memanas. Selene merasa tubuhnya semakin terbakar ketika ciuman itu turun kelehernya, kemudian ke da danya dan lalu merasakan sensasi yang sulit dijelaskan ketika Dirian mengulum da danya dengan tak sabar.
Dari posisinya, Selene bisa melihat bagaimana reaksi lelaki itu ketika melakukan hal ini, begitu liar dan tak tertahankan untuknya tidak melenguh dan mendesah manja. Sedetik kemudian Dirian menarik bibirnya dan mendongak menatap Selene.
"Manis " ucapnya dengan sorot mata yang dipenuhi hasrat.
Selene mencengkeram pundaknya.
"Padahal baru beberapa minggu namun ada air su sunya." ucap Dirian terlihat seperti anak kecil.
"Bagaimanapun aku juga hamil." ucap Selene.
Dirian kembali mengulum da danya, kali ini lebih lembut namun dengan menyedot kuat seolah menguras habis air su su yang dia miliki dan tak ia biarkan tumpah setetespun . Cengkraman Selene lebih kuat , apalagi saat dia merasakan sesuatu dibawahnya menegang dan mengeras , ini sudah diluar nalarnya.
"Lebarkan kakimu." pinta Dirian.
Selene menurut saja dan benda lonjong nan besar itu seharusnya tidak bisa masuk kedalam dirinya, namun karena sudah terbiasa tentu saja cukup mudah bagi Dirian memasukkannya walaupun harus berusaha beberapa waktu.
"Bergerak !" titahnya.
Tubuh Selene yang menegang karena benda itu masuk perlahan mulai bergerak alami. Sejujurnya dalam posisi ini cukup memalukan darinya karena dia berada diatas Dirian. Namun dia tidak akan malu lagi karena bisa saja ini adalah terakhir kali sebelum dia benar benar pergi dari hidup Dirian.
"Sial!" umpat Dirian sekarang mencengkeram da danya lalu menggigit pelan tanpa mengeluarkan tenaga tepat dipu ting Selene yang menggeliat akibat gerakanya sendiri.
Suara air berderak, tumpah membasahi lantai, seiring gerakan mereka yang tak terkendali. Desah dan erangan memenuhi ruang mandi, bercampur dengan percikan air.
Selene kehilangan kendali, tubuhnya seakan tak mampu menampung kehadiran lelaki itu yang memenuhi dirinya seutuhnya. Selene meremas rambut hitam Dirian yang mulai tak sabar dengan setiap gerakanya yang menyentuh titik sensitif suaminya itu.
"Hmmhh..." Selene yang sebelumnya mengerang kehilangan suaranya tatkala Dirian menarik lehernya dan menciumnya dengan lebih liar.
Dirian bergerak, mengangkat tubuh Selene yang kemudian terendam didalam bak dan dia yang sekarang menguasai permainan.
"Bahkan aku belum selesai." ucap Selene padanya.
"Tenanglah Istriku , kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. " ucap Dirian. " Kita memiliki banyak waktu untuk saling menikmati," sambungnya dengan tatapan yang sangat licik.
Selene memejamkan mata , hanya pada saat saat seperti ini dia bisa melihat kelembutan Dirian yang dipenuhi hasrat. Selain itu Selene tahu apa arti dari kata kata itu, artinya mereka tidak akan berhenti hanya dengan satu atau dua kali permainan. Mereka akan terus melakukannya hingga mereka puas dengan apa yang mereka lakukan malam ini.
Bagi Dirian, setiap kali bersama Selene adalah gila. Sensasi yang ia rasakan darinya berbeda, jauh lebih dalam daripada yang pernah ia alami bersama Viviene. Mata merahnya menatap tajam tubuh istrinya, tangannya mengunci pinggang ramping itu, gerakannya makin cepat, makin liar.
“Dirian…” Selene mengeluh lirih.
Namun lelaki itu tak mendengar.
“Pelan-pelan saja…” Selene mengusap tangan yang mencengkeram pinggangnya, mencoba menahan laju yang terlalu keras.
Dirian tetap mengabaikannya.
