 LOGIN
LOGINDi dekat markas, seorang pelari terengah-engah datang membawa kabar. “Yang Mulia — pasukan Putra Mahkota terlihat!” serunya.
Dirian segera berdiri. “Lindungi mereka,” perintahnnya singkat.
Mereka saling berpandangan, ragu. “Pasukan yang mereka bawa jauh lebih besar dari pasukan kita — bagaimana mungkin kita yang harus melindungi mereka?” salah seorang mengeluh.
Dirian menarik napas panjang, menatap wajah-wajah yang menunggu jawaban. “Lakukan saja apa yang benar,” jawabnya tenang.
Sejenak masih ada keraguan. “Kalau kita pergi ke sana, benteng ini akan kosong,” kata yang lain.
Dirian mengangkat bahu santai. “Ada aku,” jawabnya datar.

Teriakan Dirian menggema keras di seluruh ruangan, menghentikan waktu seketika.Tubuh Selene tersentak ketika tangan dingin lelaki itu meraih pergelangan tangannya — tangan yang kini berlumur darah.“Apa yang kau lakukan?!” suaranya berat, bergema dan penuh kemarahan bercampur ketakutan.Gerakan Dirian cepat, panik, sementara matanya menatap darah yang menetes dari jari Selene, menodai lantai dan gaun tidurnya. luka ditangannya itu memprlihatkan bagaimana bekas kukunya yang mencengkeram.Selene menatapnya perlahan, wajahnya pucat dan kosong, seolah belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata.Sebelum sempat menjawab, Dirian sudah memegang kedua tangannya kuat-kuat — terlalu kuat hingga Selene
Selene membeku. Kata-kata itu menggema di kepalanya, menembus segala benteng yang sudah lama ia bangun untuk melindungi dirinya dari rasa kecewa.Apakah ini… mertuanya? Wanita yang selama ini menatapnya seolah ia hanya bayangan di sudut istana? Yang tak pernah membelanya, bahkan ketika hatinya hancur di depan mata semua orang? Yang selalu mencari kesalahannya — sekecil apa pun, seolah ia tak pantas berdiri di sisi Dirian?Selene menatap Odet lama, nyaris tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Apa dia tidak salah lihat? Wanita itu benar-benar menangis. Air mata membasahi pipinya, jatuh satu-satu di atas punggung tangan Selene yang masih digenggam erat.“Ibu…” suara Selene pelan, nyaris tak keluar. Namun Odet hanya menggeleng, menatapnya dengan mata yang kali ini tak lagi menyimpan kebanggaan seorang bangsawan, melainkan penyesalan seorang ibu.“Maafkan aku, Selene,” katanya lirih. “Aku terlalu lama diam. Aku terlalu lama berpura-pura tidak melihat apa yang sebenarnya ter
Odet mengerjap, kaget. “Selene, bukan Dirian pembunuhnya, tapi Viviene.”“Aku tahu bukan dia yang membunuhnya!” suara Selene tiba-tiba naik, nyaring dan bergetar. “Tapi dia yang membiarkannya! Dia yang diam saja, membiarkan wanita itu meremehkanku dan menghancurkan aku!”Kata-kata itu meledak seperti pecahan kaca di udara. Odet terdiam, hanya bisa menatap menantunya yang kini bergetar karena emosi.“Bukan dia yang membunuh,” Selene melanjutkan dengan suara pecah, “tapi dia yang mendorong bayinya dan juga aku ke dalam kematian itu!”Air mata mengalir deras di pipinya, tak terbendung lagi.Odet akhirnya maju, duduk di tepi ranjang dan meraih tangan Selene, menghapus air mata
Senyum samar muncul di bibir Selene — tapi bukan senyum bahagia. Itu senyum yang menyakitkan, seperti luka yang tak bisa dijahit lagi. “Kenapa aku tidak boleh mati, Dirian?”"Kau boleh mengurung diri, tidak melakukan apapun juga tidak masalah. namun kau harus tetap makan." ucap Dirian."Apakah kau takut aku mati?" tanya Selene memastikan."Jangan bicara omong kosong lagi." Balasnya.Hening. Detik jam berdetak pelan, berpadu dengan napas mereka yang terdengar berat.Dirian ingin menjawab, tapi tak satu pun kata terasa benar. Ia sadar, luka yang sudah terlalu dalam tak bisa disembuhkan hanya dengan penyesalan.
Ruangan seketika hening.Dirian hanya menatap Megan, rahangnya mengeras, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja ditampar kenyataan.Megan tahu batasnya. Ia tidak menyinggung tentang kehamilan Selene di hadapan sang duke, karena ia tahu itu bukan waktunya. Namun Odet, yang berdiri di belakang Dirian, mengerti betul makna di balik tatapan Megan — bahwa kondisi Selene lebih rapuh dari yang terlihat.Setelah semuanya dijelaskan, Megan memasang infus di tangan Selene dengan hati-hati. Jarum itu menusuk kulit pucat wanita itu, dan Dirian hanya bisa memandang — tanpa bergerak, tanpa berkata apa-apa. Tangannya mengepal di atas lutut, seolah menahan sesuatu di dadanya.“Dia harus banyak istirahat,” ujar Me
“Panggil Ilard,” ucap Dirian akhirnya.Bjorn segera keluar, memanggil kepala pelayan yang setia itu. Semua orang di kastil kini gelisah—tak ada yang menyangka Nyonya mereka benar-benar mengurung diri hingga malam.Tak biasanya Selene bertingkah seperti ini.“Ya, Tuan,” sahut Ilard berhati-hati ketika masuk.“Aku sudah meminta semua menu makanan yang dia sukai pada koki, tapi tak ada satu pun yang dia inginkan. Bahkan katanya semua itu membuatnya jijik,” ucap Dirian, nada suaranya mengandung frustasi yang jelas.Ilard menatap tuannya sejenak.“Tidak ada yang dia mau?” tanya Dirian lagi, seakan sulit mempercayai.








