/ Romansa / Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai! / 4. Mengapa tidak menceraikan aku ?

공유

4. Mengapa tidak menceraikan aku ?

작가: Raisaa
last update 최신 업데이트: 2025-09-19 08:01:08

Pagi menjelang, cahaya matahari menembus kaca jendela tinggi kastil, jatuh samar di dinding batu dingin. Namun kehangatan itu tidak pernah benar-benar masuk. Di dalam, udara tetap beku, seakan-akan kastil ini hidup dengan denyut kebohongan yang terlalu lama dipelihara. Tidak ada tragedi. Tidak ada luka. Tidak ada yang retak—setidaknya di permukaan.

Langkah Selene terdengar teratur di lorong panjang. Gaunnya bergesekan lembut dengan lantai marmer, berdesir dalam keheningan yang terasa mencekik. Ia baru saja berbalik arah ketika sebuah pintu terbuka.

Bukan sembarang pintu. Itu adalah pintu kamar Dirian—ruangan yang bahkan ia, sang istri sah, tak pernah diizinkan memasukinya.

Dan dari balik pintu itu, keluarlah Viviene. Wajahnya berseri, matanya berbinar seolah tak ada yang salah, seolah keluar dari kamar Duke hanyalah hal yang biasa. Tidak ada rasa malu, tidak ada usaha menutupi. Sedetik kemudian, Dirian menyusul keluar. Ekspresinya tetap dingin, tak terguncang, seolah kejadian itu hanyalah rutinitas pagi.

“Selene!” panggil Viviene, suaranya lantang, disengaja.

Selene menoleh. Sebuah senyum tipis melengkung di bibirnya—senyum dingin, senyum yang sulit ditebak, sama sekali bukan senyum seorang istri yang terluka. Pandangannya lurus menembus mata Dirian, sebelum ia kembali melangkah tanpa sepatah kata.

“A-aku hanya membangunkan Duke,” suara Viviene mulai tergagap, mencoba memberi alasan. “Semalam aku… menginap di ruang tamu, jadi—”

“Tidak masalah,” potong Selene singkat. Datar. Ucapannya terdengar seperti bilah baja yang menutup ruang penjelasan.

Dirian menoleh cepat, keningnya berkerut. Viviene menegang, wajahnya canggung. Namun Selene tidak berhenti, langkahnya tegak, berwibawa. Para pelayan yang melihat hanya bisa menunduk, mengikuti irama langkah Nyonya mereka—seolah hanya Selene yang pantas dihormati di lorong itu.

Kebisuan menebal.

“Apa ini?” bisik Viviene pada Dirian, matanya gelisah. “Jangan-jangan dia… tahu sesuatu?”

“Kenapa kalau dia tahu?” jawab Dirian datar.

“Sayang,” nada Viviene merendah, hampir panik. “Dia tetap istrimu. Jika dia nekat bicara, semua orang akan memihaknya. Aku… akan terlihat sebagai wanita yang merebut suami kakakku sendiri.”

“Vivi.” Suara Dirian melembut, tangannya terulur membelai rambut emas wanita itu. Senyum kecil hinggap di bibirnya. “Apapun yang terjadi, hanya kau yang kucintai.”

Leganya segera membanjiri hati Viviene. Ia langsung memeluknya erat, menggantungkan dirinya pada janji itu. Para pengawal dan pelayan berpaling, menundukkan kepala. Mereka semua tahu apa yang terjadi di kastil ini. Semua tahu hubungan terlarang itu. Hanya Selene yang selama ini dibutakan kepercayaannya.

Namun sikap Selene pagi ini… berbeda. Terlalu berbeda.


Ruang makan dipenuhi aroma roti panggang dan sup hangat ketika Selene duduk anggun di kursinya. Tatapannya kosong pada piring, wajahnya tak sedikit pun menoleh saat dua orang yang paling ingin ia hindari masuk.

“Selene,” suara Viviene terdengar manis, terlalu manis. “Bolehkah aku sarapan bersamamu dan Duke?”

“Jika makan, ya makan saja,” jawab Selene, dingin tanpa mengangkat wajah.

“Selene!” tegur Dirian, tajam.

“Dia tamumu. Itu bukan urusanku.”

