MasukWajah Dirian berubah drastis ketika kata itu keluar dari bibir Selene—kata yang mempermalukannya di hadapan dokter dan pelayan. Ruangan seketika hening; dokter berhenti menggulung plester, pelayan menahan napas, bahkan detak jam terasa tertahan oleh ketegangan.
Dirian menatap istrinya dengan mata menyala. Wajah yang biasanya dingin memerah karena malu dan marah. Suaranya sempat tercekat saat berkata,
“Kau… apa?” lalu berubah menjadi cercaan.
Selene menatap tegak, suaranya tenang namun tegas. “Ayo bercerai.”
Kata itu seperti tamparan. Semua yang hadir kaget. Dirian terdiam sebentar, seolah tak percaya perempuan yang selama ini tampak mencintainya begitu tiba-tiba berkata sekejam itu.
Ia lalu menyeringai sinis. “Jangan bercanda, Selene. Candaanmu tidak lucu.”
Tapi Selene tak mundur. Di dadanya ada api yang tak lagi bisa dipadamkan—bukan sekadar amarah sesaat, melainkan pembebasan yang dirajut oleh dua tahun hidup yang baginya seperti kematian. Ia tahu tatapan acuh Dirian, tahu desas-desus yang akan beredar di dalam rumah, bahkan tahu wajah wanita yang akan menghancurkan rumah tangganya. Semua itu sudah pernah ia alami di kehidupan yang lalu; kini ia memilih tak diam.
Tubuhnya masih lemah akibat keguguran, namun ia menegakkan badan.
Dokter ragu berkata, “Nyonya, hati-hati. Anda baru saja keguguran.” Selene menatap dingin, sudah siap menanggapi serangan yang selalu diarahkan padanya—narasi tentang rahim yang ‘bermasalah’.
“Aku tahu,” jawabnya datar. Lalu menatap Dirian: “Tidak ada yang pantas kau pertahankan dari istri yang tak bisa memberimu keturunan. Ceraikan aku. Sekarang.”
Dirian menegang. Sekilas ada kilasan perasaan di matanya—mungkin bersalah, mungkin jengkel—lalu ia menutupnya dengan ejekan
“Rupanya bukan hanya rahimmu yang bermasalah, tapi juga otakmu.” Kata itu menusuk. Beberapa pelayan menutup mulut, terkejut; bagi Selene, hinaan bukan hal baru, namun tetap menyakitkan.
“Aku perintahkan periksa dia dengan benar,” ujar Dirian dingin kepada dokter. “Setelah itu kurung dia. Jangan sampai dia menggila karena keguguran.”
Selene mengepalkan tangan, menahan diri. “Dirian, aku serius!” teriaknya.
Dirian membalas, “Kau gila, Selene!” Suara itu menggema sampai ke sudut ruangan, membuat semua orang membeku.
Bisik-bisik berhamburan, ada yang iba, ada yang tak percaya, bahkan ada yang diam-diam puas. Dirian memberi isyarat agar semua orang keluar.
“Istirahatlah. Kau butuh pemulihan,” katanya lalu menambahkan sinis, “Bukan hanya kau yang berduka—aku juga.” Bagi Selene, itu hanya kebohongan lainnya.
Sendiri di kamar dengan dua pelayan setia yang dimintanya pergi, Selene melihat dari jendela kereta keluarga Leventis pergi—Dirian yang menuju Viviene Moreau.
Nama itu menusuk: Viviene, sepupunya yang pernah kabur sebelum pernikahan lalu kembali untuk merebut apa yang menjadi miliknya. Ingatan dua tahun itu muncul jelas—malam ketika ia lemah dan mendengar Dirian di ruang kerja berkata dingin
“Aku sudah melakukannya lagi. Dia keguguran.” Suaranya dingin, datar. Seolah yang ia bicarakan hanyalah barang rusak. Lalu terdengar tawa pelan.
Suara seorang wanita. Viviene. “Kau benar-benar tega, Dirian. Tapi itu pilihan tepat. Bayangkan saja kalau Selene berhasil melahirkan anakmu. Kau akan terikat padanya selamanya.”
Dirian mendesah. “Aku tidak pernah mencintainya. Dari awal, aku hanya menginginkanmu. Selene hanyalah pengganti. Sebuah kewajiban karena kau kabur sebelum pernikahan.”
Jantung Selene berhenti berdetak sejenak.
Viviene terkekeh, manja. “Kau masih marah soal itu? Bukankah akhirnya aku kembali padamu?”
“Ya,” jawab Dirian cepat, hampir tak sabar.
“Kau kembali, dan itu cukup. Selene tak ada artinya bagiku. Selama dia di sisiku, aku akan memastikan dia tidak pernah memberiku keturunan. Aku tidak ingin satu pun jejaknya ada dalam darahku.”
Air mata mengalir deras malam itu, panas dan menyakitkan. Selene menutup mulutnya agar tidak berteriak. Sejak malam itu, ia tahu semua penderitaannya bukan takdir. Semua keguguran itu adalah perbuatan Dirian.
