/ Romansa / Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai! / 2. Rahasia gelap dibalik keguguran Selene

공유

2. Rahasia gelap dibalik keguguran Selene

작가: Raisaa
last update 최신 업데이트: 2025-09-17 12:01:57

Raut wajah Dirian berubah drastis; kata yang baru terucap dari Selene jelas mempermalukannya di hadapan semua orang yang statusnya lebih rendah darinya itu.

Sejenak, waktu seolah membeku. Dokter yang tadi tengah menggulung plester menghentikan tangannya di udara. Para pelayan yang berdiri di sudut ruangan menahan napas, takut gerakan sekecil apa pun akan memancing amarah sang Duke. Bahkan jam di dinding seakan menunda detaknya, menambah berat suasana yang sudah penuh ketegangan.

Dirian menatap istrinya dengan sorot mata yang membara. Wajah yang biasanya dingin, kini memerah oleh sesuatu yang jarang terlihat: malu, amarah, dan rasa terhina.

“Kau... apa?” suaranya sempat terpatah, namun ia cepat mengubah intonasinya, melontarkan kalimat itu bukan sebagai pertanyaan, melainkan sebagai celaan.

Selene mendongak. Pandangannya tajam, suaranya tegas, tanpa keraguan.

“Ayo bercerai.”

Kata itu menampar udara, menggetarkan semua orang yang mendengarnya.

Sejenak, Dirian hanya menatapnya—seakan tidak percaya perempuan yang selama ini mencintainya dengan begitu buta bisa mengatakan hal setega itu. Lalu, senyum sinis menyentuh bibirnya.

“Jangan membuatku tertawa, Selene. Candaanmu tidak lucu.” Suaranya dingin, cukup keras untuk memecah keheningan ruangan.

Dokter menelan ludah, pelayan menunduk, seakan ingin lenyap dari pandangan.

Namun Selene tidak bergeming. Amarahnya membara, memenuhi dada, membakar tenggorokannya. Kata-kata yang ia ucapkan bukan sekadar tuntutan. Itu adalah pembebasan.

Dua tahun hidup yang sudah ia jalani—atau lebih tepatnya, dua tahun kematian yang sudah ia lalui—telah mengajarinya hal-hal yang dulu tak pernah ia sadari.

Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia tahu tatapan acuh Dirian, ia tahu desas-desus yang akan segera berembus di dalam kediaman ini. Bahkan ia tahu wajah wanita itu—wanita yang akan menghancurkan rumah tangganya. Semuanya sudah ia lihat, sudah ia alami, di kehidupannya yang dulu.

Dan kali ini, ia tidak akan diam.

“Aku tidak bercanda,” ucap Selene, suaranya lantang. Ia merubah posisi duduk, menegakkan tubuh meski rasa sakit dari keguguran masih menekannya.

“Nyonya, hati-hati. Anda baru saja keguguran,” bisik dokter, ragu-ragu.

Selene menoleh sekilas, tatapannya dingin. Ia tahu persis apa yang akan dikatakan pria itu. Karena inilah masa dua tahun lalu—saat keguguran ketiganya. Ia bahkan tahu dengan pasti bahwa sebentar lagi, dokter itu akan mengatakan bahwa rahimnya bermasalah.

“Aku tahu,” jawab Selene datar. Lalu ia kembali menatap Dirian. “Tidak ada yang bisa kau pertahankan dari seorang wanita yang bahkan tidak bisa melahirkan keturunanmu. Jadi ceraikan aku. Sekarang.”

Dirian menatapnya tajam. Bibirnya menegang, rahangnya mengeras. Sekilas ada sesuatu yang melintas di matanya—apakah itu rasa bersalah? Ataukah sekadar kejengkelan? Tak seorang pun bisa menebak. Namun cepat-cepat, ia menghapus kilasan itu dari wajahnya, lalu menyeringai dingin.

“Rupanya bukan hanya rahimmu yang bermasalah, tapi juga otakmu,” ucapnya. Kata-kata itu menusuk seperti pisau, sengaja dilontarkan untuk melukai.

Beberapa pelayan menutup mulut mereka, berusaha menyembunyikan keterkejutan. Tapi Selene tetap tenang. Kata-kata kasar itu bukan hal baru baginya.

“Periksa dia dengan benar,” perintah Dirian pada dokter. “Setelah itu kurung dia. Jangan sampai dia menggila hanya karena keguguran.”

Selene mengepalkan tangan, berusaha menahan diri. “Dirian, aku serius!”

“Kau gila, Selene!” teriaknya, suaranya bergema di seluruh ruangan.

Semua orang langsung mematung, takut bernapas.

Selene terdiam, bibirnya rapat. Ia tahu, Dirian tidak percaya. Bagaimana bisa? Lelaki itu terlalu yakin bahwa Selene mencintainya dengan buta. Terlalu yakin bahwa istrinya akan selalu merendah, berlutut, dan memohon untuk dipandang.