Ucapan itu membuat seisi ruangan membeku. Viviene menegang, Dirian menatap tajam. Selene yang biasanya berusaha keras mengambil hati, kini sama sekali tidak peduli.

“Kenapa kau terus menargetkan Viviene?” suara Dirian berat, penuh tuduhan.

“Aku?” Selene menoleh perlahan, tatapannya menusuk. “Aku bahkan tidak punya hak membuat masalah. Memangnya aku siapa?”

Ruangan langsung hening. Para pelayan menunduk lebih dalam. Nyonya mereka bukan lagi wanita lembut penuh pengabdian. Ia berubah—dingin, misterius, tak terbaca.

“Untung kau sadar diri,” balas Dirian, sinis.

Selene tidak menanggapi.

“Duke,” sela Viviene, wajahnya dibuat gusar. “Lebih baik aku pulang saja. Selene jelas tidak suka aku di sini.”

Selene tetap diam. Tidak menahan, tidak memohon.

“Selene, minta maaf pada Viviene,” perintah Dirian, tegas.

“Aku tidak salah padanya,” jawab Selene, menatap lurus pada suaminya.

Viviene buru-buru menengahi, berusaha tampak mulia. “Tidak perlu. Aku tidak apa-apa.”

“Selene, kau benar-benar keterlaluan!” bentak Dirian. “Dia menginap karena khawatir padamu!”

Senyum tipis terbit di wajah Selene, penuh sindiran. “Terima kasih. Tapi tak perlu. Jika ingin menginap, lakukan saja. Kau tak perlu repot mencari alasan.”

Viviene tercekat. Dirian terdiam, wajahnya menegang. Selene bahkan tidak peduli lagi pada topeng yang selama ini dipakainya.

Pelayan datang membawa hidangan. Aroma daging panggang memenuhi meja.

“Bukan kau yang memasak?” tanya Dirian tiba-tiba.

“Untuk apa?” jawab Selene datar.

Dirian tercekat. Selama tiga tahun, ia hanya mau makan dari tangan Selene. Namun kini wanita itu melepasnya begitu saja.

“Aku masih sakit. Dokter melarangku bekerja berat. Sekalian saja, aku minta cuti,” lanjut Selene, tenang namun tajam.

Kata-kata itu membuat rahang Dirian mengeras. Ia hendak membalas, namun terhenti saat Viviene menatap hidangan dengan gusar.

“Itu burung?” tanyanya pelan.

“Itu hidangan khusus untuk Duchess,” jawab Ilard, kepala pelayan.

Dirian langsung menoleh tajam. “Kau tahu Viviene alergi unggas, bukan?”

“Tidak ada yang tahu dia menginap,” Selene balas dingin. “Menu ini disiapkan sesuai instruksi dokter untukku.”

“Seharusnya kau mengerti lebih dulu.”

Selene menoleh ke Viviene, senyumnya samar. “Apa aku harus selalu mengalah untuk tamumu? Burung adalah favorit Duke. Sebagai tamu, sudah sepantasnya kau makan apa pun yang disuguhkan tuan rumah.”

“Selene!” bentak Dirian.

“Kenapa?” balasnya tenang. “Semua orang di kastil ini memperhatikan kesehatanku. Tapi suamiku… lebih sibuk memperhatikan selera tamunya.”

Viviene buru-buru menengahi, wajahnya kaku. “Sudah cukup. Aku bisa makan yang lain.”

Dirian menatap Selene, matanya menyipit. Wanita ini tak lagi sama.

“Ambilkan makanan lain untuk Lady Moreau,” titah Selene pada Ilard, tegas dan tak bisa dibantah.

“Baik, Nyonya.”

Dirian mendekat, suaranya menekan. “Apakah kau senang terus membuat masalah?”

Selene menegakkan kepala. “Aku masih Duchess. Aku masih istrimu. Jika kau keberatan, ceraikan aku.”

Kata-kata itu menghantam Dirian. Wajahnya berubah, matanya gelap. Viviene menatap, perhatiannya terpaku pada reaksi itu. Bukankah Dirian sendiri pernah berkata tidak mencintai Selene? Mengapa setiap kali kata “cerai” terucap, lelaki itu justru terlihat terguncang?

