LOGINBaru keguguran?
Ngelantur?
Viviene tertegun, wajahnya menegang menahan tidak suka. Dirian melepaskan tangannya begitu saja lalu pergi tanpa menoleh.
Diam di tempat, Viviene menyipitkan mata. Bibirnya melengkung menahan amarah, namun senyum samar perlahan muncul. Jika Selene serius dengan ucapannya tadi, bukankah peluangnya menjadi Duchess semakin besar?
“Duchess Leventis...” bisiknya, mencicipi gelar itu. Senyum licik merekah, lalu ia terkekeh pelan sambil mengikuti langkah Dirian.
.
.
Fajar menyingsing. Cahaya keemasan menembus kaca kastil, namun tak mampu menghangatkan dinding batu yang beku oleh rahasia.
Selene melangkah di lorong sunyi. Gaunnya berdesir pelan, wajahnya pucat tapi tatapannya tetap jernih. Ia baru hendak berbalik ketika sebuah pintu terbuka—pintu kamar Dirian.
Dari sana, Viviene keluar dengan senyum puas, rambut pirangnya berkilau disinari pagi. Sesaat kemudian, Dirian menyusul dengan wajah datar, seolah semua itu hanyalah kebiasaan biasa.
“Selene!” panggil Viviene lantang.
Selene menoleh. Senyum tipis menghiasi bibirnya—dingin, tak terbaca. Ia hanya menatap Dirian sejenak, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata.
Viviene panik. “A-aku hanya membangunkan Duke. Semalam aku… menginap di ruang tamu—”
“Tidak masalah,” potong Selene datar, seperti bilah baja.
Dirian mengernyit, Viviene gelisah. Namun Selene terus berjalan tegak, membuat para pelayan menunduk hormat—seolah hanya dirinya nyonya sejati kastil itu.
“Apa ini?” bisik Viviene gemetar. “Jangan-jangan dia tahu?”
“Kenapa kalau dia tahu?” jawab Dirian datar.
“Sayang… dia tetap istrimu. Jika dia bicara, semua orang akan memihaknya. Aku akan jadi perebut suami kakakku sendiri.”
“Vivi.” Dirian mengusap rambut emasnya, senyum tipis terbit. “Apa pun yang terjadi, hanya kau yang kucintai.”
Viviene menghela lega dan memeluknya erat. Para pengawal berpaling pura-pura tak melihat. Semua tahu hubungan itu, hanya Selene yang selama ini terjebak dalam kepercayaannya.
Tapi pagi ini… sikap Selene terasa berbeda.
Ruang makan dipenuhi aroma roti panggang dan sup hangat. Selene duduk anggun di kursinya, tatapannya kosong pada piring. Dua orang yang paling ingin ia hindari masuk bersamaan.
“Selene,” suara Viviene terdengar manis, terlalu manis. “Bolehkah aku sarapan bersamamu dan Duke?”
“Jika makan, ya makan saja,” jawab Selene dingin, tanpa mengangkat wajah.
“Selene!” tegur Dirian, tajam.
“Dia tamumu. Itu bukan urusanku.”
Ruangan membeku.
“Kenapa kau terus menargetkan Viviene?” tuduh Dirian.
“Aku?” Selene menoleh perlahan, tatapannya menusuk. “Aku bahkan tidak punya hak membuat masalah. Memangnya aku siapa?”
Seisi ruangan hening. Para pelayan menunduk lebih dalam. Nyonya mereka bukan lagi wanita lembut penuh pengabdian. Ia berubah—dingin, misterius, tak terbaca.
“Untung kau sadar diri,” balas Dirian sinis.
Selene tidak menjawab.
“Duke…” Viviene bersuara pelan. “Lebih baik aku pulang saja. Selene jelas tidak suka aku di sini.”
Selene tetap diam. Tidak menahan, tidak memohon.
“Selene, minta maaf pada Viviene,” perintah Dirian.
