MasukSuara Odette begitu lantang hingga Dirian hanya bisa terdiam. Ia tidak bisa menentang ibunya, wanita yang sangat dihormatinya.
“Sial sekali aku memiliki anak bodoh sepertimu!” bentak Odette, lalu pergi meninggalkan Dirian dan neneknya.
Nenek menghela napas.
“Nenek…” panggil Dirian.
Nenek menatapnya.
Nenek tersenyum, mengangguk.
Kata-kata itu menusuk hati Dirian. Ia tahu nenek benar—antara Selene dan Viviene ada perbedaan yang ia sendiri selalu abaikan. Nenek pun akhirnya pergi meninggalkannya sendiri.
Di luar kastil, Selene dan Viviene berdiri bersama. Udara sore terasa berat, langit memerah keemasan, tapi di antara mereka dingin membeku. Para pengawal sudah menjauh memberi ruang.
“Ibu memang keras dan sulit ditenangkan,” kata Selene datar.
Viviene menatapnya, mata berkilat, luka masih terasa.
“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene. “Setidaknya kau bisa bersiap menghadapi beliau.”
Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah mampu melakukannya.”
Selene tertawa pendek, getir.
Viviene menegakkan dagu, senyum sinis.
Selene tersenyum miris. Dalam hatinya, ia tahu: hanya ia yang pernah mencintai Dirian sepenuh jiwa, dan lelaki itu tak pernah benar-benar menoleh padanya.
“Yah…” suara Viviene rendah, beracun. “Kau pasti sudah sadar bagaimana hubungan aku dan Dirian sekarang.”
Selene tersenyum tipis, diam. Sorot matanya cukup membuat Viviene sadar: Selene sudah tahu segalanya.
“Tidak ada yang perlu kusembunyikan. Dirian akan selalu menjadi milikku,” lanjut Viviene, melangkah lebih dekat.
Selene tetap tenang.
Viviene tertawa dingin.
Selene tersenyum lembut, hampir mengasihani.
Tawa Viviene terhenti. Senyumnya memudar, diganti kemarahan.
“Aku tidak pernah menyembunyikan apa pun,” balas Selene, nadanya tenang tapi menusuk. “Tidak seperti dirimu.”
Viviene menegang.
Selene menunduk sedikit, berbisik.
Viviene pucat, tubuhnya terpaku.
Selene tersenyum tipis, melangkah lebih dekat.
Viviene bergidik, bibir bergetar.
Selene mendekatkan bibir ke telinga Viviene, berbisik menusuk jantung.
Viviene membeku, jantung berdetak liar.
Selene tersenyum, terkekeh kecil.
Selene melangkah mundur, tegak dengan senyum kemenangan.
Ia berbalik masuk kastil, meninggalkan Viviene kaku, pucat, dan retak topengnya.
.
.
Langit menggelap, kastil sunyi. Nenek dan ibu makan di kamar masing-masing, Dirian mengurung diri di ruang kerja. Selene mengira Dirian akan mengantar Viviene pulang, tapi ia membiarkan adiknya pergi sendiri.
Usai mandi dan berganti gaun tidur, ketukan pintu terdengar. Mona membuka, Ilard berdiri di sana.
“Saya akan mengantar Anda ke kamar Tuan. Tuan menyusul setelah pekerjaannya selesai,” ucap Ilard.
Selene mengangguk, mengenakan jubah tipis, mengikuti Ilard.
“Anda masuk saja, tunggu di dalam,” kata Ilard saat sampai di depan kamar Dirian.
Selene melangkah masuk. Aroma maskulin ruangan langsung menyergapnya. Kamar besar bernuansa gelap, memberi kesan dingin namun berwibawa. Tak ada tanda Viviene di sana.
Ia duduk di tepi ranjang, membiarkan aroma itu menyelimuti inderanya, seolah merasakan sisi Dirian yang hangat namun jauh dari jangkauannya.
Kreet—pintu terbuka. Dirian masuk, rambut sedikit berantakan, mata merah dingin namun mempesona.
Selene mengangguk. Dirian berhenti sejenak, menatapnya.
Selene tersenyum tipis. Mereka sudah terlalu sering berbagi malam tanpa batasan.
Dirian mengambil sebotol wine dan dua gelas.
