Masuk“Nyonya Leventis pasti diracuni oleh Selene. Dia menutup kastil dengan alasan Duke tak ada karena perang.” Viviene menatap ibunya dengan nada penuh tuduhan.
Countess mengerutkan dahi. “Kau bilang dia tak menyukai Selene, tapi mengapa terlihat sangat menjaganya?”
“Aku juga tak tahu. Paling Selene bertingkah manipulatif lagi—ibu tahu bagaimana caranya,” jawab Viviene, suaranya penuh kesal.
Countess mencibir. “Kau juga tak bisa merayu Duke. Malah diusir.”
“Aku bukan diusir. Dia khawatir aku terluka,” Viviene cepat membela diri.
“Jika Duke benar-benar mati di medan perang, bagaimana nanti? Selene pasti akan menuntut haknya,” ucap Countess, nada suaranya bergetar oleh
Alis Dirian berkerut. “Syarat?”“Mulai malam ini dan seterusnya, aku akan tidur di sini. Dan apa pun alasannya, kau juga harus tidur bersamaku. Jika tidak… kau tidak boleh menyentuhku lagi.”Sekejap, Dirian mematung; syarat itu menghantam egonya. Tapi aroma tubuh Selene, panas kulitnya, dan tatapan penuh tantangan membuat otaknya mendidih. Ia membalikkan tubuh Selene hingga berhadapan, tangan mencengkeram pinggang dan wajah menunduk menantang.“Nyalimu besar juga buat perjanjian denganku.”“Malam ini kau boleh dapatkan aku. Tapi selanjutnya? Ikuti syaratku atau kau tak dapat apa pun dariku!” tegas Selene, suaranya menggigit tapi sensual.Dirian menatap mata Selene, napasnya berat, aroma peony dan sisa pinus di kulitnya berpadu membakar udara kam
Senyum tipis muncul di wajahnya—senyum bukan lagi milik wanita lemah yang hanya bisa menangis, melainkan milik seseorang yang perlahan bangkit dari keterpurukan.Musim dingin akan segera datang, dan Selene tahu… kali ini, bukan dia yang akan membeku.Dirian saat tengah menemani Viviene memilih gaun, namun ia hanya diam, memperhatikan wanita itu dengan ekspresi tak terlihat.“Sayang! Apa aku cocok dengan ini?” tanya Viviene bersemangat.Dirian hanya mengangguk.“Kalau yang ini?” lanjutnya sambil memutar diri di depan cermin. Dirian kembali mengangguk.Viviene bisa merasakan ketidakpedulian lelaki itu, sehingga ia menghampirinya.“Apa yang terjadi padamu? Apakah kau menyesal m
Nada suara Dirian rendah, namun ada sedikit kekhawatiran yang terselip. Dia terus menatap Selene yang nampak terlihat baik baik saja, seolah apa yang terjadi kemarin hanyalah halusinasi.Selene menatapnya dengan senyum tipis, wajahnya berseri.“Siapa bilang aku sakit? Aku baik-baik saja,” jawab Selene santai, seolah-olah semalam sama sekali tidak terjadi.Dirian hanya menatap sebentar, lalu mulai menyuap makanannya tanpa bicara. Aroma masakan itu membuat dadanya sedikit hangat, tapi ego dan rasa ingin tahu tetap menahan lidahnya untuk tidak berkomentar lebih banyak.“Oh iya, aku akan hadir di pesta penyambutan besok,” ucap Selene tiba-tiba, suaranya ringan, seolah ingin menguji reaksinya saat Dirian sed
Teriakan Dirian menggema keras di seluruh ruangan, menghentikan waktu seketika.Tubuh Selene tersentak ketika tangan dingin lelaki itu meraih pergelangan tangannya — tangan yang kini berlumur darah.“Apa yang kau lakukan?!” suaranya berat, bergema dan penuh kemarahan bercampur ketakutan.Gerakan Dirian cepat, panik, sementara matanya menatap darah yang menetes dari jari Selene, menodai lantai dan gaun tidurnya. luka ditangannya itu memprlihatkan bagaimana bekas kukunya yang mencengkeram.Selene menatapnya perlahan, wajahnya pucat dan kosong, seolah belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata.Sebelum sempat menjawab, Dirian sudah memegang kedua tangannya kuat-kuat — terlalu kuat hingga Selene
Selene membeku. Kata-kata itu menggema di kepalanya, menembus segala benteng yang sudah lama ia bangun untuk melindungi dirinya dari rasa kecewa.Apakah ini… mertuanya? Wanita yang selama ini menatapnya seolah ia hanya bayangan di sudut istana? Yang tak pernah membelanya, bahkan ketika hatinya hancur di depan mata semua orang? Yang selalu mencari kesalahannya — sekecil apa pun, seolah ia tak pantas berdiri di sisi Dirian?Selene menatap Odet lama, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Apa dia tidak salah lihat? Wanita itu benar-benar menangis. Air mata membasahi pipinya, jatuh satu-satu di atas punggung tangan Selene yang masih digenggam erat.“Ibu…” suara Selene pelan, nyaris tak keluar. Namun Odet hanya menggeleng, menatapnya dengan mata yang kali ini tak lagi menyimpan kebanggaan seorang bangsawan, melainkan penyesalan seorang ibu.“Maafkan aku, Selene,” katanya lirih. “Aku terlalu lama diam. Aku terlalu lama berpura-pura tidak melihat apa yang sebenarnya ter
Odet mengerjap, kaget. “Selene, bukan Dirian pembunuhnya, tapi Viviene.”“Aku tahu bukan dia yang membunuhnya!” suara Selene tiba-tiba naik, nyaring dan bergetar. “Tapi dia yang membiarkannya! Dia yang diam saja, membiarkan wanita itu meremehkanku dan menghancurkan aku!”Kata-kata itu meledak seperti pecahan kaca di udara. Odet terdiam, hanya bisa menatap menantunya yang kini bergetar karena emosi.“Bukan dia yang membunuh,” Selene melanjutkan dengan suara pecah, “tapi dia yang mendorong bayinya dan juga aku ke dalam kematian itu!”Air mata mengalir deras di pipinya, tak terbendung lagi.Odet akhirnya maju, duduk di tepi ranjang dan meraih tangan Selene, menghapus air mata