“Permintaan cerai?” seorang pelayan berbisik, suaranya bagai kristal pecah.

“Apa yang terjadi pada Nyonya?”

“Bukankah Nyonya sangat mencintai Yang Mulia Duke?” sahut pelayan lain dengan tak percaya.

Bisikan itu menusuk telinga Selene. Sebagian menatap iba, sebagian lain menyimpan kepuasan samar. Namun ia tidak goyah.

Dirian mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar semua orang keluar. “Istirahatlah. Kau butuh pemulihan setelah keguguran.” Nadanya dingin, tapi kemudian ia menambahkan, “Saat ini bukan hanya kau yang berduka karena kehilangan bayi, tapi aku juga.”

Kalimat itu terdengar manis di telinga orang lain. Namun bagi Selene, itu hanyalah kebohongan lain.

Satu per satu pelayan keluar, meninggalkan ruangan. Dokter yang masih ragu akhirnya menunduk, menyelesaikan pekerjaannya, lalu undur diri. Kini hanya tersisa Selene, ditemani dua pelayannya yang paling setia: Mona dan Daisy.

“Nyonya, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Mona hati-hati.

Selene menatap keduanya. Mereka adalah orang-orang yang dibawanya dari keluarga Count Moreau, keluarganya sendiri. Orang-orang yang paling mengenalnya. Namun saat ini, ia tidak ingin siapa pun berada di sisinya.

“Pergilah. Aku ingin sendiri,” ucapnya datar.

Dengan enggan, keduanya keluar, menutup pintu rapat-rapat.

Keheningan memenuhi kamar.

Selene bangkit perlahan, langkahnya terhuyung menuju jendela. Dari sana, ia melihat kereta dengan lambang keluarga Duke Leventis meninggalkan kediaman. Dirian. 

Tangannya meremas besi jendela. Kebencian menyesakkan dada. Ia tahu ke mana pria itu pergi. Bukan kembali ke ruang kerja. Bukan untuk meratapi anak yang baru saja hilang.

Tidak. Ia pergi menemui wanita itu.

Viviene Moreau.

Sepupunya sendiri. Wanita yang seharusnya menikahi Dirian, namun kabur sehari sebelum pernikahan. Wanita yang kembali, hanya untuk merebut apa yang menjadi milik Selene.

Selene memejamkan mata. Dua tahun lalu, saat keguguran kelima kalinya, ia mendengar sendiri pengakuan yang mematahkan seluruh dirinya.

Malam itu, ia lemah tak berdaya di ranjang. Tapi suara langkah dari ruang kerja membuatnya terjaga. Dengan sisa tenaga, ia merangkak pelan, bersandar pada dinding, mengintip lewat pintu yang sedikit terbuka.

Suara itu... suara Dirian.

“Aku sudah melakukannya lagi. Dia keguguran.” Suaranya dingin, datar. Seolah yang ia bicarakan hanyalah barang rusak.

Lalu terdengar tawa pelan. Suara seorang wanita.

Viviene.

“Kau benar-benar tega, Dirian. Tapi itu pilihan tepat. Bayangkan saja kalau Selene berhasil melahirkan anakmu. Kau akan terikat padanya selamanya.”

Dirian mendesah. “Aku tidak pernah mencintainya. Dari awal, aku hanya menginginkanmu. Selene hanyalah pengganti. Sebuah kewajiban karena kau kabur sebelum pernikahan.”

Jantung Selene berhenti berdetak sejenak.

Viviene terkekeh, manja. “Kau masih marah soal itu? Bukankah akhirnya aku kembali padamu?”

“Ya,” jawab Dirian cepat, hampir tak sabar. “Kau kembali, dan itu cukup. Selene tak ada artinya bagiku. Selama dia di sisiku, aku akan memastikan dia tidak pernah memberiku keturunan. Aku tidak ingin satu pun jejaknya ada dalam darahku.”

Air mata mengalir deras malam itu, panas dan menyakitkan. Selene menutup mulutnya agar tidak berteriak.

Sejak malam itu, ia tahu semua penderitaannya bukan takdir. Semua keguguran itu adalah perbuatan Dirian.

Kini, setelah kembali ke masa dua tahun sebelumnya, Selene memejamkan mata, menahan gejolak dalam dadanya. Air mata yang dulu pernah jatuh, kini sudah kering. Yang tersisa hanyalah api—api yang membakar tanpa suara.

“Tidak lagi,” bisiknya. “Aku tidak akan menjadi wanita bodoh yang sama… Aku akan menghancurkan semua ini sebelum mereka menghancurkanku lagi.”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   14. Hanya satu hari sampai aku bebas

    Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   13. Dirian aneh

    “Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   12 Bagaimana jika aku mati ?

    Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   11. Maniak mesum dan Gila

    Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   10. Bercinta dengan Duke

    Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   9. Palsu

    Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status