“Aku tidak salah padanya.”
Viviene buru-buru menengahi. “Tidak perlu. Aku tidak apa-apa.”
“Selene, kau benar-benar keterlaluan!” bentak Dirian.
Senyum tipis terbit di wajah Selene. “Terima kasih. Tapi tak perlu. Jika ingin menginap, lakukan saja. Kau tak perlu repot mencari alasan.”
Viviene tercekat. Dirian terdiam, wajahnya menegang.
“Aku masih sakit. Dokter melarangku bekerja berat. Sekalian saja, aku minta cuti,” lanjut Selene, tenang.
Kata-kata itu membuat rahang Dirian mengeras.
Hidangan daging panggang tersaji. “Itu burung?” tanya Viviene pelan.
“Itu hidangan khusus untuk Duchess,” jawab Ilard, kepala pelayan.
“Viviene alergi unggas!” seru Dirian.
“Tidak ada yang tahu dia menginap,” balas Selene dingin. “Menu ini disiapkan untukku.”
Dirian menahan marah.
Selene menatap Viviene, senyumnya samar. “Burung adalah favorit Duke. Sebagai tamu, sudah sepantasnya kau makan apa pun yang disuguhkan tuan rumah.”
“Selene!” bentak Dirian.
“Kenapa?” balasnya. “Semua orang memperhatikan kesehatanku. Tapi suamiku… lebih sibuk memperhatikan selera tamunya.”
Viviene pucat. “Aku bisa makan yang lain…”
“Ambilkan makanan lain untuk Lady Moreau,” titah Selene pada Ilard.
Dirian mendekat. “Apakah kau senang membuat masalah?”
“Aku masih Duchess. Aku masih istrimu. Jika kau keberatan, ceraikan aku.”
Kata-kata itu menghantam Dirian. Wajahnya mengeras.
“Selene…” suara Viviene lembut, menenangkan "hal seperti ini adlah hal pribadi , lebih baik bicarakan berdua dengan Duke."
Selene menoleh. “Tidak masalah , ngomong-ngomong mengapa tidak tinggal sekalian, Viviene? Bukankah kau sudah sering menginap?”
Viviene pucat. “Aku—”
“Vivi tidak mungkin tinggal di sini!” potong Dirian keras.
Deg. Hati Viviene berdegup. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan.
“Apa masalahnya?” Selene mendesak. “Kalian pernah saling mencintai. Jika perasaan itu tumbuh lagi, mengapa tidak menikah?”
“Selene!” Dirian meledak.
“Aku tidak mungkin menikahi saudaramu!” suaranya pecah.
“Mengapa tidak?” Selene menyandarkan tubuh dengan santai. “Kau punya kekuasaan, kekuatan. Seorang Duke bisa memiliki lebih dari satu wanita. Mengapa tidak menikahi Viviene… dan menceraikan aku?”
Dirian melangkah masuk ke area yang dijaga ketat. Obor-obor dipasang di sepanjang dinding, menerangi puluhan orang yang kini berlutut dengan tangan terikat. Begitu melihatnya, Lucien menghampiri.“Kau datang?” tanya Lucien pelan.Dirian hanya mengangguk, matanya langsung tertuju pada para tawanan.“Apa yang kau dapatkan?” tanya Dirian.Lucien tidak menjawab dengan kata-kata terlebih dulu. Ia menarik salah satu tawanan ke depan dan merenggut lengan bajunya. Di sana, tepat di bawah siku, terpampang tato ular yang melingkar.“Mereka adalah sisa pemberontak yang kabur saat itu,” jelas Lucien. “Kelompok yang dulu mencoba menggulingkan ayahku. Kau pasti familiar dengan tato ini.”
