Share

3. Aku Harus Bercerai

Author: Raisaa
last update Last Updated: 2025-09-18 08:01:05

Dari luar, suara derap kuda semakin menjauh. Dari dalam, Selene berdiri tegak di kamarnya, seolah baru saja memakukan tekadnya pada dinding hatinya sendiri.

Mulai hari ini, pernikahannya bukan lagi penjara—melainkan medan perang.

Ia menjatuhkan diri ke atas ranjang yang dingin. Bibirnya bergetar, suara nyaris hanya berupa bisikan.

“...Sebenarnya apa salahku?”

Lima tahun ia hidup sebagai istri Duke Leventis. Lima tahun penuh usaha yang ia curahkan demi perannya sebagai Duchess. Ia tidak pernah bermalas-malasan; ia belajar, mengatur, menyiapkan, melayani. Ia memastikan segala kebutuhan suaminya terpenuhi—dari makanan hingga pekerjaan wilayah. Semua ia lakukan demi satu hal: pengakuan.

Namun balasannya? Tatapan kosong. Kata-kata dingin. Dan yang paling kejam, setiap janin yang ia kandung… direnggut dengan tangan suaminya sendiri.

Dirian tidak hanya menolaknya sebagai seorang istri—ia menghancurkan kesempatan Selene untuk menjadi seorang ibu.

Selene menggenggam seprai hingga kusut. Hatunya yang dulu lembut kini terasa keras seperti batu. Dulu ia bisa menipu dirinya sendiri, berpikir cinta akan memperbaiki segalanya. Tapi setelah kematian—dan kebangkitannya kembali—ia sadar, cinta itu hanya ilusi. Semua kebohongan Dirian terbuka.

Dan semua itu berujung pada satu nama: Viviene.

Sepupunya. Saudara tirinya. Wanita yang kabur sebelum pernikahannya dengan Dirian, lalu kembali setahun lalu dan merebut segalanya di depan mata Selene.

Selene menutup mata, napasnya tercekat. Ia masih bisa mengingat jelas: pulang dari makam ibunya, hanya untuk memergoki Viviene keluar dari ruang kerja Dirian dengan tubuh terbungkus kemeja suaminya. Dan betapa bodohnya Selene—ia percaya begitu saja alasan konyol bahwa gaun Viviene kotor dan butuh diganti.

Sekarang, semua potongan itu membentuk gambaran utuh: mereka bukan sekadar “teman masa kecil”. Mereka kekasih. Mereka berkhianat.

Ingatan itu menoreh luka demi luka. Dan akhirnya, di tengah kepedihan itu, Selene menarik napas panjang.

“Aku harus bercerai.”

Tangannya meraih sebuah laci, menarik keluar dokumen-dokumen warisan ibunya. Sebidang tanah kecil di luar wilayah kekaisaran. Satu-satunya jalan keluar. Ia tidak bisa kembali ke rumah Count—ayahnya telah menikah dengan ibu Viviene, dan sejak itu Selene hanya jadi bayangan. Semua kemewahan jatuh ke tangan Viviene, bahkan calon suami yang seharusnya milik Selene.

Ia meremas dokumen itu di dada. Aku harus pergi.

Namun langkahnya terhenti ketika suara derap kuda terdengar lagi dari luar. Kereta berhenti di halaman depan. Ia tahu persis siapa yang datang.

Pintu kamarnya terbuka lebar. Dirian masuk dengan aura dingin khasnya. Dan di sampingnya—Viviene.

Selene merasakan mual yang pahit naik ke kerongkongan.

“Selene,” suara lembut itu terdengar. Viviene melangkah masuk dengan wajah penuh pura-pura prihatin. Ia meraih tangan Selene, seolah menunjukkan kasih sayang. “Aku dengar kau keguguran… aku harap kau baik-baik saja.”

Selene langsung menarik tangannya. Pandangannya menusuk seperti pisau. “Aku baik-baik saja.”

Sekejap, wajah Viviene kaku. Tak menyangka Selene tak menelan drama murahannya.

“Selene, jangan begitu—”

“Kau tidak perlu datang,” potong Selene dingin. “Aku tidak butuh simpati darimu.”

Dirian melangkah maju, suara beratnya terdengar seperti perintah.

“Selene. Viviene sudah berbaik hati menjengukmu. Kau malah bersikap seperti ini?”

Selene menoleh, matanya menatap suaminya lurus tanpa gentar.

“Kalau begitu ceraikan aku.”

Ruangan itu membeku. Dua pelayan setianya, Mona dan Daisy, menunduk semakin dalam, seolah takut badai akan segera pecah.

“Selene,” suara Dirian berubah tajam, penuh ancaman. “Hentikan omong kosong ini.”

Selene tersenyum tipis, getir. “Aku sudah cukup melihatmu. Jadi silakan keluar.”

“Selene!” Nada Dirian meninggi. Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, Viviene cepat-cepat menyela dengan suara lembut yang dibuat-buat.


“Duke, jangan marah… ini salahku. Seharusnya aku tidak datang. Suasana hati Selene memang buruk setelah kehilangan anak…”

Selene tidak menoleh. Baginya, semua itu hanyalah sandiwara murahan.

Dirian mendengus, lalu menatap Viviene. “Dia tidak layak mendapatkan perhatianmu. Ayo pergi.”

Pintu tertutup. Ruangan kembali sunyi.

Namun di luar, langkah Dirian terhenti ketika Viviene menggenggam lengannya.

“Kau dengar tadi, bukan?” bisiknya dengan mata berbinar. “Dia ingin bercerai. Bukankah itu kesempatan bagus untuk kita?”

Dirian menatapnya, wajahnya tetap dingin. “Dia baru saja keguguran. Ucapannya ngelantur.”

Lalu ia melepaskan tangan Viviene, berjalan lebih dulu meninggalkannya. Viviene terdiam, matanya menyipit. Senyum samar muncul di bibirnya.

Jika Selene memang serius dengan kata-katanya, maka jalan menuju posisi Duchess bisa saja terbuka lebar untuknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   14. Hanya satu hari sampai aku bebas

    Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   13. Dirian aneh

    “Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   12 Bagaimana jika aku mati ?

    Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   11. Maniak mesum dan Gila

    Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   10. Bercinta dengan Duke

    Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   9. Palsu

    Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status