“Selene,” suara Viviene terdengar manis, mencoba menenangkan. “Sebaiknya hal ini dibicarakan berdua dengan Duke.”

Selene menoleh, senyumnya tipis. “Tidak ada yang pribadi. Kau sering ke sini, bukan? Mengapa tidak tinggal sekalian?”

“A-aku…” wajah Viviene pucat.

“Vivi tidak mungkin tinggal di sini!” potong Dirian keras.

Deg. Hati Viviene berdegup kencang. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan bahwa ada sesuatu yang harus disembunyikan.

“Apa masalahnya?” Selene menimpali, suaranya setenang pisau. “Kalian pernah saling mencintai. Jika perasaan itu tumbuh lagi, mengapa tidak menikah?”

“Selene!” pekik Dirian, emosinya pecah.

Viviene menatapnya. Wajah Dirian kacau, penuh pergulatan.

“Aku tidak mungkin menikahi saudaramu!” akhirnya ia berseru.

“Mengapa tidak?” Selene menyandarkan tubuhnya dengan santai. “Kau punya kekuasaan, punya kekuatan. Seorang Duke biasa memiliki lebih dari satu wanita. Mengapa tidak menikahi Viviene… dan menceraikan aku?”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   14. Hanya satu hari sampai aku bebas

    Dirian benar-benar kembali sebelum makan malam, seperti janjinya. Namun bukan sendirian—ia pulang bersama Viviene, yang menempel erat di sisinya. Dari pembatas lantai dua, Selene berdiri diam. Pandangannya lurus, dingin, tetapi sorot matanya menyembunyikan riak yang tak bisa dikendalikan. Ia menyaksikan keduanya masuk ke aula besar, berjalan beriringan seolah dunia hanya milik mereka.“Dirian…” suara Viviene terdengar manja, namun penuh tekanan. Jari-jarinya mencengkeram lengan lelaki itu erat-erat, tanpa peduli tatapan puluhan pelayan yang memenuhi aula. “Ibu dan nenekmu sudah pergi. Kau masih akan mengusirku juga?”Gema suaranya memantul di dinding tinggi aula, membuat suasana menegang. Biasanya, Viviene dan Dirian cukup berhati-hati menjaga kedekatan mereka di hadapan Selene. Tapi hari ini? Se

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   13. Dirian aneh

    “Mati?” suara Dirian meninggi, tubuhnya bangkit dari pembaringan. Tatapannya tajam, nyaris menusuk.“Jangan bicara omong kosong,” sambungnya, lalu berdiri. Ia harus membersihkan diri—masih banyak hal menantinya.“Aku juga pasti akan mati,” ucap Selene lirih, tapi penuh kesungguhan.Dirian menoleh, matanya menancap pada wajah istrinya.“Kaupun juga akan mati… kalau waktunya tiba,” Selene melanjutkan dengan nada tenang.Keheningan menebal. Dirian diam, sorotnya tak bergeser sedikit pun.“Aku hanya ingin tahu,” suara Selene pelan, namun setiap kata menggetarkan, “bagaimana kau… jika aku mati?”Dirian menghela napas, menepis beban yang tak ingin ia hadapi.“Jangan bicarakan hal yang tidak masuk akal,” sahutnya dingin, lalu melangkah masuk ke ruang mandi.Selene tetap berbaring. Aroma khas suaminya memenuhi ruangan, melekat di udara, menenangkan sekaligus menusuk kalbunya. Mungkin benar kata orang—kita akan selalu merasa lebih nyaman di dekat orang yang kita cintai. Namun bagi Dirian, tent

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   12 Bagaimana jika aku mati ?

