LOGINKali ini, Estela terdiam sebentar. Kemudian suaranya kembali lembut namun sarat sindiran.
“Masalah sepertinya selalu mengitari Duchess itu. Sampai kapan kau akan melindunginya, Kakak?”
Ucapan itu seperti cambuk bagi Odet. “Kau bicara seolah menantuku itu sumber masalah.”
“Semua orang memiliki masalah,” sahut Estela santai. “Namun jika sekarang kau melangkah sejauh ini untuk membelanya, bagaimana nanti bila masalah lain muncul lagi?”
Keheningan menggantung. Odet menarik napas panjang, menahan diri agar tidak meninggikan suara.
“Orang seperti menantuku , yang tenang dan tahu menempatkan diri tidak menciptakan masalah. Justru orang-orang yang iri padanya lah yang selalu berusaha me
Ketiganya menoleh bersamaan.Dirian berdiri di sisi mobil, sosoknya tegap dan berwibawa, diselimuti mantel hitam panjang yang kontras dengan semburat cahaya jingga senja. Bayangan tubuhnya jatuh memanjang di halaman batu, menegaskan betapa besar kehadirannya di antara mereka. Tatapannya tajam—menembus—dan jelas bukan diarahkan pada siapa pun... selain Selene.Udara sore yang tadinya hangat mendadak terasa dingin.Odet spontan menegakkan punggungnya, sedikit melirik ke arah putranya dengan ekspresi antara kaget dan geli yang berusaha disembunyikan. Zayn, yang berdiri tak jauh darinya, segera menunduk sopan, mencoba menahan keterkejutannya meski napasnya terdengar pelan.Sementara itu, Selene… tetap diam di tempat.Tidak bergerak,
Dirian tidak pulang.Itu hal pertama yang disadari Selene pagi itu—setelah menyelesaikan rutinitasnya seperti biasa. Semua berjalan normal: ia bangun, mandi, bekerja, dan menandatangani tumpukan dokumen yang menunggu di mejanya. Namun satu hal tetap sama sejak semalam: kamar itu kosong.Dirian tidak kembali.Selene menatap jendela ruang kerjanya yang memantulkan bayangan dirinya sendiri, lalu tersenyum tipis—senyum yang hambar, nyaris tak berarti.“Dia pasti sedang bersenang-senang dengan wanitanya,” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi matanya menyimpan gurat kecewa yang tak bisa disembunyikan.Bjorn sudah memberitahu semuanya.Duke Leventis, suaminya, memilih menghabiskan waktu bersama V
Dirian menatapnya lama—diam, tanpa jawaban.Dan dalam diam itu, Viviene akhirnya mengerti…bahwa tidak peduli seberapa keras ia memohon, hati pria itu sudah bukan miliknya lagi.“Vivi, masih banyak hal yang harus aku lakukan.”Suara Dirian terdengar tenang, tapi tegas. “Jikapun kau memintaku untuk tinggal di sini, aku tidak bisa. Namun aku berjanji akan mengunjungimu setiap hari.”Viviene terdiam. Bibirnya sedikit mengerucut, seperti anak kecil yang sedang menahan kecewa.“Kau janji?” tanyanya ragu, menatap Dirian dengan mata yang mulai lembap.Dirian mengangguk, senyum tipis terlukis di wajahnya.“Tentu. Kita bisa belanja, berjalan
“Keluarlah, Duke ada di luar,” ucap Count pelan saat membuka pintu kamar Viviene.“Suruh saja dia masuk,” balas Viviene tanpa menoleh, suaranya lembut tapi terdengar keras kepala.“Duke tidak ingin,” sahut Count pelan, seperti sedang menahan jengkel pada putrinya sendiri.Viviene membulatkan mata, tidak percaya. Dia menatap jendela yang terbuka sebagian—tirai bergoyang ditiup angin sore. Ini pertama kalinya Dirian tidak mau masuk menemuinya. Biasanya, hanya dengan satu permintaannya, pria itu akan langsung menurut. Tapi akhir-akhir ini... semuanya berubah.“Jika kau tidak keluar, Duke akan pergi,” ujar sang Count lagi, sedikit tegas kali ini.
Suara Dirian dalam, dingin, dan cukup untuk membuat seluruh aula membisu.Selene menatap tangan yang masih menggenggamnya, tapi Dirian sudah melepaskannya perlahan. Ia melangkah turun sendirian, langkahnya tenang namun membawa aura mengancam yang membuat siapa pun enggan bersuara.Begitu Dirian berdiri di bawah, Countess Moreau yang tadi berteriak kini menelan ludah, wajahnya menegang.Tatapan Dirian saja sudah cukup menjelaskan — permainan ini baru saja berubah.“Duke.”Suara Countess Moreau terdengar tegas tapi bergetar menahan amarah.Dirian menoleh perlahan. “Apa yang terjadi?” tanyanya datar, namun cukup dingin untuk membuat bebe
Selene mengatupkan bibirnya rapat setelah mendengar ucapan Dirian. Ujung jarinya refleks menggaruk tengkuk yang tak gatal—tanda ia berusaha menyembunyikan rasa kikuk. Dialah penyebab suaminya kini begitu waspada, dan menyadari hal itu membuatnya sedikit malu.“Sebetulnya siapa yang memberimu surat itu?” tanyanya akhirnya, nada suaranya setengah penasaran, setengah gugup.“Kaisar.”Selene nyaris kehilangan kemampuan bicara. Rahangnya menegang seketika.“Lupa, ya? Hubunganku dengan Kaisar,” sindir Dirian tanpa mengangkat kepala, jemarinya masih sibuk membalik halaman.Selene hanya bisa terdiam. Ia memang sempat mempertimbangkan kemungkinan