Dulu ia menangis sampai napas tersengal. Kini airmata itu telah kering. Yang tersisa adalah api di dada: dendam, tekad, dan kebencian yang dingin. Selene memejam, merasakan gejolak emosi. Lalu, dengan suara pelan namun pasti, ia berbisik kepada dirinya sendiri,
“Tidak lagi. Aku tak akan jadi wanita bodoh yang sama. Aku akan menghancurkan semua ini sebelum mereka menghancurkanku.”
Dirian melangkah masuk ke area yang dijaga ketat. Obor-obor dipasang di sepanjang dinding, menerangi puluhan orang yang kini berlutut dengan tangan terikat. Begitu melihatnya, Lucien menghampiri.“Kau datang?” tanya Lucien pelan.Dirian hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada para tawanan.“Apa yang kau dapatkan?” tanya Dirian.Lucien tidak menjawab dengan kata-kata terlebih dulu. Ia menarik salah satu tawanan ke depan dan merenggut lengan bajunya. Di sana, tepat di bawah siku, terpampang tato ular yang melingkar.“Mereka adalah sisa pemberontak yang kabur saat itu,” jelas Lucien. “Kelompok yang dulu mencoba menggulingkan ayahku. Kau pasti familiar dengan tato ini.”
Selene menelan ludah. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Lelaki itu… justru berada di depan dirinya.Dalam hitungan detik, Selene merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh dan hidup kembali pada saat yang sama. Sebuah harapan kecil yang berani muncul, meski ia takut mempercayainya.Selene meraih tangan Dirian, dan begitu tubuh mereka bersentuhan, Dirian menariknya hingga Selene memeluknya erat. Kakinya melingkar di tubuh Dirian, mencari pegangan apa pun. Tepat pada saat itu, besi penyangga dan tirai yang sebelumnya menahan mereka runtuh ke bawah, jatuh menabrak dinding dengan suara keras. Selene gemetar hebat.“Tidak apa,” bisik Dirian lembut namun tegas, satu lengannya menopang tubuh Selene, “aku akan membawamu naik.”Selene tidak mampu mengat
Suara Selene menggema ke seluruh ruangan runtuh itu, bergetar namun tegas.Gemanya terdengar oleh Count, Sylar, Dirian, bahkan para ksatria yang tengah mencari jalur aman untuk turun.Masalahnya… posisi mereka bertiga berada di tengah lubang besar akibat longsoran. Dari titik mana pun, jika salah langkah sedikit saja, mereka semua bisa jatuh ke dasar yang bahkan belum terlihat karena gelap.Dirian sudah berteriak memerintahkan penerangan.Namun cahaya obor hanya menembus sebagian, memperlihatkan betapa dalamnya lubang itu. Dasarnya tak tampak.“SELEEEENE!!” seru Count. “Apa pun yang dia katakan, jangan dengarkan! Ayah mohon, jangan lepaskan tangannya!”Sylar menatap ayahnya dan bisa
Ksatria-ksatria bayangan milik Dirian langsung menghilang ke segala penjuru, bergerak secepat bayangan. Bjorn memimpin beberapa orang menuju sisi tebing, sementara yang lain menerobos kembali ke dalam bangunan yang masih runtuh pelan di tengah jeritan dan debu tebal.“Apa yang terjadi?!” Lucien menghampiri Dirian, yang tengah berteriak menembus keributan.“Istriku di atas!” ketus Dirian tanpa menoleh sedikit pun, napasnya terputus-putus oleh panik.“Aku akan meminta orang mencarinya juga-”“Tidak!” Dirian membentak keras.Lucien terdiam, terkejut dengan amarah yang jarang sekali ia dengar dari mulut Dirian.“Kerahkan orangmu mencari tahu apa
Selene terpaku sejenak. Hatinya berdegup tak karuan, bukan karena terkejut… tetapi karena ia tahu siapa yang menulisnya.Dan orang itu tidak seharusnya berada di sini.Selene mendongak, menatap ke atas. Mansion Flurries menjulang megah dengan banyak lantai dan balkon-balkon kaca yang memantulkan cahaya lampu kristal raksasa. Kristal-kristal itu berkilau, membuat seluruh ruangan tampak seperti istana dari cerita dongeng.Tatapannya turun kembali ke Sylar yang sedang mendengarkan Duke Ragnar berbicara dengan beberapa bangsawan pria. Kemudian ia mencari Dirian, berdiri tak jauh di sisi lain aula, berbicara datar namun tegas seperti biasa. Odet yang tadi menemaninya kini tertawa bersama Estela dan beberapa bangsawan wanita lainnya.A
Suara Selene membuat restoran itu membeku.Dalam satu tarikan penuh kemarahan, Selene menyeret Sylar hingga Sylar tak bisa menolak dan akhirnya mengikuti langkah kakaknya.Dirian menatap Viviene.Ragnar menatap Viviene.Viviene mencoba tersenyum. “Dia hanya membual.”Ragnar menggeleng kecil. “Duchess sampai bereaksi begitu? Itu jelas bukan bualan. Lady… apakah Anda memang sejahat itu?”Tanpa menunggu jawaban, Ragnar bangkit dan pergi, meninggalkan Dirian dan Viviene.“Dirian, aku tidak seperti itu,” ujar Viviene gelagapan.“Sepertinya ada banyak