Dirian melangkah masuk ke area yang dijaga ketat. Obor-obor dipasang di sepanjang dinding, menerangi puluhan orang yang kini berlutut dengan tangan terikat. Begitu melihatnya, Lucien menghampiri.“Kau datang?” tanya Lucien pelan.Dirian hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada para tawanan.“Apa yang kau dapatkan?” tanya Dirian.Lucien tidak menjawab dengan kata-kata terlebih dulu. Ia menarik salah satu tawanan ke depan dan merenggut lengan bajunya. Di sana, tepat di bawah siku, terpampang tato ular yang melingkar.“Mereka adalah sisa pemberontak yang kabur saat itu,” jelas Lucien. “Kelompok yang dulu mencoba menggulingkan ayahku. Kau pasti familiar dengan tato ini.”
Selene menelan ludah. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Lelaki itu… justru berada di depan dirinya.Dalam hitungan detik, Selene merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh dan hidup kembali pada saat yang sama. Sebuah harapan kecil yang berani muncul, meski ia takut mempercayainya.Selene meraih tangan Dirian, dan begitu tubuh mereka bersentuhan, Dirian menariknya hingga Selene memeluknya erat. Kakinya melingkar di tubuh Dirian, mencari pegangan apa pun. Tepat pada saat itu, besi penyangga dan tirai yang sebelumnya menahan mereka runtuh ke bawah, jatuh menabrak dinding dengan suara keras. Selene gemetar hebat.“Tidak apa,” bisik Dirian lembut namun tegas, satu lengannya menopang tubuh Selene, “aku akan membawamu naik.”Selene tidak mampu mengat
Suara Selene menggema ke seluruh ruangan runtuh itu, bergetar namun tegas.Gemanya terdengar oleh Count, Sylar, Dirian, bahkan para ksatria yang tengah mencari jalur aman untuk turun.Masalahnya… posisi mereka bertiga berada di tengah lubang besar akibat longsoran. Dari titik mana pun, jika salah langkah sedikit saja, mereka semua bisa jatuh ke dasar yang bahkan belum terlihat karena gelap.Dirian sudah berteriak memerintahkan penerangan.Namun cahaya obor hanya menembus sebagian, memperlihatkan betapa dalamnya lubang itu. Dasarnya tak tampak.“SELEEEENE!!” seru Count. “Apa pun yang dia katakan, jangan dengarkan! Ayah mohon, jangan lepaskan tangannya!”Sylar menatap ayahnya dan bisa
Ksatria-ksatria bayangan milik Dirian langsung menghilang ke segala penjuru, bergerak secepat bayangan. Bjorn memimpin beberapa orang menuju sisi tebing, sementara yang lain menerobos kembali ke dalam bangunan yang masih runtuh pelan di tengah jeritan dan debu tebal.“Apa yang terjadi?!” Lucien menghampiri Dirian, yang tengah berteriak menembus keributan.“Istriku di atas!” ketus Dirian tanpa menoleh sedikit pun, napasnya terputus-putus oleh panik.“Aku akan meminta orang mencarinya juga-”“Tidak!” Dirian membentak keras.Lucien terdiam, terkejut dengan amarah yang jarang sekali ia dengar dari mulut Dirian.“Kerahkan orangmu mencari tahu apa
Selene terpaku sejenak. Hatinya berdegup tak karuan, bukan karena terkejut… tetapi karena ia tahu siapa yang menulisnya.Dan orang itu tidak seharusnya berada di sini.Selene mendongak, menatap ke atas. Mansion Flurries menjulang megah dengan banyak lantai dan balkon-balkon kaca yang memantulkan cahaya lampu kristal raksasa. Kristal-kristal itu berkilau, membuat seluruh ruangan tampak seperti istana dari cerita dongeng.Tatapannya turun kembali ke Sylar yang sedang mendengarkan Duke Ragnar berbicara dengan beberapa bangsawan pria. Kemudian ia mencari Dirian, berdiri tak jauh di sisi lain aula, berbicara datar namun tegas seperti biasa. Odet yang tadi menemaninya kini tertawa bersama Estela dan beberapa bangsawan wanita lainnya.A
Suara Selene membuat restoran itu membeku.Dalam satu tarikan penuh kemarahan, Selene menyeret Sylar hingga Sylar tak bisa menolak dan akhirnya mengikuti langkah kakaknya.Dirian menatap Viviene.Ragnar menatap Viviene.Viviene mencoba tersenyum. “Dia hanya membual.”Ragnar menggeleng kecil. “Duchess sampai bereaksi begitu? Itu jelas bukan bualan. Lady… apakah Anda memang sejahat itu?”Tanpa menunggu jawaban, Ragnar bangkit dan pergi, meninggalkan Dirian dan Viviene.“Dirian, aku tidak seperti itu,” ujar Viviene gelagapan.“Sepertinya ada banyak