    Pagi hari, Selene membuka mata dengan berat. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menerangi sebagian wajahnya. Ia menoleh sedikit, dan matanya langsung menangkap sosok Dirian yang masih terlelap di sampingnya.Itu adalah pemandangan langka. Biasanya, saat ia bangun, tempat di sampingnya selalu kosong. Dirian jarang—atau hampir tidak pernah—menemaninya tidur hingga pagi. Ada banyak perubahan akhir-akhir ini, dan Selene sendiri tidak tahu harus menafsirkannya bagaimana.mungkin karena mereka melakukannya hingga hampir pagi , sehingga Dirian kelelahan sekarang dan tidak sadar dia masih tidur disamping Selene . atau mungkin karena ini adalah kamarnya sendiri sehingga dia cukup nyaman tertidur hingga pagi seperti sekarang iniIa mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi gagal. Lengan Dirian yang berat melingkari perutnya, menahan tubuhnya erat agar tak bisa kabur. Nafas hangat lelaki itu b

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   11. Maniak mesum dan Gila

    Puas?Selene tidak pernah tidak terpuaskan, bahkan tidak pernah memikirkan lelaki lain karena Dirian yang selalu mendominasinya . Dimana letak ketidakpuasannya ketika dia harus mengimbangi hasrat suaminya?Dirian memiliki libido yang tinggi sehingga tidak pernah puas bahkan dengan tiga kali permainan. Apalagi mereka memiliki jadwal malam intim sehingga tidak melakukanya setiap hari, itu menyebabkan tingkat kemesumannya bisa tinggi jika malam intim seperti ini. Pernah sekali ketika mereka bersama pergi kewilayah utara dimana disana adalah wilayah kekuasaan Dirian yang dipegang oleh nenek dan ibunya serta beberapa orang kepercayaannya. Selama satu bulan disana setiap malam Dirian tidak membiarkan dia tidur dan terus menggagahinya sampai dia hampir keguguran. Itu adalah kehamilan pertamanya dan tentu saja setelah itu dia benar benar keguguran hanya karena suaminya tidak membiarkan dia hamil benihnya. Miris !Mereka kembali ke ruang tidur. Dirian membaringkan Selene di atas ranjang besar

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   10. Bercinta dengan Duke

    Air hangat sudah disiapkan pelayan. Dirian membuka pakaian tanpa ragu, tubuhnya tampak sempurna dalam cahaya redup. Ia masuk ke bak mandi, membuka botol wine, menuang isinya ke dalam gelas. Dia duduk dengan tenang didalam bak.“Aku tidak boleh minum alkohol,” ucap Selene, mengingatkan. Tubuhnya masih rapuh setelah keguguran.“Aku akan minum sendiri. Kemarilah.” Dirian mengulurkan tangan.Selene melepas jubah, lalu menurunkan gaun tidurnya hingga jatuh ke lantai. Tubuh polosnya terekspos sempurna , Dirian menatapnya tanpa berkedip, matanya penuh dengan hasrat yang tak ia sembunyikan. Selene kemudian meraih tangan Dirian dan masuk ke bak, duduk di pangkuannya. Dia duduk membelakangi Dirian walaupun dia dipangku oleh Dirian.Air hangat menyelimuti tubuh mereka. Sentuhan kulit tanpa sehelai kain membuat wajah Selene merona. Aroma wine dan tubuh Dirian bercampur, menjeratnya dalam suasana yang intim. Suasana yang selalu ada ketika mereka melakukan hal ini bahkan sejak malam pertama . Jika

  • Duke Dirian, Nyonya Ingin Bercerai!   9. Palsu

    Begitu pintu kastil menutup di belakang mereka, Selene melepaskan genggamannya dari tangan Viviene. Udara sore terasa berat, langit merona merah keemasan, namun hawa di antara kedua saudara itu dingin membeku. Para pengawal yang tadi mengikuti langkah mereka sudah menjauh, sengaja memberi ruang.Selene menatap lurus ke depan, suaranya datar tanpa getar.“Ibu memang seperti itu. Keras, sulit dihadapi… apalagi ditenangkan.”Viviene hanya menatapnya, matanya berkilat, masih menyimpan luka dari makian Odette barusan.“Dan jika beliau sudah membenci seseorang,” lanjut Selene lirih, “selamanya takkan ada pengampunan. Beliau tidak pernah lupa.”Viviene mendengus, senyum getir muncul.“Apa kau sedang memperingatkanku? Tentang apa yang terjadi sebelumnya?”“Aku hanya memberitahumu,” jawab Selene, menoleh sebentar lalu kembali menatap ke depan. “Setidaknya, kau bisa bersiap mencari cara merebut hatinya.”Viviene menyipitkan mata. “Kau bicara seolah kau mampu melakukannya.”Selene tertawa pendek

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status