Selene menelan ludah. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Lelaki itu… justru berada di depan dirinya.Dalam hitungan detik, Selene merasakan sesuatu di dalam dirinya runtuh dan hidup kembali pada saat yang sama. Sebuah harapan kecil yang berani muncul, meski ia takut mempercayainya.Selene meraih tangan Dirian, dan begitu tubuh mereka bersentuhan, Dirian menariknya hingga Selene memeluknya erat. Kakinya melingkar di tubuh Dirian, mencari pegangan apa pun. Tepat pada saat itu, besi penyangga dan tirai yang sebelumnya menahan mereka runtuh ke bawah, jatuh menabrak dinding dengan suara keras. Selene gemetar hebat.“Tidak apa,” bisik Dirian lembut namun tegas, satu lengannya menopang tubuh Selene, “aku akan membawamu naik.”Selene tidak mampu mengat
Suara Selene menggema ke seluruh ruangan runtuh itu, bergetar namun tegas.Gemanya terdengar oleh Count, Sylar, Dirian, bahkan para ksatria yang tengah mencari jalur aman untuk turun.Masalahnya… posisi mereka bertiga berada di tengah lubang besar akibat longsoran. Dari titik mana pun, jika salah langkah sedikit saja, mereka semua bisa jatuh ke dasar yang bahkan belum terlihat karena gelap.Dirian sudah berteriak memerintahkan penerangan.Namun cahaya obor hanya menembus sebagian, memperlihatkan betapa dalamnya lubang itu. Dasarnya tak tampak.“SELEEEENE!!” seru Count. “Apa pun yang dia katakan, jangan dengarkan! Ayah mohon, jangan lepaskan tangannya!”Sylar menatap ayahnya dan bisa
Ksatria-ksatria bayangan milik Dirian langsung menghilang ke segala penjuru, bergerak secepat bayangan. Bjorn memimpin beberapa orang menuju sisi tebing, sementara yang lain menerobos kembali ke dalam bangunan yang masih runtuh pelan di tengah jeritan dan debu tebal.“Apa yang terjadi?!” Lucien menghampiri Dirian, yang tengah berteriak menembus keributan.“Istriku di atas!” ketus Dirian tanpa menoleh sedikit pun, napasnya terputus-putus oleh panik.“Aku akan meminta orang mencarinya juga-”“Tidak!” Dirian membentak keras.Lucien terdiam, terkejut dengan amarah yang jarang sekali ia dengar dari mulut Dirian.“Kerahkan orangmu mencari tahu apa
Selene terpaku sejenak. Hatinya berdegup tak karuan, bukan karena terkejut… tetapi karena ia tahu siapa yang menulisnya.Dan orang itu tidak seharusnya berada di sini.Selene mendongak, menatap ke atas. Mansion Flurries menjulang megah dengan banyak lantai dan balkon-balkon kaca yang memantulkan cahaya lampu kristal raksasa. Kristal-kristal itu berkilau, membuat seluruh ruangan tampak seperti istana dari cerita dongeng.Tatapannya turun kembali ke Sylar yang sedang mendengarkan Duke Ragnar berbicara dengan beberapa bangsawan pria. Kemudian ia mencari Dirian, berdiri tak jauh di sisi lain aula, berbicara datar namun tegas seperti biasa. Odet yang tadi menemaninya kini tertawa bersama Estela dan beberapa bangsawan wanita lainnya.A
Suara Selene membuat restoran itu membeku.Dalam satu tarikan penuh kemarahan, Selene menyeret Sylar hingga Sylar tak bisa menolak dan akhirnya mengikuti langkah kakaknya.Dirian menatap Viviene.Ragnar menatap Viviene.Viviene mencoba tersenyum. “Dia hanya membual.”Ragnar menggeleng kecil. “Duchess sampai bereaksi begitu? Itu jelas bukan bualan. Lady… apakah Anda memang sejahat itu?”Tanpa menunggu jawaban, Ragnar bangkit dan pergi, meninggalkan Dirian dan Viviene.“Dirian, aku tidak seperti itu,” ujar Viviene gelagapan.“Sepertinya ada banyak