"Uugghh" Selene menggeliat , terlalu dalam dan seolah menembus titik paling sensitif dipusat tubuhnya itu. Rasanya memang sangat gila ketika Dirian menggagahinya seperti ini dan tentu saja dia sejujurnya selalu senang saat dirinya begitu penuh didalam sana.
“Dirian, waktu kita masih banyak,” ucap Selene, suaranya terputus oleh helaan napas yang berat.
Namun suaminya tidak peduli. Yang ia inginkan hanya satu agar kenikmatan ini tidak berakhir terlalu cepat.
Dirian bergerak dengan ritme yang pas, membuat tubuh hingga kepala Selene panas dan tak bisa berpikir lagi. Dirian menariknya hingga tubuh Selene yang terendam terangkat tanpa melepaskan penyatuan itu. Dirian bangkit dan berdiri, mendorong tubuh Selene ketembok seolah bak itu tidak bisa menampung hasratnya.
Gerakannya sangat liar tak terkendali, Selene seolah tidak mampu menahanya dan merasa tembok itu akan hancur karena gerakan Dirian dibawah sana yang keluar masuk .
"Uuhgghh..." Selene tidak bisa menahan diri lagi ketika Dirian menggigit dan mencium lehernya seolah dia adalah mangsa yang akan dihisap habis darahnya oleh Dirian.
Dirian benar benar buas, tangannya tidak juga diam karena terus meremas da da Selene sekuat tenaganya. Berikut dengan hujaman ciuman yang mendarat dibibir, leher lalu da da Selene. Gerakan tak beraturan yang dibuatnya itu menambah suasana liar yang tak tertahankan diantara mereka berdua.
Selene menemukan sosok lain Dirian ketika mereka melakukan hal ini .
Selene.
suara serak Dirian memanggil namanya disela ciuman dan desahannya yang tak berhenti , bersahutan dengan Selene yang juga terlarut dengan bara didalam dirinya yang dibangkitkan oleh Dirian .
"Dirian!" panggil Selene dengan manja.
Dirian menatap matanya.
"lebih cepat lagi!" pinta Selene.
Dirian menyeringai.
"dengan senang hati, istriku! " ucapnya lembut.
Gerakan Dirian menjadi lebih cepat, liar dan tak lagi ragu. Kali ini gerakannya bak panglima tempur yang terus melesaakkan pelurunya untuk membabat habis musuk. Gerakan maju mundur keluar masuk yang cepat.
Selene tesentak saat Dirian membalik tubuhnya lalu memasukkan kembali adiknya kedalam diri Selene . Sangat dalam hingga Selene hampir tersedak karena bentuk dan panjangnya yang luar biasa. Bagaimana dia tidak cepat hamil jika suaminya saja sebuas ini memakannya .
"uuugghh!"
"hah!"
"hah! "
Selene merasakan cairan hangat masuk kedalam rahimnya dan dia rasanya ingin pingsan karena kakinya yang menahan sejak tadi gemetar. Dirian mencium tengkuk punggung dan menggigitnya pelan, itu kebiasaan dirian saat dia terpuaskan ketika cairan miliknya keluar dan membanjiri Selene layaknya air bah.
"kau selalu luar biasa!" ucapnya sekarang menarik Selene dan mengangkat tubuh Selene .
Selene tidak menolak sebab dia cukup lemas untuk bergerak. Mereka akhirnya selesai di ruang mandi. Selene terkulai lelah di pelukan suaminya, wajahnya masih memerah dan basah, namun justru terlihat semakin memesona. Biasanya, wajah Selene selalu tampak tenang,lembut, penuh kebaikan. Tapi malam ini berbeda. Hasrat membuatnya tampak hidup, begitu menggoda, dan bagi Dirian itu adalah sesuatu yang tidak boleh hilang begitu saja.
Seperti kebiasaannya, Dirian memandikan istrinya dengan sabar. Gerakan tangannya penuh penguasaan, seakan itu adalah haknya semata. Selene tak menolak; ia sudah terlalu letih untuk melawan. Saat Dirian mengangkat tubuhnya yang lunglai keluar dari bak, ia hanya bisa bersandar di dada bidang lelaki itu.
"apa kau sudah puas , istriku?" tanya Dirian.
Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se
“Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent
Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b
Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar
Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika
Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek